GAYA HIDUP HALAL SEBAGAI USAHA UNTUK MENDEKATKAN DIRI KEPADA ALLAH

GAYA HIDUP HALAL SEBAGAI USAHA UNTUK MENDEKATKAN DIRI KEPADA ALLAH

Oleh: Fitri Eka Aliyanti,SHI.,MA

 

“Rasulullah saw. bersabda: Akan datang suatu masa pada umat manusia, mereka tidak peduli lagi dengan cara untuk mendapatkan harta, apakah melalui cara yang halal ataukah dengan cara yang haram.” (H.R. Bukhari)

Para pembaca yang dirahmati Allah, benar adanya sabda Rasulullah saw. yang beliau katakan beratus tahun yang lalu tersebut. Modernisasi yang merupakan tanda kemajuan ilmu pengetahuan manusia seringkali tidak sejalan dengan kondisi iman dan takwa. Tidak sedikit orang yang menghalalkan segala cara untuk mendapatkan nikmat dunia yang diinginkan oleh hawa nafsunya. Tindakan korupsi, perampokan, pembegalan, pengedaran narkoba, pencurian, penipuan merupakan beberapa contoh cara yang tidak halal untuk mendapatkan harta dan marak sekali diberitakan di media dan seringkali meresahkan dan merugikan masyarakat.

Berbicara mengenai halal-haram, sesungguhnya halal-haram tidak hanya mencakup makanan dan minuman yang kita konsumsi, akan tetapi lebih dari itu, halal-haram merupakan persoalan kehidupan manusia secara keseluruhan. Sebagaimana firman Allah swt. yang tertulis di dalam Q.S. Al Baqarah [2] : 172 yaitu:

“Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezeki yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah, jika benar-benar hanya kepadaNya kamu beribadah.”

Kata “makanlah” di sini tidak saja berarti harfiah yaitu kegiatan makan dan minum, melainkan termasuk bagaimana cara memperoleh makanan tersebut. Yusuf Qardhawi (1993) menjelaskan mengenai pokok-pokok ajaran Islam tentang halal dan haram, dan salah satu pokok ajaran itu ialah “apa saja yang membawa kepada haram adalah haram”. Sehingga walaupun makanan itu halal, akan tetapi apabila cara pemerolehannya semisal dengan mencuri, maka ia haram untuk dimakan karena makanan tersebut merupakan hasil curian.

Rasulullah saw. bersabda, “Barang siapa memperoleh harta dengan cara dosa, lalu ia menggunakannya untuk menjalin silaturrahmi, bersedekah, atau kepentingan di jalan Allah, niscaya Dia akan menghimpun semua hartanya itu lalu melemparkannya ke dalam neraka” (H.R. Abu Dawud) (Ghazali, 2007).

Memahami Apa Itu Halal, Haram, dan Thayyib

Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya yang halal itu jelas, sebagaimana yang haram pun jelas. Di antara keduanya terdapat perkara syubhat yang masih samar yang tidak diketahui oleh kebanyakan orang. Barangsiapa yang menghindarkan diri dari perkara syubhat, maka ia telah menyelamatkan agama dan kehormatannya. Barangsiapa yang terjerumus dalam perkara syubhat, maka ia bisa terjatuh pada perkara haram.” (H.R. Bukhari dan Muslim)

Ali (2016) menjelaskan bahwa kata “halal” dan “haram” merupakan istilah Al Qur’an dan digunakan dalam berbagai hal, sebagiannya berkaitan dengan makanan dan minuman. Halal secara bahasa berarti sesuatu yang dibolehkan menurut syariat untuk dilakukan, digunakan, atau diusahakan, dengan disertai perhatian cara memperolehnya, bukan dari hasil muamalah yang dilarang. Sementara thayyib bisa diartikan sebagai sesuatu yang layak bagi jasad atau tubuh, baik dari segi gizi dan kesehatan serta tidak membahayakan badan dan akal.

Kemudian haram, secara terminologi diartikan sebagai sesuatu yang dilarang Allah dengan larangan yang tegas. Keharaman ada 2 macam yaitu karena disebabkan zatnya atau karena yang ditampakkannya.

Mengapa Harus Halal?

            Rasulullah saw. bersabda, “Mencari sesuatu yang halal adalah kewajiban bagi setiap Muslim.” (H.R. Al-Thabarani dari Ibnu Mas’ud). Kewajiban ini di era sekarang pada akhirnya telah dicemari oleh beberapa syubhat dan transaksi-transaksi yang tidak sesuai syariat. Sehingga sebagian dari kita yang tidak mau benar-benar berfikir dan berusaha selalu beranggapan bahwa mencari sesuatu yang murni halal adalah suatu hal yang sulit, dan akhirnya mereka menghalalkan segala cara dalam memperoleh keinginan duniawi.

Padahal jika kita mengetahui, halal-haramnya makanan yang masuk ke tubuh kita akan berpengaruh terhadap kedekatan kita dengan Allah swt. Kedekatan ini yang nantinya akan berpengaruh terhadap doa-doa yang kita panjatkan kepadaNya. Diriwayatkan di dalam hadits Al-Thabarani bahwa salah satu sahabat yang bernama Sa’ad pernah memohon Rasulullah saw. agar mendoakan dirinya menjadi orang yang diijabah doanya. Lalu Rasulullah berkata kepadanya, “Baguskanlah makananmu, niscaya Allah menerima doamu.” (Ghazali, 2007). Demikianlah kuatnya pengaruh makanan dan rezeki yang halal terhadap hubungan kita dengan Allah swt.

Di dalam hadits lain yang diriwayatkan oleh Bukhari pun diceritakan bahwa dari Abu Hurairah ra. berkata bahwa Rasulullah saw. bersabda, “ Sesungguhnya Allah itu suci dan tidak menerima kecuali yang suci. Dan Allah memerintahkan orang mukmin sebagaimana memerintahkan kepada para rasul dalam firman,” Wahai para rasul, makanlah yang baik-baik dan lakukanlah kesalehan.” Dan Allah berfirman, “Wahai orang yang beriman, makanlah dari rezeki yang kami berikan yang baik-baik.” Kemudian Rasulullah saw. menyebut seseorang yang melakukan perjalanan panjang hingga rambutnya kusut dan berdebu, sambil menadahkan tangannya ke langit menyeru, “Ya Tuhan. Ya Tuhan.” Sementara makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram dan diberi makan dengan yang haram. Bagaimana doanya bisa dikabulkan?” (Sarwat, 2014).

