Edisi XVI Tahun 2006
Sekapur Sirih Edisi XVI Tahun 2006
Peraturan Daerah (Perda) yang substansinya mengadopsi syariat Islam mulai marak lagi diperdebatkan. Runtuhnya rezim otoriter Soeharto membuka ruang improvisasi dan inovasi politik bagi munculnya kembali keberagaman politik dan hukum, yang sebelumnya relatif diharamkan oleh rezim Orde Baru. Di lihat dari fase legislasi ketatanegaraan, maraknya perda syariat Islam adalah fase atau tahapan ketiga upaya formalisasi syariat Islam.
Fase pertama adalah fase konstitusionalisasi syariat Islam. Fase ini terjadi dalam tiga kali proses pembuatan konstitusi di tahun 1945, 1956-1959 dan 1999-2002 dimana masalah relasi Islam dan negara selalu menjadi perdebatan yang tak kunjung usai. Di tahun 1945, konstitusionalisasi syariat Islam menghasilkan Piagam Jakarta yang terkenal dengan tujuh katanya, ”dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya”. Tujuh kata Piagam Jakarta ini yang awalnya merupakan bagian dari Pembukaan UUD, akhirnya dihilangkan atas prakarsa Mohammad Hatta.
Di tahun 1956–1959, upaya untuk kembali menjadikan Islam sebagai dasar negara dan memasukkan tujuh kata Piagam Jakarta ke dalam konstitusi yang dibuat konstituante kembali tidak tercapai setelah Presiden Soekarno mengintervensinya dengan mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Di tahun 1999-2002, upaya untuk kembali memasukkan tujuh kata Piagam Jakarta tertolak karena kurangnya dukungan politik di MPR, maupun dukungan real-sosiologis dari masyarakat.
Fase Kedua adalah formalisasi syariat Islam ditingkat Undang-undang, terutama dengan lahirnya UU Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, yang tidak sedikit mengadopsi nilai-nilai hukum Islam. ”Undang-undangisasi” syariat Islam semakin marak di akhir tahun 1980-an dan di era 1990-an. Di antara undang-undang yang telah berlaku sekarang yang bernuansa ajaran hukum Islam adalah UU Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama; UU Nomor 17 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Haji; UU Nomor 38 tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat. Di samping itu ada pula UU yang tidak secara khusus bertema syariat Islam, tetapi sebenarnya membuka pintu bagi diterapkannya syariat Islam; misalnya UU Nomor 7 tahun 1992 jo. 10 tahun 1999 jo. 23 tahun 1999 tentang Sistem Perbankan yang membuka pintu bagi lahirnya bank-bank syariah, karena mengakui adanya sistem bagi hasil di samping pembagian keuntungan dalam bentuk ’bunga’. Yang juga sempat memicu perdebatan hangat adalah lahirnya UU tentang Sistem pendidikan Nasional yang memicu demonstrasi pro-kontra dari kelompok muslim maupun non-muslim.
Sebagai pamungkas dari ”Undang-undangisasi” syariat Islam adalah ditetapkannya UU Nomor 44 tahun 1999 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Aceh dan UU Nomor 18 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Pasal 4 ayat (1) UU Nomor 4 tahun 1999 mengatur, ”Penyelenggaraan kehidupan beragama di Daerah diwujudkan dalam bentuk pelaksanaan syariat Islam bagi pemeluknya dalam bermasyarakat”. Inilah aturan hukum sekaligus pintu pertama dan utama bagi secara resmi diberlakukannya syariat Islam di salah satu provinsi di bumi pertiwi: Serambi Mekah Aceh. Selanjutnya, sebagai kelanjutan penerapan syariat Islam tersebut di Aceh, UU 18 tahun 2001 membentuk peradilan syariat Islam di Nanggroe Aceh Darussalam.
Nyaris bersamaan dengan lahirnya UU Nomor 44 tahun 1999, hadirlah fase ketiga yaitu pengadopsian syariat Islam ke dalam Perda. ”Perdaisasi” syariat Islam ini menjamur setelah proses reformasi bergulir sejak tahun 1999 dan semakin marak akhir-akhir ini. Secara legal-formal pintu perdaisasi syariat Islam itu terbuka lebih lebar ketika konsep desentralisasi diakui dengan ditetapkannya UU Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Interpretasi otonomi yang luas berdasarkan undang-undang tersebut diartikan beragam oleh daerah, salah satunya adalah dengan mereinkarnasi identitas-identitas lokal yang dirasa pernah diberangus oleh praktik sentralisasi Orde Baru.
