Life is Like a Balloon

Hidup ibarat balon yang ditiup, kemudian terbang, lalu meletus dan jatuh. Tidak  apa-apa. Jika tidak jatuh, kita tidak akan merasakan sakit dan tidak akan tau bagaimana rasanya berjuang untuk bangun dan belajar berjalan lagi. Memang yang dimaksud hidup berwarna itu ya seperti itu. Jatuh, sakit, berusaha bangun dan belajar berjalan lagi. Rasanya keren kan, jika hidup kita warna-warni? Mulai dari gelap sampai terang, ada semua dan bisa dirasakan. Itu baru nikmat dan berkah. Subhân Allâh! Kenapa nikmat dan berkah? Karena jika terus-menerus terang, kemudian tiba-tiba Allâh memberi setitik warna gelap dalam hidup kita, kita akan kaget dan bingung bagaimana cara menghadapinya. Ternyata kegelapanpun bisa membawa hikmah, nikmat, dan berkah kan? Baiknya Allâh sama kita, sampai-sampai kegelapan bisa jadi berkah. SubhânAllâh That’s why ada sisi positif dan negatif.

Ibarat gelap dan terang, sakit dan sehat, sedih dan gembira, nyatanya memang mereka saling melengkapi. Tetapi mungkin kita saja yang sering lupa dengan negatif ketika kita sedang dalam suasana terlalu positif. Semacam terlalu bahagia. Ujung-ujungnya saat kita dihadapkan pada sesuatu yang tidak kita harapkan, kita sering merasa terlalu sedih. Nah, ketika kita terlalu sedih, kita masih terbayang-bayang saat kita merasakan kebahagiaan yang berlebihan itu. Akibatnya mempersulit diri untuk bangkit. Jika sudah mulai sulit bangkit sendiri, gimana dong? Sebenernya simple. Ingat saja, “Aku bisa jatuh dengan mudahnya. Mengapa aku harus kesulitan ketika hendak bangkit?” Kata-kata itu mungkin terkesan meremehkan tetapi berbalut motivasi agar kita percaya bahwa kita bisa bangkit. Nyatanya banyak pelajaran dalam hidup dari perkara simple.

Pelajaran ini juga hikmah, nikmat, dan berkah. Tidak lupa dengan Allâh itu juga nikmat. Ya, karena kita bisa mengingat-Nya dimanapun di saat kita melihat apapun. Bahkan Allâh selalu mengingatkan kita kok. Tidak percaya? Contohnya, saat kita melihat orang mabuk, ingatnya siapa? Allâh kan? Apa bentuk ingatnya? Dengan beristighfar. Nah, Allâh mengingatkan kita. Kita melihat pelangi saja, Allâh mengingatkan kita. Bagaimana bentuk mengingatkannya? Dengan mengijinkan kita berucap “subhânAllâh” secara spontan. Tuh, Allâh mengingatkan lagi. Melihat orang meninggal, Allâh mengingatkan kita juga dengan berucap, Innâ lillâhi wa innâ ilaihi râji’ûn. Allâh mengingatkan bahwa kita akan meninggal juga. Allâh selalu mengingatkan kita, tetapi kita kadang lupa. Malu ya? Ibarat teman yang ingat dengan kita, tapi kita tanya, “Kamu siapa?” Astaghfirullâh.

Kembali lagi ke ‘balon’. Ketika balon ditiupkan, banyak udara yang masuk. Tidak beda jauh dengan hidup kita. Ketika kita merasa sendiri, tidak  berdaya, saat itulah terkadang tanpa kita sadari banyak semangat dari orang-orang yang menyayangi kita dengan cara mereka masing-masing. Semangat itu ibarat udara yang berlomba-lomba masuk ke dalam balon. Membuat balon akan menggembung dan siap dijadikan hiasan bahkan menghibur adik-adik kecil. Lagi-lagi ibarat hidup. Ketika kita merasa full of spirit, kita akan dengan senang hati menghibur orang lain. Apalagi ketika kitapun dalam keadaan senang, secara tidak langsung kita membawa energi positif untuk dirasakan orang-orang yang ada di sekitar kita. Betapa sesungguhnya Allâh menciptakan kita dengan kehidupan yang penuh manfaat dan menyenangkan. Bermanfaat karena saat kita bahagia, kita bisa membuat orang lain tersenyum. Menyenangkan karena dari hidup sendiri kita bisa saling membantu. Membantu memberi semangat, ibarat udara yang memenuhi balon tadi.

