Hidup Shaleh dengan Allah dan Lingkungan

Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran.(Q.S. al-’Ashr [103]: 1-3)

Tatkala kita membaca surat al-Tîn akan kita dapati statemen Tuhan yang artinya “Sungguh telah Kami ciptakan manusia dalam sebaik-baik bentuk”.(QS al-Tîn [95]: 4) Firman tersebut menunjukkan bahwa manusia adalah makhluk Allah yang paling sempurna di antara makhluk-makhluk lain. Hal lain yang menunjukkan bahwa manusia adalah makhluk Tuhan paling sempurna adalah dalam realitanya manusia memunyai potensi yang tidak dimiliki oleh makhluk Tuhan yang lain. Manusia memiliki nafsu yang tidak dimiliki malaikat, manusia mempunyai akal yang tidak dimiliki hewan, manusia mempunyai wujud yang tidak dimiliki oleh jin dan manusia memunyai wujud yang rupawan yang tak pernah terpikirkan oleh manusia itu sendiri. Alangkah kreatifnya Allah SWT. Dia tidak pernah kehabisan ide untuk menciptakan wajah manusia, padahal jumlah manusia di atas muka bumi ini mulai dari Adam sampai manusia terakhir yang terlahir detik ini sudah tak terhitung lagi bahkan tidak satupun diantara manusia yang sidik jarinya berbeda.

Kedudukan menusia sebagai makhluk paling sempurna tersebut, juga menunjukkan adanya potensi yang lebih dalam diri manusia dibanding apa yang dimilki oleh makhluk Allah lainnya. Konsekuensinya, manusia memiliki tugas dan tanggungjawab yang lebih besar pula. Seperti yang kita ketahui bersama bahwa manusia adalah khalîfatullâh fi al- Ardh. Dalam menjalankan tugas dan misi kekhalifahannya, manusia sebagaimana dikatakan oleh al-Iman al-Ghazali, memiliki empat unsur sifat. Pertama, sifat sabui’yyah yang mencerminkan kebuasan, kemarahan, kebencian, amarah, kekerasan dan kegerangan manusia sebagaimana yang dimiliki oleh binatang buas. Kedua, sifat bahimiyah, sifat ini mencerminkan ketamakan dan kerakusan yang dimiliki oleh manusia. Ketiga, sifat syaithoniyyah, sifat ini selalu mengajak menusia kedalam celah-celah kenistaan yang memang selalu ada dalam kehidupan. Keempat, sifat Ilahiyah, yaitu sifat fitrah manusia yang mengajak manusia untuk mengikuti koridor kehidupan yang sesungguhnya menuju jalan Allah SWT. (Muhammad, 2007).

Banyaknya potensi yang dimiliki manusia tersebut ternyata telah membuat manusia lebih mendekat pada keburukan dan bukan kebaikan. Harus kita akui bahwa banyak sekali kekacauan dan kerusakan yang disebabkan oleh manusia. Mungkinkah hal ini disebabkan karena dari empat sifat tersebut (empat sifat manusia menurut Ghazali) hanya satu sifat yang menuntun manusia menuju keridhoan Allah? Kecenderungan manusia untuk melakukan maksiat atau pelanggaran terhadap norma agama adalah akibat ketidak mampuan manusia untuk bergaul dengan lingkungannya dengan benar, akibatnya tidak sedikit manusia yang melanggar ketentuan agama, mengikuti hawa nafsunya, saling tak peduli, dan menjadikan syetan sebagai teman.

Dzunnun, seorang sufi awal dari Mesir menawarkan empat cara bergaul bagi manusia dengan Tuhan dan lingkungannya. Dengan tujuan supaya manusia mampu menjadi tauladan bagi makhluk yang lain. Metode tersebut adalah:

Bergaul dengan Allah Melalui Muwafaqoh

Muwafaqoh berarti “kesesuaian” maksudnya adalah hendaklah manusia bersosialisasi kepada Tuhan dengan cara mengikuti apa yang dikehendaki-Nya. Manusia adalah makhluk yang tidak berdaya sama sekali dihadapan Tuhannya. Tujuan pencipataan manusia adalah untuk beribadah hanya kepada Allah SWT. Selain itu, dalam tuntutan manusia untuk menjadi mukmin yang bertakwa, seorang mukmin harus tunduk pada segala bentuk perintah dan titah Tuhan dan meninggalkan segala bentuk larangan-Nya. Terlepas dari suka ataupun tidak suka, sebagai manusia apalah daya kita. Lagi pula tidak ada alasan bagi manusia untuk membusungkan dada dan menegakkan kepala di depan Tuhannya. Menjadi benar kiranya apa yang dinasehatkan oleh para sufi, “silahkan engkau bermaksiat kepada Allah, tapi jangan tinggal dibumi-Nya, makan dari rizqi-Nya, dan jangan sampai terlihat oleh-Nya. Bukankah seluruh perintah Allah pun bermuara pada kemaslahatan bagi manusia?