Dari dua hadits yang dikemukakan sebelumnya, kita bisa menyimpulkan bahwa halal-haramnya rezeki yang kita peroleh dan kita konsumsi akan mempengaruhi kualitas hubungan kita dengan Allah swt. Dari sini pula kita bisa melakukan introspeksi. Apakah permasalahan halal hanya berada pada tataran kewajiban yang harus kita penuhi, atau kebutuhan yang tanpanya kita tidak bisa meraih hakikat hidup sebagai ibadah dan usaha untuk mendekatkan diri kepada Allah swt.?

Jika kita pahami lebih lanjut, ada beberapa alasan yang mendasari mengapa gaya hidup halal merupakan sarana untuk memelihara diri dan jiwa kita, serta untuk mendekatkan diri kepada pencipta kita, Allah swt. Yang mana jika diuraikan menjadi sebagai berikut (Sarwat,2014):

  1. Wujud keimanan kepada Allah

Bagi mereka yang memahami ajaran Islam dengan baik, apapun yang masuk ke dalam  perutnya harus seizin sang pencipta, Allah swt.

  1. Agar doa tidak terhalang

Banyak orang pergi haji atau umrah ke tanah suci, dengan mengeluarkan harta yang tidak sedikit, agar bisa berdoa di tempat yang mustajabah. Akan tetapi, kesucian tempat berdoa tidak akan berpengaruh banyak jika tidak diiringi dengan kesucian makanan yang masuk ke dalam perut.

  1. Mencegah api neraka

Alasan lain bagi kita untuk menghindari makanan haram adalah untuk menjauhkan diri kita dari api neraka, karena daging yang tumbuh dari asupan makanan haram akan menjadi sasaran api neraka di akhirat nanti. Wal ‘iyaadzu billah.

  1. Mencegah timbulnya penyakit

Salah satu hikmah dari menghindari makanan yang haram adalah terhindarnya diri kita dari penyakit. Apalagi jika makanan yang kita makan adalah makanan yang thayyib, yang jelas nilai gizinya dan sesuai dengan kebutuhan tubuh kita.

  1. Tidak mengikuti langkah setan

Pelajaran mengenai halal-haram sebetulnya sudah dikisahkan melalui kisah Adam as., Hawa, dan larangan memakan buah khuldi. Setan menggoda Adam as. dan Hawa untuk memakannya sehingga Allah swt. menghukum mereka. Maka demikian pula akibatnya jika seseorang mengikuti langkah setan dan memakan apa yang dilarang dan diharamkan Allah. Na’uudzu billaahi mindzalik.

Kesimpulan

            Para pembaca yang dirahmati Allah swt., demikianlah ulasan mengenai halal haram yang bisa penulis sampaikan. Dari sini kita memahami bahwa halal-haram bukan saja mengenai makanan dan minuman, akan tetapi menyeluruh ke segala aspek kehidupan. Dan kita juga bisa memahami bahwa pengaruh kehalalan sangat besar terhadap kualitas hubungan dan kedekatan kita dengan Allah swt. Kedekatan itu selanjutnya akan berpengaruh terhadap terkabul atau tidaknya doa-doa yang kita panjatkan sebagai hajat hidup kita di dunia. Selain itu pula, Allah akan memelihara jiwa mereka yang melaksanakan gaya hidup halal baik di dunia (dengan kesehatan), maupun di akhirat (dengan terhindarnya tubuh kita dari api neraka). Wallahu a’lam bis shawaab.

Referensi

Al Ghazali, Imam. 2007. Rahasia Halal-Haram: Hakikat Batin Perintah dan Larangan Allah. Terjemahan oleh Iwan Kurniawan. Bandung: Mizania

Ali, Muchtar. 2016. Konsep Makanan Halal dalam Tinjauan Syariah: Tanggung Jawab Produk Atas Produsen Industri Halal. Ahkam: Vol. XVI, No. 2, Juli 2016

Sarwat, Ahmad. 2014. Halal atau Haram?Kejelasan Menuju Keberkahan. Jakarta: Gramedia

Qardhawi, Yusuf. 1993. Halal dan Haram dalam Islam. Terjemahan oleh Mu’ammal Hamidy. Surabaya: Bina Ilmu

HIKMAH HIJRAH

HIKMAH HIJRAH

Oleh: Dr. Rahmani Timorita Yulianti, M.Ag

 

Hijrah identik dengan proses perpindahan, yaitu pindah dari suatu tempat ke tempat yang lain guna mencari keselamatan diri dan mempertahankan aqidah agar lebih dekat kepada Allah Sang Pencipta. Imam Abu Dawud dalam riwayatnya telah memperjelas hijrah dengan makna proses mendekatkan diri kepada Allah Swt. (Dawud, t th) Dengan kata lain adalah perpindahan dari suatu keadaan ke keadaan yang lain untuk mendapatkan sesuatu yang lebih baik daripada sebelumnya. Hijrah tidak selalu diartikan dengan berpindah tempat, namun berpindahnya itulah yang disebut hijrah. Hijrah pada haikatnya adalah berpindah menuju kebaikan. Misalnya dari orang yang berkepribadian buruk berusaha menjadi orang yang lebih baik dan lebih baik lagi. Dengan berhijrah di jalan Allah dan Rasul-Nya, maka seseorang akan memperoleh banyak keutamaan: (Shihab, 2002)

Keutamaan pertama, orang yang melakukan hijrah akan mendapatkan keluasan rizki, sebagaimana firman Allah dalam al-Qur’an surat an-Nisa ayat 100 yang artinya:

Barang siapa berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka mendapati di muka bumi ini tempat hijrah yang luas dan rezeki yang banyak. Barang siapa keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian kematian menimpanya (sebelum sampai ke tempat yang dituju), maka sungguh telah tetap pahalanya di sisi Allah. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”

Keutamaan kedua, orang yang hijrah akan dihapuskan kesalahan-kesalahannya. Hal ini berdasarkan al-Qur’an surat Ali Imran ayat 195 yang artinya:

Maka, orang-orang yang berhijrah, yang diusir dari kampung halamannya, yang disakiti pada jalan-Ku, yang berperang dan yang dibunuh, pastilah akan Ku-hapuskan kesalahan-kesalahan mereka dan pastilah Aku masukkan mereka ke dalam surga yang mengalir sungai-sungai di bawahnya, sebagai pahala di sisi Allah. Pada sisi-Nya pahala yang baik.”

