Korupsi (dalam) Sepak Bola

“…kekerasan tidak selalu dapat menyelesaikan masalah, tetapi masalah yang satu ini hanya dapat diselesaikan dengan kekerasan…”

(www.suara-tamiang.com)

Kejujuran adalah mata uang yang berlaku di negara manapun. Begitulah bunyi kata bijak yang tidak diketahui secara pasti siapa pencetusnya. Ungkapan tersebut adalah penegasan bahwa kejujuran merupakan harga mati, yang tidak seharusnya ditawar(-tawar) lagi. Dimanapun manusia berada ia harus menjaga integritasnya, dengan berlaku jujur. Hadits Rasulullāh tegas sekali, kejujuran pada akhirnya akan menghantarkan pelakunya ke pintu surga.

Sebelum Nabi Muhammad shallallâhu ‘alaihi wa sallam diangkat menjadi “utusan Allāh”, ia sudah dilabeli masyarakat Makkah dengan sebutan “al-amīn”. Al-amīn adalah sikap yang menggambarkan betapa lurusnya kehidupan seseorang. Orang yang jujur akan menjalankan kehidupan dengan penuh ketundukan pada aturan dan norma. Orang jujur adalah orang yang dihormati dan dipatuhi tutur dan titahnya. Rasulullāh, sebagai manusia sempurna telah menjadi contoh nyatanya.

Permainan Kehidupan

Al-Qur’ân membahasakan (bahwa) dunia tiada lain hanyalah permainan dan senda gurauan (la’ibun wa lahwun) (QS. al-An’ām [6]: 32, Muhammad [47]: 36, dan al-Hadīd [57]: 20). Wajar jika dunia berisi ribuan permainan kehidupan yang seringkali –memang– membuat manusia terlena. Terlepas dari itu, potensi bermain adalah kesadaran alamiah yang dimiliki manusia. Bukankah justru akan menyalahi fitrah ketika manusia ingin lari dari kodrat penciptaannya?

Katanya, al-‘aqlu as-salīm fi al-jismi as-salīm. Akal yang sehat itu berada dalam raga yang sehat. Sudah mafhum, cara menjaga kesehatan tubuh adalah dengan olahraga secara teratur. Ditambah –pastinya– dengan pola makan, dan pola-pola lainnya yang teratur pula. Ketika badan sehat maka berpikir pun akan lebih tepat. Kesehatan akal dan badan laksana dua sisi mata uang, seiring-sejalan, dan tidak bisa dipisahkan.

Saya ingin mencoba menghantarkan pembaca pada sebuah realitas kaitannya dengan “permainan” kehidupan. Saya akan menunjukkan apa yang seharusnya tidak terjadi namun benar-benar terjadi dalam permainan tersebut. Sebelumnya, ini hanyalah pandangan subyektif saya yang besar kemungkinan tidak “pas” –menurut pembaca. Pembaca dipersilahkan untuk memberikan komentar atau sanggahan dalam bentuk apapun.

Inspirasi Piala AFF

Saat menyaksikan laga seru antara timnas Indonesia melawan Laos, Singapura, dan Malaysia, saya mendapati sebuah sajian yang patut untuk didiskusikan. Saya dan beberapa teman berkomentar tentang “kecurangan” yang banyak dilakukan pemain. Kecurangan tersebut barangkali lazim dalam sebuah pertandingan sepak bola. Tetapi, bukankah yang ideal itu membiasakan yang benar, dan bukan membenarkan yang biasa?

Sebuah kecurangan adalah bukti ketidakjujuran yang sebenarnya menjadikan hati tidak tenang. Sebaliknya, ketika kejujuran yang dikedepankan maka ketenangan jiwa yang didapatkan. Apalah artinya kehidupan jika kita tidak bisa menikmatinya sebagai sebuah karunia karena kecurangan yang selalu kita lakukan? Sesuatu yang besar itu bermula dari yang kecil(-kecil). Begitu juga dengan kecurangan yang besar, awalnya hanyalah hal kecil yang dianggap sepele.