Setelah balon ditiupkan, dia bisa terbang tinggi ketika tidak ada tali dan batu sebagai pemberat. Begitupun hidup. Ketika kita sudah penuh dengan semangat, kadang kita merasa bahagia, lega, hingga tak jarang merasa terbang. Bahasa kerennya nge-fly. Pada titik itu tidak jarang kita lepas kontrol. Maksudnya adalah, ketika kita bahagia, merasa terbang, dan lain sebagainya, kita sering lupa bersyukur. Istilahnya terlalu bahagia hingga lupa diri. Mungkin juga saat kita dihadapkan pada suasana menyenangkan dan bahagia, kita tidak ingat bagaimana ketika kita terpuruk kemudian kita berdo’a kepada Allâh hingga berjanji tidak akan lupa dengan-Nya jika keterpurukan sudah pergi. Tidak bisa dipungkiri, memang salah satu hal berat dalam hidup adalah ketika kita mengingkari perkataan kita sendiri. Kalau ditanya “malu nggak?” Jawabannya tentu “malu”. Bagaimana tidak malu? Lupa terhadap Allâh yang notabene adalah pemberi nikmat tersebut. Itulah mengapa kita membutuhkan ‘tali’ dan ‘pemberat’ agar ketika kita bahagia, kita tidak lepas kontrol. Apa itu? Dengan tidak segan melihat saudara kita yang membutuhkan.

Dengan melihat saudara kita yang membutuhkan, lagi-lagi tidak hanya satu manfaat yang kita dapatkan. Selain kita bersyukur, kita jadi merasa punya kesadaran untuk membantu mereka. Nah, Allâh mengingatkan kita lagi. Terlalu memalukan jika dengan cara itu kitapun masih belum bisa bersyukur. Dengan pemberat, balon tidak akan terbang terlalu tinggi. Begitupun hidup, jika ada pengontrol, insya Allâh kita akan tetap bisa menikmati kebahagiaan dengan penuh hikmah. Selain itu juga berbagi nikmat dengan saudara-saudara kita. Allâh memang menciptakan kita untuk saling melengkapi, nyatanya. Hal itu tidak dapat dipungkiri dalam kehidupan. Semuanya saling membutuhkan dan saling mengingatkan. Meski dengan perantara banyak hal, tetap harus kita sendiri yang secara langsung maupun tidak langsung mengingatkan diri kita sendiri.  Kesadaran diri sendiri adalah komponen utama dalam menjalani kehidupan.
Balon, akan dengan mudah meletus dalam berbagai keadaan. Mungkin saja karena kepanasan, di tusuk jarum, dan lain sebagainya. Sama seperti kehidupan kita. Kita memang sering dengan mudah terjatuh dalam berbagai keadaan. Tak terkecuali ketika kita terlalu merasa bahagia. Tak jarang Allâh mengingatkan kita dengan cara memberi cobaan di saat kita terlalu bahagia hingga lupa diri bahkan lupa terhadap Allâh. Di sini kita disadarkan lagi, betapa baiknya Allâh dengan kita. Saat kita melakukan kesalahan, saat kita lupa dengan-Nya, dan saat kita lupa diri, Allâh tidak segan untuk tetap mengingatkan kita. Itu cerminan bahwa Allâh memang benar-benar ingin makhluk-Nya menjadi makhluk yang baik. Bahwa Allâh yakin makhluk-Nya tetap akan mengingat-Nya, juga meyakinkan bahwa kita sebagai makhluk Allâh memang selalu membutuhkan-Nya. Selalu meminta segala sesuatu kepada Allâh. Tidak jarang ada berbagai celetukan doa’ yang kita serukan. Mulai, “Ya Allâh, beri hamba uang,” sampai “Ya Allâh, beri hamba ‘pendamping’.”