Keutamaan ketiga, orang yang hijrah akan ditinggikan derajatnya di sisi Allah dan mendapatkan jaminan surga-Nya. Hal ini dapat dibaca dalam surat at-Taubah ayat 20-22 yang artinya:

”Orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad di jalan Allah dengan harta, benda dan diri mereka, adalah lebih tinggi derajatnya di sisi Allah; dan itulah orang-orang yang mendapat kemenangan. Tuhan mereka menggembirakan mereka dengan memberikan rahmat dari padanya, keridhaan dan surga, mereka memperoleh di dalamnya kesenangan yang kekal. Mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Sesungguhnya di sisi Allah-lah pahala yang besar.”

Keutamaan keempat, orang yang hijrah akan diberikan kemenangan dan meraih keridhaan-Nya. Dalam al-Qur’an surat at-Taubah ayat 100 disebutkan, yang artinya:

Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan Muhajirin dan Anshar, dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah, dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya selama-lamanya. Mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang besar.”

Di antara peristiwa sejarah yang sangat monumental dalam perjalanan hidup Rasulullah Saw., adalah peristiwa hijrah Sang Nabi dan sahabatnya dari kota Mekkah ke kota Madinah. Dalam peristiwa tersebut tampak sosok manusia yang begitu kokoh dalam memegang prinsip yang diyakini, tegar dalam mempertahankan aqidah, dan gigih dalam memperjuangkan kebenaran. Sehingga sejarah pun dengan bangga menorehkan tinta emasnya untuk mengenang sejarah hijrah tersebut, agar dapat dijadikan tolok ukur dalam pembangunan masyarakat masa kini, menuju masyarakat madani dan rabbani. Tegak di atas kebaikan, kebenaran, dan tegas terhadap kekufuran.

Perintah hijrah yang bermakna non-fisik telah diperintahkan kepada Nabi Muhammad Saw., di masa pertama kenabiannya. Hal ini dapat  ditemukan dalam wahyu-wahyu awal sebagaimana terekam dalam surat al-Muzammil ayat 10 dan al-Mudatstsir ayat 5. Tiga belas tahun kemudian, Nabi dan para sahabat diperintahkan melakukan hijrah fisik demi menyelamatkan iman mereka dari gangguan masyarakat kafir Mekkah. Hal ini menunjukkan bahwa aktivitas hijrah, baik dalam arti fisik ataupun non-fisik, merupakan konsep yang sangat penting dalam struktur ajaran agama.

Agama, selalu dilukiskan sebagai jalan kebenaran. Konsep-konsep seperti syari’ah, thariqah, dan shirath, yang mewakili kata lain dari agama, semuanya memiliki arti jalan. Salah satu korelasi yang paling kuat dengan pengertian jalan adalah gerak. Orang yang berada di jalan haruslah bergerak. Orang yang berhenti di jalan berarti menyalahi sifat dasar jalan itu sendiri. Oleh karena itu, orang Islam harus bergerak dan dinamis. Hal itu dinyatakan dengan sangat jelas dalam peristiwa hijrah. Dengan demikian, peristiwa hijrah adalah peristiwa bergerak menuju kebaikan dan kebenaran secara dinamis.

Kedinamisan tersebut terbukti dengan peristiwa Rasulullah sesampainya di Kota Yatsrib (Madinah). Nabi Muhammad kemudian melakukan banyak langkah penting guna memulai titik balik kemajuan Islam sebagai agama peradaban. Di antara langkah penting yang dilakukan Nabi adalah membangun masjid, mempersaudarakan kaum Muhajirin dan Anshar, mengubah nama Kota Yatsrib menjadi Kota Madinah, membuat kesepakatan sosial-politik dengan suku-suku Yahudi yang mendiami wilayah itu, dan lain sebagainya.

Melalui hijrah itulah Nabi Muhammad membangun masyarakat Madinah yang berciri egaliterianisme, penghargaan berdasarkan prestasi bukan prestise, keterbukaan partisipasi seluruh anggota masyarakat, dan penentuan kepemimpinan melalui pemilihan, bukan berdasarkan keturunan.

Dari paparan tersebut, terdapat pelajaran yang bisa dipetik untuk diterapkan dalam kehidupan masyarakat masa kini demi mencapai perubahan ke arah yang lebih baik.

Pelajaran pertama adalah, bahwa kita harus memiliki tekad yang kuat untuk meninggalkan berbagai hal yang bertentangan dengan ajaran agama maupun nilai-nilai kemanusiaan. Kemungkaran tersebut di antaranya seperti korupsi, menindas sesama manusia, menipu, berbohong, merampas hak orang lain, dan masih banyak yang lain.

Kedua, masyarakat harus memiliki sikap dinamis dalam merespon perubahan zaman demi mencapai tujuan bersama yang dicita-citakan. Sikap dinamis itu dimanifestasikan dengan cara mengambil hal terbaik dari masa kini, dengan tetap mempertahankan warisan terbaik dari masa lalu.

Ketiga, bahwa perubahan yang dicita-citakan itu harus didasarkan kepada arah dan tujuan yang jelas. Tujuan tersebut kemudian harus dilengkapi dengan kematangan strategi dan taktik supaya gagasan-gagasan yang besar dapat diterjemahkan ke dalam dunia nyata.

Keempat, untuk menuju perubahan yang dicita-citakan, nilai-nilai spiritual menjadi suatu keniscayaan yang harus dibina. Spiritualitas adalah sisi yang paling dalam dari diri manusia sebagai agen perubahan. Oleh karena itu, jika spiritualitas tidak mendapatkan tempat dalam diskursus perubahan, maka bisa dipastikan perubahan itu hanya bersifat semu dan tak bermakna.

Kelima,  perubahan yang dicita-citakan tak akan terjadi apabila persatuan sosial dalam masyarakat tidak tercipta. Berdasarkan hal inilah, perbedaan-perbedaan yang merupakan keragaman tidak boleh menghalangi kita untuk bergerak menuju tujuan bersama. Perbedaan suku, ras, kelas sosial, bahkan agama, tidak boleh menjadikan masyarakat terpecah, karena ia adalah modal sosial untuk membangun kemajuan.

Keenam, sudah saatnya kita memberikan penghargaan kepada sesama terutama dalam konteks menjadikannya pemimpin berdasarkan prestasi yang telah dicapainya, dan bukan berdasarkan prestise, apalagi keturunannya.

Ketujuh, bahwa perubahan harus dipimpin oleh seseorang yang memiliki kemampuan menjadi contoh dalam menjalankan perubahan tersebut. Kemampuan inilah yang dimiliki Nabi Muhammad Saw., dalam memimpin masyarakat Madinah untuk menuju perubahan yang berperadaban.

Di atas semua itu, proses hijrah harus kita lakukan demi menuju perubahan yang dicita-citakan bersama. Karena hanya dengan hijrah-lah kita dapat mencapai tujuan sosial dari kehidupan beragama dan berbangsa yaitu menciptakan kehidupan yang beradab dengan memuliakan seluruh manusia berdasarkan prestasi yang dilakukannya.