Bergaul dengan Sesama Manusia Melalui Munashahah

Munashahah berarti saling menasehati. Hal ini selaras dengan hadis nabi yang diriwayatkan oleh imam Muslim, Nasa’i, Abu Dawud dan Tirmizi, “Agama adalah saling menasehati”. Pemahaman yang ditarik kemudian adalah dalam kehidupan, sesama manusia yang beragama khususnya Islam, haruslah terjadi interaksi dengan cara saling menasehati. Lebih bagus lagi jikalau sampai kepada saling bekerjasama dan bantu membantu. Sesuai dengan fitrah manusia sebagai zone politicon yang tidak dapat hidup sendiri-sendiri. Dalam surat al-‘ashr pun telah dijelaskan bahwa salah satu dari orang yang tidak merugi adalah mereka yang mau saling menasehati, baik dalam kebaikan maupun kesabaran. Sebagaimana keterangan dari Prof. Quraish Shihab, manusia hendaklah merasa rugi apabila tidak menasehati satu sama lainnya.

Bergaul dengan Hawa Nafsu Melalui Mukholafah

Ketika Rasulullah hendak pulang dari perang badar, beliau menyatakan bahwa ”kita telah pulang dari jihad kecil menuju jihad besar”. Banyak tafsiran memang mengenai jihad yang besar. Namun Jumhurul Ulama sepakat bahwa nafsulah yang dimaksud disitu. Hal tersebut memberikan penjelasan kepada kita bahwa perjuangan melawan hawa nafsu (nafsu yang buruk) lebih besar dari melawan bala tentara musuh dalam suatu peperangan. Keadaannya yang tidak berbentuk membuat banyak manusia tidak dapat mebedakan apakah itu baik ataukah buruk. Sehinnga mereka mengikuti apa yang menjadi dorongan hawa nafsu. Akibatnya manusia akan terus bermaksiat walaupun hatinya memberontak. Dalam konsep yang ditawarkan Dzunnun, hendaknya manusia menghadapi nafsu dengan Mukholafah, yaitu kebalikan. Maksudnya jikalau nafsu mengajak kepada hal-hal yang tidak sesuai dengan petunjuk Allah maka hendaklah tidak dituruti. Dengan demikian kita akan terhindar dari kemaksiatan.

Bergaul dengan Syetan Melalui Muharobah

Sudah menjadi ma’lumat bersama memang, bahwa syetan bertugas menggoda manusia untuk bermaksiat kepada Allah. Hampir semua umat Islam pun meyakini bahwa manusia harus menolak dan mengibarkan bendera perang kepada syetan, yang disayangkan dan di pertanyakan kemudian adalah mengapa manusia masih saja mau mengikuti bujuk rayunya? Padahal sudah jelas peraturannya. Firman Allah yang artinya “dan jangan kamu ikuti jejak-jejak syetan” memerintahkan kita semua untuk tidak mengikuti mereka. Dalam konsepnya, Dzunnun mengajarkan cara bergaul kepada syetan dengan muharobah yaitu peperangan. Maksudnya, dalam menghadapi syetan kita harus memerangi ajarannya. Bukan kemudian kita memerangi syetan tersebut, karena syetan pun merupakan hamba Allah yang sangat taat pada mulanya tapi kemudian ingkar dan dilaknat. Jikalau kemudian syetan menyeru kepada bermaksiat, maka ajakan itulah yang kita perangi dengan tidak melaksanakannya. Allah pun pernah menjelaskan bahwa syetan adalah musuh yang nyata bagi manusia.

Sebenarnya, syetan bisa dijadikan sebagai guru yang sangat baik dalam bertauhid. Memang, dulu syetan tidak mau menjalankan perintah Allah, namun sebagian sufi mengatakan bahwa hal tersebut merupakan bentuk kekonsistenan syetan dalam bertauhid. Maksud syetan adalah mereka tidak mau bersujud kepada selain Allah, karena hanya Allah lah yang pantas menerima sujud hambanya.

Jikalu syetan saja tidak mau bersujud kepada manusia lalu kenapa manusia mau bertekuk lutut dihadapan titah makhluk terlaknat tersebut? Alangkah baik kemudian kalau kita bisa menarik syetan untuk mengikuti ajaran Islam yang kita ikuti. Hal ini pernah dicontohkan oleh Rasulullah yang telah mengislamkan penggodanya. Dan jikalau kita tahu, sebenarnya syetan berharap agar manusia yang ia goda bisa mengalahkannya dan mengislamkannya.

Ikhtitam

Menukil pelajaran K. H. Musthofa Bisyri “ketidak tahuan bisa diatasi dengan melihat, mendengar dan memperhatikan”. Untuk itu, mari kita cermati, dengar dan perhatikan bersama nasehat Dzunnun tersebut. Kita bergaul kepada Allah dengan muwafaqoh, bergaul kepada manusia dengan munashahah, bergaul kepada nafsu dengan mukhalafah dan bergaul kepada syetan dengan muharobah, hingga kita bisa menjadi orang yang shaleh karena mampu bergaul kepada lingkungannya dengan benar. Akhirnya, sebagai mana yang dikatakan oleh orang bijak “la yughni al-Qaul”. Tidak cukup hanya dengan perkataan. Mari kita praktekkan apa yang dinasehatkan Dzunnun tersebut. Wallahu a’lam bissawab.

Hasan Al Antor, Mahasiswa FIAI UII Angkatan 2008

Artikel ini dipublikasikan dalam Buletin Jumat Al-Rasikh terbitan Direktorat Pendidikan dan Pengembangan Agama Islam (DPPAI) Universitas Islam Indonesia (UII) Edisi 8 Januari 2010. Artikel ini dapat diakses dari link ini.

Unduh Artikel