Mungkin itu hal sepele, terkesan seperti bercanda. Namun sadarkah kita, betapa kita mudahnya meminta sesuatu kepada Allâh? Betapa mudahnya kita menjadikan sebuah do’a sebagai lelucon. Tidak jarang kita sadar sesaat, kemudian mengulanginya lagi. Orang bilang, “Ya, itulah manusia. Minta ampun kemudian di ulangi lagi.” Benar memang, itulah manusia. Tetapi karena sering timbul pendapat seperti itu, kesannya jadi dibiasakan. Mengapa? Karena seolah-olah itu menjadi hal biasa dan tidak perlu dibenahi. Padahal sebenarnya, hal-hal tersebut perlu dibenahi agar kita sebagai manusia mempunyai tekad untuk menjadi lebih baik. Memang pada dasarnya, semua yang kita jalani itu tergantung bagaimana kita menyikapinya. Dan tidak melulu pasrah tanpa ada usaha untuk memperbaiki. Selalu ingat bahwa kodrat manusia itu berusaha dan berdo’a. Jadi tidak patut rasanya ketika kita terlalu pasrah dalam menghadapi sesuatu.

Ketika kita menjalani sesuatu, kita memang tidak jauh dari semangat. Tidak bisa dipungkiri, kehidupan memang gudang semangat tetapi terkadang kita tidak sadar bahwa semangat selalu ada di sekitar kita. Itu yang menyebabkan kita merasa sulit untuk memperbaiki hidup dan berbuat kebaikan. Karena kita ‘merasa’ tidak punya semangat. Dalam sebuah acara televisi, seorang artis multitalenta, Agnes Monica pernah berkata bahwa, “Kita punya kesempatan untuk jadi rusak dan juga jadi baik. Jadi kenapa kita tidak menggunakan kesempatan untuk jadi lebih baik?” Memang apa yang kita jalani tergantung bagaimana kita menyikapinya. Bagaimana kita berusaha bangkit ketika mau tidak mau dihadapkan dengan sesuatu yang membuat kita merasa jatuh dan putus asa dalam menghadapi hidup. Begitu pula dengan dua sisi kehidupan yang tidak bisa dipisahkan. Rusak dan baik. Keduanya mempunyai peluang sama besar dalam kehidupan. Jadi mengapa kita harus memilih untuk menjadi sosok yang rusak jika peluang menjadi baikpun begitu besar?

Teringat dengan sebuah kutipan dari Henry Ford. “Bila Anda berpikir Anda bisa, maka Anda benar. Bila Anda berpikir Anda tidak bisa, Anda pun benar. Karena itu ketika seseorang berpikir tidak bisa, maka sesungguhnya dia telah membuang kesempatan untuk menjadi bisa.” Nah, itulah mengapa banyak orang yang merasa tidak bisa dan pada akhirnya mereka benar-benar tidak bisa. Karena manusia dibentuk oleh keyakinannya. Apa yang kita yakini, itulah kita. Jadi jangan pernah menyalahkan siapapun ketika kita mengalami kegagalan pada sebuah titik. Karena apa yang kita dapatkanpun adalah hasil bagaimana kita berpikir dan menyikapi. Sama seperti balon. Ketika kita tidak ingin balon itu meletus, maka ketika meniupnya kita harus mengontrol serta memastikan bahwa udara yang masuk adalah udara positif yang akan membantunya terbentuk cantik. Bukan udara negatif yang menyebabkan dia akan meletus. Ibarat semangat, kita memang harus pintar-pintar memilih semangat yang positif untuk membuat kita termotivasi melakukan hal positif juga.

Ringkasnya, tidak perlu segan meniup balon karena takut akan meletus. Sama seperti hidup, jangan segan menjalani hidup yang baik karena takut tidak bisa semangat dalam menjalaninya. Ingatlah, Allâh selalu mengingatkan kita dalam kebaikan, kitapun tidak boleh berhenti untuk yakin dalam menjalani hidup. Wallâhu a’lamu bi al-shawwâb. []

Rizka Amalia Shofa, Mahasiswi PAI-FIAI UII 2011

Tulisan ini diambil buleti Al-Rasikh terbitan dari Direktorat Pendidikan dan Pengembangan Agama Islam (DPPAI) UII Edisi 14 Maret 2012. Tulisan ini bisa juga diakses di http://alrasikh.uii.ac.id/2012/03/16/life-is-like-a-balloon/.

Unduh Artikel