Menjadi Makhluk yang Disukai Allah untuk Meraih Sukses Dunia Akhirat

Menjadi Makhluk yang Disukai Allah untuk Meraih Sukses Dunia Akhirat

Oleh:

Siti Latifah Mubasiroh, S.Pd., M.Pd.

Dalam menjalani hidup ini, semua manusia pasti ingin menggapai kesuksesan. Manusia dianugerahi oleh Allah swt. naluri yang menjadikannya gemar memperoleh manfaat dan menghindari mudharat. Beribadah dan melaksanakan tugas sebagai khalifah adalah tujuan penciptaan manusia, sedangkan ibadah tidak dapat terlaksana dengan baik bila kebutuhan manusia tidak tercukupi. Oleh sebab itu, pemenuhan kebutuhan duniawi merupakan sebuah kewajiban. Akan tetapi, pemenuhan kebutuhan dunia untuk mencapai sukses itu dapat dijalankan bersamaan dengan menggapai kesuksesan akhirat.

Kesuksesan hidup tidak hanya diukur oleh capaian duniawi semata, seperti berderetnya gelar akademik, menterengnya karier, atau melimpahnya penghasilan. Kesuksesan sejati diraih jika seluruh capaian itu memberi manfaat bagi orang lain sehingga mengalirkan pahala jariah, dan kelak, saat menutup usia dalam keadaan husnul khatimah. Hal ini penting dipahami agar umur yang Allah berikan kepada manusia tidak sia-sia, tetapi justru memberikan banyak kebermanfaatan bagi diri sendiri dan sesama.

 

Sifat dan Perilaku yang Disukai Allah

Dalam menjalani hidup, manusia harus menjadikan Allah sebagai tujuan dengan senantiasa mengharap ridha-Nya dan menjadikan surga sebagai cita-cita (Dasuqi, 2008). Demikian juga hendaknya memandang kesuksesan. Untuk memperoleh kesuksesan dunia dan akhirat, tentu kita harus senantiasa mendekatkan diri pada Allah swt. dan menjadi orang yang disukai-Nya. Berikut ini uraian tentang macam sifat atau perilaku manusia yang disukai oleh Allah swt. berdasarkan dalil dalam al-Qur’an.

 

Al-Muhsinin

Kata al-muhsinin adalah bentuk jamak dari kata muhsin yang terambil dari kata ahsana-ihsana. Rasulullah saw. menjelaskan makna ihsan sebagai berikut:

“Engkau menyembah Allah, seakan-akan melihat-Nya dan bila itu tidak tercapai maka yakinlah bahwa Dia melihatmu” (HR Muslim). Dengan demikian, perintah ihsan bermakna perintah melakukan segala aktivitas positif, seakan-akan Anda melihat Allah atau paling tidak selalu merasa dilihat dan diawasi oleh-Nya.

 

Al-Muttaqin

Takwa dapat diartikan sebagai perbuatan menghindari ancaman dan siksaan dari Allah swt. dengan jalan melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Takwa selalu menuntun seseorang untuk senantiasa berhati-hati dalam berperilaku. Shihab (2013) menjelaskan bahwa terkait dengan ketakwaan, Allah memberikan dua macam perintah yang tercantum dalam Al-Qur’an, yaitu perintah takwini dan perintah taklifi. Perintah takwini, yakni perintah Allah terhadap objek agar menjadi sesuai dengan apa yang diperintahkan-Nya. Ia biasa digambarkan oleh firman-Nya dengan “Kun fayakun”. Hal ini tercantum dalam beberapa dalil dalam al-Qur’an, antara lain QS. Fushshilat:11 dan QS. Al-Anbiya’:69. Kedua dalil tersebut menunjukkan betapa kuasa Allah atas apa pun yang Ia kehendaki akan terjadi dengan segera.

Kedua, perintah taklifi, yaitu perintah Allah terhadap makhluk yang dibebani tugas keagamaan (manusia dewasa dan jin) untuk melakukan hal-hal tertentu. Hal ini dapat berupa ibadah murni, seperti shalat, puasa, maupun aktivitas lainnya yang bukan berbentuk ibadah murni, seperti bekerja untuk mencari nafkah, menikah, dan lain-lain (Shihab, 2013). Dalam konteks berinteraksi dengan sesama manusia, terdapat sebuah pepatah terkenal, yaitu “Sebanyak Anda menerima, sebanyak itu pula hendaknya Anda memberi.” Namun demikian, Allah tidak menuntut hal tersebut. Allah, Sang Maha Pemurah menurunkan firman-Nya dalam QS. At-Taghabun:16 yang artinya

Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu dan dengarlah serta taatlah dan nafkahkanlah nafkah yang baik untuk dirimu. Dan barangsiapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, maka mereka itulah orang-orang yang beruntung.”

Menurut Shihab (2013), jika kita hendak membicarakan prioritas dalam konteks ketakwaan, dapat diasumsikan dengan ilustrasi berikut ini: prioritas ketakwaan bagi penguasa adalah berlaku adil; bagi pengusaha adalah jujur; bagi guru/dosen adalah ketulusan mengajar dan meneliti; bagi si kaya adalah ketulusan bersedekah dan membantu; bagi si miskin adalah kesungguhan bekerja dan menghindari minta-minta. Mereka yang bertakwa itulah yang memperoleh janji-Nya dalam QS. At-thalaq:2-3 yang menjelaskan bahwa Allah akan memberikan rezeki dan jalan keluar atas setiap permasalahan bagi hamba-Nya yang bertakwa dan tawakal kepada-Nya.

 

Al-Muqsithin

Kata al-Muqsithin adalah bentuk jamak dari kata muqsith, yang diambil dari kata awasatha yang biasa dipersamakan maknanya dengan berlaku adil. Menariknya, tidak ditemukan bunyi pernyataan al-Qur’an yang menyatakan bahwa Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil dengan kata ‘adl/adil, tetapi ditemukan perintah menegakkan al-qisth, yakni dalam beberapa firman-Nya: QS. Al-Maidah:8; QS. An-Nisa’:3; QS. AL-Hujurat:9.

 

Al-Mutathahhirin

Kata al-mutathahhirin dapat diartikan sebagai kesucian dan keterhindaran dari kotoran/noda. Salah satu pernyataan al-Qur’an bahwa Allah menyukai al-mutathahhirin ditemukan dalam QS. Al-Baqarah:222 yang menjelaskan tentang larangan seorang suami mencampuri istri yang sedang haid. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyucikan diri.