Berangkat dari situ, perlulah kiranya memberikan catatan kritis untuk perbaikan terkait kecurangan tersebut. Catatan ini paling tidak menyadarkan kita bahwa ternyata pintu kecurangan itu bukan hanya bersemayam di senayan sana. Pintu itu juga terbuka (sangat) lebar dalam sebuah adu tanding yang konon sangat menjaga tradisi sportivitas. Bukankah berbuat curang adalah penodaan terhadap sportivitas sebuah pertandingan itu sendiri?

Pembaca boleh berspekulasi apakah sebenarnya bentuk kecurangan itu. Pastinya, ia perihal teknis-praktis yang memang dalam banyak kasus cukup ditolerir. Baiklah. Kecurangan itu terjadi kala sebuah pelanggaran terjadi. Konkritnya, saat pelanggaran itu berakibat tendangan bebas. Memang tidak semua pemain melakukan kecurangan ini. Tapi, hal ini boleh dikatakan telah menjadi adat yang dibenar(-benar)kan.

Jika sebuah pelanggaran terjadi di titik A maka tendangan bebas juga harus dilakukan di titik tersebut. Tetapi, fakta di lapangan berbicara berbeda. Bola yang seharusnya tepat berada di titik A berusaha didekatkan dengan daerah pertahanan lawan. Tidak heran, terkadang wasit menginterupsi manuver pemain untuk memberikan peringatan. Sebuah warning bahwa posisi bola tidak seharusnya berada di tempat yang “diinginkan” pemain.

Dalam kasus dimana wasit mengetahui kecurangan pemain, tentu tidak ada masalah. Pasalnya, bola akan dikembalikan pada posisi yang seharusnya. Ini tentu tidak merugikan pihak lawan. Problemnya, saat wasit lalai atau tidak mengetahuinya maka sudah bisa dipastikan keuntungan sepihak didapatkan tim yang memperoleh kesempatan menendang. Di titik inilah kecurangan yang mungkin tidak dianggap sebuah kesalahan itu terjadi.

Satu lagi, dimana kecurangan yang saya maksudkan sering terjadi. Ketika bola dalam posisi keluar lapangan (out). Untuk mengaktifkan bola tersebut maka akan dilakukan lemparan ke dalam. Tim yang melempar adalah tim yang tidak menyentuh bola sesaat sebelum keluar. Biasanya, tim pelempar akan berusaha melakukan gerakan di luar lapangan mendekati daerah pertahanan lawan. Ini juga bagi saya adalah sebuah “kecurangan”.

Dalam kacamata saya dan beberapa teman, hal itu tidak ubahnya adalah korupsi. Iya, korupsi yang terjadi dalam dunia sepak bola. Simpulan prematurnya adalah, korupsi di negeri ini memang tidak hanya eksis di dunia politik tetapi (juga) dalam dunia olahraga. Inilah yang dimaksudkan di awal tulisan bahwa kejujuran (integritas) –sebagaimana Rasulullāh contohkan– seharusnya dijunjung tinggi, dimanapun. Termasuk dalam dunia olahraga: sepak bola.

Sepak bola adalah sebuah olahraga yang barangkali paling banyak diminati banyak orang. Begitu dahsyatnya daya magic sepak bola hingga banyak orang rela bangun malam. Bukan untuk shalat malam tujuan utamanya, tetapi lebih untuk sebuah laga tanding di layar televisi. Tentu, hal yang demikian memiliki dua implikasi sekaligus: positif dan negatif. Bagi saya, keduanya sungguh sanggat tergantung bagaimana penonton menyikapinya.

Barangkali ada yang beranggapan, terlalu dini generalisasi “korupsi sepak bola” dalam konteks kehidupan bangsa yang universal. Terkait hal itu, menarik untuk mengetengahkan statemen Amir Machmud NS (wartawan olahraga). “Lapangan bola telah menjadi ‘Tanah Air’, wilayah kedaulatan yang berarti segalanya, kristal dari aneka persoalan yang menggumpal,” tulisnya. Dari situ, dapat dipahami bahwa sepak bola memang sebuah miniatur kehidupan.