Ketiga fase formalisasi syariat Islam di atas menunjukkan adanya perubahan wilayah hukum perjuangan syariat Islam dari semula diperjuangkan di tingkat konstitusi menjadi kemudian diperjuangkan di tingkat peraturan di bawah UUD, khususnya pada level undang-undang dan perda. Artinya, perjuangan tidak lagi dilakukan dari jantung-pusat aturan hukum, tetapi menyebar melalui aturan-aturan lokal dan lebih rendah. Inilah strategi formalisasi syariat Islam yang menurut sebagian kelompok adalah adaptasi strategi Mao Zedong: Desa mengepung kota
Untuk merespon wacana sekitar Penegakan Syariat Islam di Indonesia, secara proporsional dan komprehensif, Al Mawarid edisi XVI kali ini mengetengahkan artikel-artikel sebagai berikut; Syari’at Islam Dan Hukum Positif di Indonesia oleh Ibnu Hadjar, Penegakan Syari’at Islam di Indonesia perspektif Ekonomi oleh Nur Cholis, Formalisasi Syari’at Islam dan Hak Asasi Manusia di Indonesia, Formalisasi Syari’at Islam di Indonesia perspektif Gereja Katolik oleh Bertholomeus Bolong, Hak Konstitusional Perda Syari’ah Islam, Pro Kontra Implementasi Perda Syariah, Syariah Islam dan hukum Positif di Indonesia masing-masing oleh Jawahir Thontowi,Pujosuharso, dan M Sularno. Al Mawarid kali ini dilengkapi Book Review yaitu Reformasi Hukum Islam di Indonesia oleh Rahmani Timorita Yulianti dan artikel suplemen yaitu Pemikiran Fazlur Rahman tentang Metodologi Sunnah dan Hadis oleh Hujair AH Sanaky.
Untuk edisi XVII yang akan datang, Junal Al-Mawarid akan mengangkat tema Menyikapi UU No. 3/2006 tentang Perubahan UU No. 7/1989 mengenai Peradilan Agama. Untuk itu redaksi mengundang berbagai pihak untuk berpartisipasi menyumbangkan tulisannya sesuai dengan tematersebut.
Redaksi
Syari’at Islam dan Hukum Positif di Indonesia
Ibnu Hadjar
Abstract
The formalization of Islamic Shari’ah in the system of Indonesian law needs long term. This formalization emerges a crucial problems. Historically, fact shows that Indonesian Moslems have great desire to apply Islamic Shari’ah since the arriving Islam in Indonesia, in the era of colony either in Dutch and Japan. Entering the independence of Indonesian era there are several controversies and debates among the founding fathers of Indonesia regarding the foundation of Indonesian state. In this sense, the founding fathers of Indonesian can be classified into the nationalist Moslem and the nationalist secular.
Kata kunci: formalisasi, syari’at Islam, hukum positif, dan sejarah.
Formalisasi Syariat Islam di Indonesia (Prespektif Gereja Katolik)
Bertholomeus Bolong
Abstract
Formalization discourses on Syariat Islam in Indonesia today, has called for serious discussions from the different categories of people. And various opinions have been put forward, either pro or con. Differences in opinion are normal fact, because they do reflect not only the existence of the democracy but also the hetrogenity of the religious life in Indonesia, admitted and protected by the law and constitution. As a part of Indonesian society, Catholic people are called to give their opinion or ideas. The expression of thought is one of the realization of the freedom and tolerance of religious life in Indonesia.
Kata-kata Kunci: Formalisasi, Syariaat islam, gereja katholik.
Penegakan Syariat Islam di Indonesia (Perspektif Ekonomi)
Nur Kholis
Abstract
The article below traces to describe the development of Syariat Islam on economic enforcement in Indonesia. The description is covered Islamic banking, Islamic insurance, Islamic capital market, Syariah Obligation, Islamic unit trust/mutual fund, Islamic microfinance institution etc. The development of the Islamic economic institution in Indonesia show a rapid development. It support society optimism to develop more in the future. Morever the performance of Islamic banking practice at the end of the year 2006 show better performance than conventional banks, especially in the composition of money saving at SBI/SWBI, nonperforming financing or loan, and financing or loan to deposit ratio. It is hope that this evidence inspire all muslims in Indonesia to support and participate in developing Islamic economic enforcement in the future, especially in the area of zakat, wakaf, Islamic insurance, Islamic banking, sukuk or syariah obligation and Islamic microfinance.
Kata Kunci: Syariat Islam, ekonomi Islam, penegakan Syariat Islam
Menimbang Signifikansi Perda Syariat Islam (Sebuah Tinjauan Perspektif Fikih)
Asmuni Mth
Abstract
The controversies regarding the emerging of the Shari’ah Local Acts ( Perda Syari’ah) in several regencies or provinces in Indonesia. The debates about the act appear pros and conts among the societies, government and politicians. Some of them declare that the actcontradict to the Indonesian Constitution and The Indonesian basic ideology Pancasila. Contrary to above perspective is stated that this act can be justified by the constitution. According to the history of Islamic jurisprudence needs to be placed the substance of shari’ah or the public interest should be applied over that the textual interpretation of shari’ah, for instance tadwin ( codification) and taqnin ( legislation).