 

At-Tawwabin

At-tawwabin berarti kembali ke posisi semula. Manusia dilahirkan dalam keadaan suci. Akan tetapi, seiring berjalannya waktu, setan akan terus berusaha merayu manusia. Oleh sebab itu, hendaknya manusia yang berdosa segera bertaubat agar kembali suci. Allah swt., Sang Maha Pengampun sangat menyukai hamba-Nya yang bertaubat atas kesalahan-kesalahannya dan tidak mempersulit. Dalil yang menjelaskan tentang at-tawwabin tercantum dalam firman Allah swt., di antaranya QS. Al-Baqarah:37, QS. An-Nisa’:31, QS. An-Nisa’:17.

 

 

 

Ash-Shabirin

As-shabirin berarti sabar. Seorang yang sabar akan menahan dri, dan untuk itu memerlukan kekukuhan jiwa dan mental baja agar dapat mencapai ketinggian yang diharapkannya (Shihab, 2013). Mustaqim (2013) juga berpendapat bahwa sabar berusaha keras untuk mencapai tujuan, menahan diri dari rasa malas dan lelah. Banyak firman Allah dalam al-Qur’an yang berisi perintah kepada manusia untuk bersabar. Berdasarkan kajian yang telah dilakukan oleh Shihab (2013), dua kali al-Qur’an berpesan agar menjadikan shalat/permohonan kepada Allah dan sabar sebagai sarana untuk memperoleh segala yang dikehendaki (QS. Al-Baqarah:45, 153). Sabar selalu pahit awalnya, tapi manis akhirnya (QS. Ali Imran:186). Dengan kesabaran dan ketakwaan akan turun bantuan Ilahi guna menghadapi segala macam tantangan (QS. Ali Imran:120). Allah memerintahkan sabar dalam menghadapi yang tidak disenangi maupun yang disenangi.

 

Al-Mutawakkilin

Al-mutawakilin dapat diartikan mewakilkan. Perintah tawakal kepada Allah dalam al-Qur’an ditemukan sebanyak sebelas kali (Shihab, 2013). Oleh sebab itu, dapat disimpulkan bahwa dalam setiap aktivitas kehidupan kita, seorang Muslim dituntut untuk berusaha sambil berdoa dan setelah itu ia dituntut untuk berserah diri kepada Allah. Ketika manusia telah berusaha keras kemudian menyerahkan semuanya pada Allah, manusia harus yakin bahwa apa pun ketetapan Allah merupakan pilihan terbaik untuknya, sesuai dengan firman-Nya dalam QS. Al-Baqarah:216.

Dalam berusaha dan berserah kepada Allah, tentu manusia tidak boleh hanya duduk diam menunggu jawaban ataupun keajaiban. Manusia perlu terus berdoa mendekatkan diri kepada Allah swt. agar benar-benar diberikan yang baik menurut kita (sesuai keinginan) dan baik menurut Allah swt. Anshor (2017) menyampaikan hal-hal yang bisa dilakukan untuk meminta kepada Allah, yaitu (a) memperbanyak shadaqah, (b) bangun untuk shalat tahajud, dan (c) memperbanyak silaturahmi. Selain tiga daya pengungkit rezeki tersebut, tentu masih banyak amalan lainnya. Jika dikerjakan secara istiqamah, insya Allah, Allah akan mempermudah segala urusan dan pencapaian cita-cita makhluk-Nya.

 

Kerja Sama dan Network

Dalam QS. Ash-Shaf:4, Allah berfirman yang artinya,

 Sesungguhnya Allah menyukai orang yang berperang dijalan-Nya dalam barisan yang teratur seakan-akan mereka seperti suatu bangunan yang tersusun kokoh.”

Ayat di atas menunjukkan perlunya kebersamaan, network, dan koordinasi. Ciri khas ajaran Islam adalah kebersamaan dalam segala aktivitas positif, baik dalam melaksanakan ibadah ritual maupun dalam melaksanakan aneka aktivitas, itu sebabnya, shalat berjamaahn lebih diutamakan daripada shalat sendirian. Di sisi lain, kebersamaan itu tidak harus menjadikan semua pihak melakukan satu pekerjaan yang sama, melainkan perlu pembagian kerja yang diatur dalam satu network yang baik (Anshor, 2017).

 

Akhlak Mulia

Berdasarkan kajian yang dilakukan oleh Shihab (2013), dinyatakan bahwa ada empat sifat khusus yang disebut oleh QS. Al-Maidah:54 yang menjadi sebab tercurahnya cinta Allah kepada manusia, yaitu (a) bersikap lemah lembut terhadap orang-orang mukmin, (b) mulia/memiliki harga diri dan bersikap tegas terhadap yang kafir, (c) berjihad di jalan Allah, dan (d) tidak takut kepada celaan pencela.

 

Al-Ittiba’

  1. Ali Imran: 31 dan 32 memberi gambaran yang sangat umum menyangkut siapa atau perbuatan apa yang paling disukai Allah (Shihab, 2013), yakni perintah untuk menaati Allah dan Rasul-Nya. Al-ittiba’ berarti meneladani, mengikuti secara sungguh-sungguh. Cinta Allah yang luar biasa akan diraih oleh mereka yang bersungguh-sungguh mengikuti Nabi Muhammad saw. Al-ittiba’ yang dimaksud ini dijelaskan oleh sabda Rasul saw. yang berbunyi, “yakni atas dasar kebajikan, takwa, dan rendah hati” (HR at-Tirmidzi, Abu Nu’aim, dan Ibnu ‘Asakir melalui sahabat Nabi, Abu ad-Darda).

 

Kesimpulan

Kunci sukses adalah iman. Iman adalah fondasi dalam beramal shalih sebab Allah hanya akan menerima amal shalih makhluk yang beriman kepada-Nya. Kemampuan beramal shalih inilah yang dapat dikatakan sebagai kesuksesan dunia dan akhirat. Hadis Nabi Muhammad saw. yang banyak dikenal umat Muslim, “Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia” merupakan landasan pokok bagi manusia untuk menyikapi kesuksesan yang telah dimiliki. Sejatinya, semakin tinggi kesuksesan yang diraih, semakin besar pula tanggung jawab dan kebermanfaatan yang dilakukan. Semakin tinggi gelar pendidikan yang dan ilmu yang diperoleh, semakin besar amanah untuk menyampaikannya kepada orang lain. Semakin banyak kekayaan yang didapat, semakin banyak zakat mal dan shadaqah yang harus dikeluarkan untuk orang lain. Semakin tinggi jabatan, semakin besar tanggung jawab dan amanah untuk membantu dan menyejahterakan rakyatnya.