Perlu dipahami kembali bahwa Islam sebagai agama yang lengkap justru menganjurkan pemeluknya untuk giat “berolahraga”. Hemat cakap, olahraga adalah sesuatu yang terpuji, sebagaimana yang diteladankan Rasulullāh dan para shahabatnya. Perintah untuk mengajari anak-anak kita renang dan memanah paling tidak menjadi afirmasi akan pentingnya olahraga. Jika sebuah teks dibaca secara substantif maka olahraga sebenarnya tidaklah tunggal, tetapi plural.

Olahraga –bagaimanapun bentuk dan macamnya– adalah bagian dari apa yang disabdakan agama (Islam). Tentu, olahraga tertentu yang melanggar nilai etis (dalam hal pakaian, misalnya) menjadi bermasalah. Atau paling tidak perlu didiskusikan ulang, secara mendalam. Pastinya, olahraga adalah sebuah kebaikan selama dalam kerangka terjunjung tingginya sportivitas dan kejujuran didalamnya.

Kecurangan dalam sebuah pertandingan memang tidak serta-merta mengurangi nilai estetika laga tersebut. Namun, ketika dikaitkan dengan nilai etis, tentu ada sesuatu yang terlanggar. Dan hal ini pada saatnya akan menjadi “aib” besar dari olahraga tersebut. Lebih runyam lagi, kalau kecurangan itu selalu ditolerir maka generasi selanjutnya sukar membedakan mana “yang benar” dan mana “yang sebenarnya tidak benar”.

Kecurangan yang terjadi dalam laga sepak bola boleh jadi adalah visualisasi budaya sebuah bangsa. Apa yang menjadi kemelut dalam bangsa tersebut akhirnya memengaruhi banyak aspek, sepak bola termasuk didalamnya. Ringkasnya, sesuatu itu muncul tidaklah independen. Ada sebab akibat (klausalitas) yang melingkari sesuatu tersebut. Selain Sang Maha, sesuatu di dunia itu berdiri di atas “keberdirian” hal lainnya.

Ikhtitām: Sepak Bola dan Korupsi

Pemberantasan korupsi –khususnya di negeri ini– harus dilakukan secara integratif. Jika sepak bola menjadi terdakwa terkait carut-marut korupsi, maka harus dicarikan pula formula penanganannya. Sepak bola bolehlah dikatakan sebagai olahraga yang digemari banyak insan sejak kecil. Penanaman nilai-nilai sportivitas sepak bola sejak dini pada akhirnya akan berpengaruh positif. Mengenai hal ini, orang tua (yang lebih dewasa) memiliki andil penting.

Sebagai catatan paripurna, penting untuk meneladani karakter Rasulullāh, sekalipun dalam masalah olahraga. Sebab, olahraga (dalam hal ini, sepak bola) menjadi bagian kehidupan manusia yang besar porsinya. Sikap yang jujur (tidak curang) ketika bermain haruslah dihadirkan. Termasuk juga perihal lain yang “bertalian-erat” dengan sepak bola. Jangan sampai ada “kongkalikong” yang semakin menodai “kesucian” sepak bola.

Sudah mafhum bahwa sepak bola dimainkan oleh khalayak ramai. Laga sepak bola, apalagi tingkat nasional bahkan dunia menjadi tontonan yang sayang untuk dilewatkan. Baik dengan menyaksikan secara langsung di lokasi pertandingan atau sekadar duduk manis di depan layar kaca. Jika sepak bola sudah mulai mengeliminir unsur korupsinya maka lapangan sepak bola berubah menjadi –salah satu– ladang pemberantasan korupsi. Wallāhu a’lamu bi ash-shawāb. []

Samsul Zakaria, Santri Pondok Pesantren UII, Mahasiswa S1 Syarī’ah FIAI ‘09

Artikel ini dipublikasikan di Al-Rasikh Lembar Jumat Masjid Ulil Albab terbitan terbitan Direktorat Pendidikan dan Pengembangan Agama Islam (DPPAI) Universitas Islam Indonesia (UII). Artikel ini dapat diakses dari http://alrasikh.uii.ac.id/2012/12/07/korupsi-dalam-sepak-bola/.

Unduh Artikel