Kata kunci: perda, syari’ah, maslahat, taqnin dan tadwin
Formalisasi Syariat Islam dan Hak Asasi Manusia di Indonesia
Yusdani
Abstract
The article below tries to trace the problem of syariah formalization and human rights in Indonesia. Several issues will emerge in the context of syariah formalization, for instance, the interpretation of syariah, the freedom of religion, the position of non-Moslem, the role of woman, the religious community conflict, and the crisis of the constitution. Based on the issues mentioned above, the the writer of the following article revealed that the formalization of syariah should need new humanistic interpretation and iit also consider and accomadate human rights issues recently.
Kata kunci: syariat Islam, formalisasi, HAM, dan interpretasi.
Syari’at Islam dan Upaya Pembentukan Hukum Positif di Indonesia
M. Sularno
Abstract
The following article tries to investigate Islamic Shari’ah and the positive law in Indonesia. Shari’ah denotes the basic law that legislated by Allah and his prophet. All moslem should obey and apply Shari’ah in all aspects of life. Departing from the opening of article 29 verse (1) of amended constitution 1945 and the theory interpretation of Hazairin concerning the article mentioned above that Islamic law constitutes the main reference and the the main sources of law legislation in Indonesia. Hence, to reach the above goal, it needs struggling of Indonesian moslem and the effort to reinterpret the doctrineof shari’ah in accordance with the changing of situation and that of society.
Kata kunci: syari’at, perjuangan, patuh, hukum positif dan undang-undang
Hak Konstitusional Perda Syariat Islam
Jawahir Thontowi
Abtract
The pros and conts toward local acts based on Islamic Shari’ah either from moslem or non moslem of Indonesian. According to the writer of this article that struggle of Indonesian moslem to implement Islamic Shari’ah in Indonesia is inavoidable. In this connection, Indonesian gevernment and Indonesia people do not have rights to refuse it, even though the government have duty to protect toward the struggle to apply Islamic Shari’ah. Because it becomes the fundamental rights and the freedom of Indonesian moslem to realize Islamic Shari’ah, and that is protected by Indonesian constitution.
Kata kunci: syariat Islam, perjuangan, konstitusi, dan hak.
Pro Kontra Implementasi Perda Syariah (Tinjauan Elemen Masyarakat)
Pudjo Suharso
Abstract
Since the beginning of reformation era 1998, substancially and siqnificantly there is the changing of Indonesian political system. One of the changing is the decentralization based on the Act No. 22 year 1999 and then it is reformed by the Act No. 32 year 2005. The decentralization political system to place local authonomy as new basic of the local governance. In this era emerging several local acts, including the local acts beased on Islamic Shari’ah. The local acts based on Islamic Shari’ah invites pros and conts. Hence, the central government tries to conduct judicial review toward 12000 local acts.
Kata kunci: perda, review, desentralisasi, otonomi, dan pemda.
Perda Syari’ah untuk Penanggulan HIV/AIDS
Fajar Hidayanto
Abstract
The cases of HIV/AIDS that happen in Indonesia tend to increase every year. This problem needs to be solved as soon as possible.One of government policy to overcome it is to legislate the Shari’ah Acts or to implement the Shari’ah local acts in Indonesia. According to the writer of the article, there is an expectation to decrease, to solve and to minimize the cases of HIV/AIDS victims in Indonesia if the Shari’ah acts or the Shari’ah local acts implement in Indonesia. In this sense, it is clearly that the the religious law could be an alternative to response the problem of society.
Kata kunci: perda, syari’ah, HIV/AIDS, dan solusi
Hujair A.H. Sanaky
Abtract
Fazlur Rahman is one of an International Moselm scholar has paid attention to the Islamic thought reforming in moslem world. Rahman had concerned on the methodology of Islamic thought reform, and this concern can be understood from one of his works ( book) Islamic Methodology in History (Indonesian translation Membuka Pintu Ijtihad). This book tries to describe the development of four sources of Islamic thought Alquran, Sunnah, Ijtihad and Ijma’ evolutively and historically. According to Rahman as the founding of neomodernism in Islam that Moslem now need to deconstruct and reconstruct the historical heritages of Islam in all aspects.
Kata kunci: metodologi, sejarah, pemikiran, dan pembaharuan
Book Review: Reformasi Hukum Islam di Indonesia
Rahmani Timorita Yulianti
Dalam sejarah perkembangan hukum Islam pernah mengalami stagnasi perkembangannya, yang diakibatkan oleh suatu paham bahwa pintu ijtihad telah tertutup Pada masa ini masyarakat Islam hanya mengandalkan hukum Islam dari hasil pemikiran para mujtahid zaman dahulu yang jauh berbeda dengan seting sosial dan geografisnya dengan zaman sekarang. Sebagian masyarakat masih menganggap bahwa segala sesuatu yang terdapat di dalam kitab-kitab fiqih merupakan hal yang sakral dan tidak seorangpun yang berkompeten merubahnya. Dengan paham ini pula seseorang tidak diperbolehkan mengikuti pendapat madzab lain. Bahkan kecenderungan yang terjadi adalah mereka sangat sulit untuk menerima perubahan yang terjadi dalam kehidupan masyarakat sat ini.
Leave a Reply
Want to join the discussion?Feel free to contribute!