DAFTAR RUJUKAN

Ad-Dasuqi, K. ‘. (2008). Reasons of Happiness: Tips Menjadi Manusia Paling Bahagia Dunia Akhirat. Solo: Wacana Ilmiah Press.

Anshor, S. (2017). Journey to Success. Solo: Tinta Medina.

Mustaqim, A. (2013). Akhlak Tasawuf: Lelaku Suci Menuju Revolusi Hati. Yogyakarta: Kaukaba DIpantara.

Shihab, M. Q. (2013). Berbisnis Sukses Dunia Akhirat. Tangerang: Lentera Hati.

Shihab, M. Q. (2014). Mutiara Hati: Mengenal Hakikat Iman, Islam, dan Ihsan. Tangerang: Lentera Hati.

 

Bisnis Sebagai Ibadah, Sebuah Manifestasi Kesalehan Sosial

Bisnis Sebagai Ibadah, Sebuah Manifestasi Kesalehan Sosial

Oleh: Anom Garbo, SEI., ME

Kondisi umat Islam saat ini relatif belum mampu berdaulat dalam penguasaan ekonomi dan memiliki ketergantungan ekonomi yang cukup tinggi terhadap pihak lain. Salah satu penyebab kelemahan tersebut antara lain pemahaman yang belum optimal terhadap nilai-nilai dan ajaran agama, sehingga nilai-nilai tersebut diabaikandan tidak dapat diimplementasikan secara komprehensif dalam seluruh lini kehidupan. Sudah semestinya umat Islam bangkit dari keterpurukan ekonomi khususnya dalam mengatasi problem kemiskinan dan keterbelakangan akibat termarjinalkan dalam dunia ekonomi dan bisnis dengan mengembangkan jiwa entrepreneurship yang kokoh dan tangguh. Apalagi di tengah samudera modernitas saat ini, segala aspek bisa terhubung dengan demikian mudah dan cepat. Beragam kreativitas maupun inovasi bisa segera dibangun bersumber dari akses terhadap gerbang informasi yang terbuka lebar. Karena menjadi wirausahawan sesungguhnya hanya membutuhkan keberanian secara pribadi untuk kemudian menciptakan karya bernilai ekonomi tinggi melalui proses kreativitas dan inovasi.

Dalam membangun jiwa kewirausahaan umat yang berorientasi pada keuntungan jangka pendek (dunia) dan jangka panjang (akhirat) maka nilai-nilai luhur yang terkandung dalam ajaran Islam hendaknya perlu untuk direvitalisasi. Nilai ibadah yang luas, dimana bukan hanya terkait dengan aspek ritual saja dapat menjadi motivasi utama untuk membangkitkan semangat berbisnis. Motivasi ibadah untuk meraih ridho Allah ini dapat dijadikan dorongan untuk membangkitkan jiwa-jiwa bisnis dan kewirausahaan, sebab menumbuhkan jiwa kewirausahaan merupakan awal dalam membentuk dan menciptakan pribadi yang ulet, tanggung jawab dan berkualitas hingga akhirnya dapat bermuara pada terwujudnya kompetensi kerja.

Adapun selain itu, gencarnya modernisasi di segala aspek membuka peluang  persaingan bisnis yang semakin tidak terkendali, yang seringkali terjadi persaingan bisnis ataupun usaha yang tidaklah sehat. Dalam konteks membangun jiwa bisnis, saat ini nilai-nilai kejujuran dan amanah seringkali diabaikan oleh pelaku bisnis, padahal hal tersebut merupakan dasar yang cukup penting untuk ditanamkan. Oleh karena itu, integrasi antara ketaatan dalam ibadah dengan semangat membangun bisnis sangatlah dibutuhkan. Sikap jujur akan mengundang banyak simpati, relasi, dan membuat orang lain dengan kerelaannya menaruh dan memberikan kepercayaan seperti yang telah diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW.

IBADAH

Secara harfiah ibadah berarti bakti kepada Allah swt, sebab didorong dan dibangkitkan oleh aqidah atau tauhid. Dalam terminologi Islam, ibadah adalah kepatuhan kepada Allah yang didorong oleh rasa kekaguman dan ketakutan. Ibadah juga yang membuat “aqidah Islamiyyah” menjadi hidup dalam jiwa yang melakukannya, dan yang menyalurkan aqidah Islamiyyah dari tingkat penalaran menuju tingkat penghayatan, sehingga nurani manusia dapat mengidentifikasi segala suatu yang potensial pada dirinya. Dalam konteks pengembangan bisnis, kesadaran manusia atas potensi yang terdapat dalam dirinya merupakan modal utama terciptanya kreativitas dan inovasi, yang pada akhirnya bisa bermuara pada terbentuknya karya ataupun entitas bisnis.

Al-Qur’an telah mempopulerkan berbagai bentuk ibadah selain ibadah wajib. Shalat, dzikir dsb.. Berkaitan dengan ibadah adalah amal saleh yang memberi manfaat secara individual. Namun ada amal saleh yang bermanfaat bagi pelaku sekaligus bermanfaat bagi orang lain, hal tersebut adalah amal kemasyarakatan, seperti halnya membuka lapangan pekerjaan baru, membebaskan orang dari kebodohan, keterbelakangan, kemiskinan dan menolong orang yang sedang berada dalam kesulitan. Menurut Islam, amal sosial ini bernilai lebih tinggi daripada amal individual. Karya yang berkembang di tengah masyarakat akan diberi ganjaran lebih besar daripada aktivitas yang menguntungkan diri sendiri.

IBADAH SOSIAL

Dari Sumber-sumber Islam baik al Qur-an maupun hadits nabi saw diketahui bahwa dimensi pengabdian atau ibadah sosial dan kemanusiaan dalam Islam sesungguhnya jauh lebih luas dan lebih utama dibandingkan dengan dimensi ibadah personal. Dalam literasi fiqh klasik kita dapat melihat bahwa bidang Ibadat (ibadah personal) merupakan satu bagian dari banyak bidang keagamaan lain. Dalam buku-buku hadits kita juga melihat bahwa bab ibadah personal jauh lebih sedikit dibanding bab-bab yang lain. Fath al Bari Syarh Shahih al Bukhari, sebuah kitab hadits paling populer, misalnya hanya mengupas persoalan ibadah dalam empat jilid dari dua puluh jilid yang menghimpun bab lainnya. Ini jelas menunjukkan bahwa perhatian Islam terhadap persoalan-persoalan publik jauh lebih besar dan lebih luas daripada perhatian terhadap persoalan-persoalan personal.

