Nrimo & ABS: Warisan Budaya yang Bikin Indonesia Nge-lag di Zaman Startup?

Indonesia punya 17.000 pulau, 700 bahasa, dan 1 mentalitas ‘pokoknya yang penting bapak senang’ yang bikin kita jalan di tempat sejak zaman nenek moyang.

Pernah dengar istilah nrimo? Atau asal bapak senang (ABS)? Dua budaya ini mungkin terdengar seperti filosofi hidup yang peaceful, tapi diam-diam, mereka jadi virus tidur yang memperlambat kemajuan bangsa.

Sementara negara lain sibuk berlomba ke Mars, kita masih sibuk mengangguk-angguk setuju meski ide itu ketinggalan zaman. Apa iya budaya “nrimo” dan ABS ini layak kita pertahankan? Mari kupas tuntas!

Budaya yang Jadi “Rem Darurat” Kemajuan

Mentalitas Nrimo: “Pasrah, Ini Takdir!”

Budaya Jawa nrimo (menerima tanpa kritik) sering dianggap sebagai bentuk kepasrahan religius. Namun, dalam konteks modern, sikap ini menciptakan generasi yang enggan berinovasi karena terlalu nyaman dengan status quo.

Survei BPS (2022) menunjukkan 65% pekerja Indonesia tidak berani mengusulkan ide baru di kantor karena takut dianggap “melawan atasan”.

Bayangin, gimana mau bikin startup unicorn kalau mental kita masih kayak nasi kotak: “Sudah ada nasinya, lauknya, sambalnya… udah cukup, jangan macam-macam!“.

Budaya ABS (Asal Bapak Senang): “Yang Penting Sopan, Meski Salah Kaprah”

Sistem hierarki kaku di birokrasi dan perusahaan membuat kritik konstruktif dianggap tidak sopan. Alhasil, kebijakan gagal terus dipaksakan hanya demi menyenangkan atasan.

Kasus proyek e-KTP yang korup tapi tetap jalan karena “tidak enak sama pejabat”. Hasilnya? Rugi triliunan dan rakyat gigit jari.

ABS = Asal Bapak Senang, tapi rakyat? Bapak-bapak senang, anak muda keblinger.

Takut Gagal: “Malu dong, kata tetangga!”

Budaya malu berlebihan terhadap kegagalan membuat banyak orang enggan mengambil risiko. Padahal, inovasi lahir dari trial and error.

Laporan World Bank (2023) menempatkan Indonesia di peringkat 87 dalam Global Innovation Index, jauh di bawah Singapura (7) dan Malaysia (35).

Di sini, gagal sekali langsung dikira kutukan leluhur. Di Silicon Valley, gagal 10 kali baru disebut pengalaman.

Ganti Mental Nrimo dengan Ngegas!

Kurikulum sekolah perlu mengajarkan critical thinking sejak dini, bukan sekadar hafalan.

Pemerintah dan perusahaan harus memberi apresiasi pada ide-ide progresif, bukan sekadar “stiker penghibur”.

Kampanye media sosial dengan konten kreatif (e.g., TikTok #AntiNrimoChallenge) untuk mendobrak mindset kolot.

“Budaya bukan sesuatu yang saklek. Kalau nrimo dan ABS hanya bikin kita jadi bangsa pengangguk, mungkin sudah waktunya kita belajar bilang: ‘Maaf, Bapak. Saya tidak setuju.'”

Indonesia punya segudang potensi, tapi selama mentalitas “yang penting bapak senang” masih jadi menu utama, kita hanya akan jadi penonton di pesta kemajuan global. Yuk, ganti rem jadi gas!

Share