Relevansi Memperdalam Konsep Ibadah di Tengah Modernitas

Pemahaman doktrin ibadah secara dangkal akan menjerumuskan umat Islam. Hal ini bisa dilihat bahwa sampai saat ini masih banyak yang menafsirkan ibadah dengan cara yang sangat sempit atau hanya yang menyangkut aspek ritual saja, seperti shalat, puasa, haji dsb., akibatnya ibadah seringkali kemudian berseberangan dengan aktivitas seseorang ketika sedang bekerja dalam berbagai sektor. Padahal sebenarnya doktrin ibadah lebih luas dari sekedar itu. Dalam firman Allah QS. Adz-Dzariyat: 56 berikut ini:

Artinya:  “dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.”

Dapat ditafsirkan bahwa setiap aktivitas manusia sesungguhnya adalah ibadah dan keseluruhan muara dari semua aktivitas tersebut adalah kesejahteraan manusia di dunia maupun kemenangan di akhirat. Kesejahteraan itu sendiri erat kaitannya dengan keuntungan yang didapatkan oleh manusia. Konsep beruntung dalam Islam memiliki tiga dimensi: yakni jangka pendek (dunia), jangka menengah (alam kubur); dan jangka panjang (akhirat). Maka, seperti halnya bisnis seharusnya tidak boleh berhenti untuk kepentingan jangka pendek, atau bisnis itu sendiri, bukan pula sekedar mencari keuntungan pragmatis tetapi sekaligus sebagai ibadah.

Berbisnis menjadi bagian pentig dari ibadah, sehingga jalan yang ditempuh seyogyanya juga sesuai dengan ajaran Islam itu sendiri. Islam memandang penting semua itu agar manusia bisa dengan lebih mudah menjalankan bentuk ibadah-ibadah lainnya seperti memberi nafkah terhadap keluarga, menyantuni anak yatim, membayar zakat dsb. Oleh karena itu, bercita-cita menjadi kaya dan bekerja keras sebagai aktualisasinya termasuk ke dalam ranah ibadah. Adapun demikian, fakta yang menunjukkan bahwa belum banyak umat Islam yang mampu berdaulat secara ekonomi seringkali diidentifikasi sebagai akibat dari belum kaffahnya aktvitas bisnis mereka mengadopsi prinsip-prinsip Ibadah dalam aktivitas bisnis mereka.

Urgensi Bisnis di Tengah Modernitas

Kemiskinan merupakan permasalahan ekonomi serius yang dihadapi masyarakat saat ini. Problem tersebut bersifat massiv, yakni tidak hanya dialami oleh umat Islam saja. Oleh karena itu gerakan untuk mengubah keadaan dalam bentuk perbaikan dan pemerataan ekonomi perlu dilakukan. Perbaikan tersebut harus dilaksanakan dengan berpegang pada prinsip keadilan. Sesungguhnya hal ini tidak akan terjadi jika ada kesadaran untuk mengusahakannya, karena usaha mengubah nasib dan merupakan tanggung jawab setiap orang untuk meningkatkan kesejahteraan diri, keluarga dan bangsanya. Sebagaimana dilukiskan dalam firman Allah QS Ar-Rad 11:

 

Artinya: “bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, di muka dan di belakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah[767]. Sesungguhnya Allah tidak merobah Keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaan[768] yang ada pada diri mereka sendiri. dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, Maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia.”

Salah satu modal awal dalam menumbuhkanekonomi yang kuat adalah menebarkan semangat dan mental entrepreneur. Dalam masyarakat pada umumnya terkondisi secara kultur untuk menjadi seorang pegawai. Wacana kehidupan dalam format pegawai, orang upahan, dan suruhan telah berkembang sejak lama. Dalam hal ini bukan berarti menjadi pegawai itu kurang baik daripada menjadi wirausahawan. Dunia usahapun tidak akan bergerak jika tidak ada pegawai-pegawai. Akan tetapi yang harus ditumbuhkan adalah mental dan jiwa wirausaha agar tercipta kemandirian sebuah bangsa.

Peran pengusaha Islam dalam upaya pemerataan ekonomi tentu sangatlah diharapkan, bahkan mustinya mampu menjadi aktor pembangunan ekonomi mengingat penduduk Indonesia yang didominasi oleh umat Islam. Ditambah dengan rujukan QS (13:11) bahwa kegiatan tersebut merupakan suatu bentuk ibadah bagi seorang muslim. Peningkatan sektor bisnis demi memberantas kemiskinan adalah kegiatan bernilai ibadah sosial, dan kewajiban yang menyangkut nilai dan bobot keagamaan seseorang.

Islam dan Kewirausahaan

Dalam pandangan Islam, bekerja dan berusaha, termasuk berwirausaha dapat dikatakan merupakanbagian tak terpisahkan dari kehidupan manusia karena keberadaannya sebagai khalîfahfî al-’ardh dimaksudkan untuk memakmurkan bumi dan membawanya ke arah yang lebih baik. Posisi bekerja dalam Islam sebagai kewajiban kedua setelah shalat. Oleh karena itu apabila dilakukan dengan ikhlas maka bekerja itu bernilai ibadah dan mendapat pahala. Bekerja tidak saja menghidupi diri sendiri, tetapi juga menghidupi orang-orang yang ada dalam tanggungan dan bahkan bila sudah berkecukupan dapat memberikan sebagian dari hasil kerja untuk menolong orang lain yang memerlukan.

Berusaha dalam bidang bisnis dan perdagangan adalah usaha kerja keras. Dalam kerja keras itu, tersembunyi kepuasan batin yang tidak dinikmati oleh profesi lain. Dunia bisnis mengutamakan prestasi lebih dulu, baru kemudian prestise, bukan sebaliknya. Prestasi dimulai dengan kerja keras dalam semua bidang. Bekerja keras merupakan hal yang penting dari kewirausahaan. Prinsip kerja keras dalam kewirausahaan merupakan langkah nyata yang harus dilakukan agar dapat menghasilkan kesuksesan, tetapi harus melalui proses yang penuh dengan tantangan atau risiko.

Teladan dari Rasulullah saw yang juga merupakan seorang wirausaha dapat dijadikan aset yang sangat berharga dalam konsep kewirausahaan yang berbasis syariah. Nilai-nilai kejujuran (shiddîq), ‘amânah (dapat dipercaya), fathânah (kecerdasan), tablîg (komunikatif) merupakan pilar utama yang harus dimiliki oleh seorang wirausaha. Sebagai pelaku bisnis dan juga rasul, Nabi Muhammad saw tak henti-hentinya menghimbau umatnya untuk berwirausaha guna mencari rezeki Allah yang halal. Islam mengajarkan bahwa rezeki tidak ditunggu tapi dicari bahkan dijemput. Allah menurunkan rezeki sesuai dengan usaha yang dilakukan manusia sesuai prinsip bisnis universal, yaitu amanah dan terpercaya, di samping mengetahui dan memiliki keterampilan bisnis yang baik dan benar. Oleh karena itu seberapa besar manusia mencurahkan pikiran dan tenaga, sebesar itu pula curahan rezeki yang dikaruniakan Allah Swt.

 

Berbisnis Dengan Motivasi Ibadah

Syariat Islam memandang penting kekayaan untuk dapat mendukung pelaksanaan ketentuan-ketentuan Allah Swt. Setidaknya terdapat dua rukun Islam yang mensyaratkan kemampuan ekonomi yang cukup, yakni kewajiban melaksanakan zakat dan ibadah haji. Lebih lanjut Rasululah saw menyatakan dengan sabdanya “kaada a-faqru an yakuuna kufran” yakni kemiskinan bisa membawa orang kepada kekufuran. Berarti bahwa kemiskinan bisa menjadi ancaman terhadap iman, bahkan dalam banyak kasus seorang muslim berpindah keyakinan karena alasan kebutuhan ekonomi. Oleh sebab itu, sudah seharusnya dari sekarang kita tanamkan dalam diri kita sebagai seorang muslim untuk bangkit memerangi kemiskinan yang masih menimpa banyak saudara kita, umat Islam.

Umat Islam dan pelaku bisnis seharusnya bersyukur atas sebab Rasulullah membekali umat Islam untuk menghadapi perbedaan. Beliau menegaskan bahwa perbedaan itu adalah rahmat, apabila pandai dan arif menangani perbedaan itu. Islam juga mengajarkan agar perbedaan dan kemajemukan dikembangkan sebagai pendorong untuk melaksanakan perbuatan baik bagi sesama, serta berulang kali mengajarkan untuk br-fastabiqul khairah, berlomba-lomba untuk berbuat kebaikan, termasuk berkompetisi dalam bisnis secara sehat untuk mencapai kesejahteraan dunia maupun kebahagiaan akhirat.

Motivasi yang diajarkan oleh Islam adalah semangat untuk beribadah dengan sungguh-sungguh dan bekerja keras untuk mencari ridha Allah Swt. Melalui kerja keras inilah umat Islam akan mampu menempuh kehidupan dengan bekal kekuatan yang mantab. Sedangkan berdiam diri akan menjerumuskan kepada titik lemah dan ketidak berdayaan. Islam senantiasa mengajak penganutnya untuk senantiasa bergairah, optimis dalam menjalani hidup, bukan menjadi makhluk yang lemah dan miskin. Sebab Islam juga merupakan agama yang berorientasi pada masa depan, yakni kejayaan di dunia dan di akhirat. Sebagaimana firman Allah Swt QS al-Kahfi 7-8 berikut ini:

Artinya:  “Sesungguhnya Kami telah menjadikan apa yang di bumi sebagai perhiasan baginya, agar Kami menguji mereka siapakah di antara mereka yang terbaik perbuatannya (7) dan Sesungguhnya Kami benar-benar akan menjadikan (pula) apa yang di atasnya menjadi tanah rata lagi tandus (8).”

 

Ayat tersebut menunjukkan kepada manusia bahwa bumi ini hanya sebagai tempat bagi manusia-manusia terbaiknya untuk mencari dan mengembangkan fasilitas ibadah dan amaliah, manusia dipersilakan untuk mengeksplorasi bumi dan isinya guna kepentingan ibadah, seperti kejayaan diri, keluarga, negara dan umat manusia pada umumnya. Setiap orang yang tidak mau memanfaatkan waktu dan kesempatan akan merugi.

Islam melarang orang yang menuruti angan-angannya yang kosong, bercita-cita tanpa disertai dengan usaha. Adapun demikian, Islam juga melarang orang yang bekerja keras untuk merealisasikan cita-cita namun melupakan adanya Allah Swt. Islam mengajak setiap manusia untuk ikhlas menyerahkan diri kepada Allah dan bekerja dengan baik. Keselarasan dalam menjalankan tanggung jawab demi kejayaan di dunia, ketenangan di alam kubur dan kenikmatan di akhirat itulah yang menjadi cita-cita dalam tuntunan Islam.

Motivasi ibadah untuk meraih ridha Allah ini dapat dijadikan dorongan untuk membangkitkan jiwa kewirausahaan karena menumbuhkan jiwa kewirausahaan merupakan “pintu gerbang” dalam membentuk dan menumbuhkan pribadi ulet, tanggung jawab, dan berkualitas yang bermuara pada terwujudnya kompetensi kerja. Oleh karena itu, kalau memperhatikan dinamika kehidupan sekarang yang kian kompetitif, maka dituntut untuk cerdas dalam menciptakan ruang yang kondusif bagi tumbuhnya spirit entrepreneurship.

Kesimpulan

Motivasi ibadah untuk meraih ridho Allah dengan jalan bisnis dapat dijadikan dorongan untuk membangkitkan jiwa-jiwa bisnis dan kewirausahaan, sebab menumbuhkan jiwa kewirausahaan merupakan awal dalam membentuk dan menciptakan pribadi yang ulet, tanggung jawab dan berkualitas hingga akhirnya dapat bermuara pada terwujudnya kompetensi kerja.

Dalam konteks kewirausahaan, agama akan mempengaruhi sikap dan perilaku wirausaha melalui penciptaan nilai, menjalankan kegiatan bisnis dengan lebih menekankan pada moral dan etika bisnis. Beberapa studi sebelumnya menyatakan bahwa, ketika religiusitas individu mampu berperan sebagai faktor-faktor yang membedakan dengan individu yang lain, maka itu akan menimbulkan konsekuensi dari perbedaan dalam pencapaian kinerja.

Bahwa ketika bisnis dimulai dan ditujukan berdasarkan semangat beribadah maka hasil yang didapatkan bukan hanya berwujud keuntungan materiil semata, melainkan juga keuntungan yang bisa dinikmati pada tingkatan kehidupan yang abadi, yakni di akhirat kelak.

EKONOMI ISLAM DAN CHARACTER BUILDING

EKONOMI ISLAM DAN CHARACTER BUILDING

H. Nur Kholis, S.Ag, S.E.Sy, M.Sh.Ec

[email protected]

Prolog: Urgensi Character Building

Beberapa waktu terakhir ini, halaman utama media cetak dan berita utama berbagai media elektronik di Indonesia dihiasi oleh berita yang terkait dengan korupsi pejabat, suap menyuap, pencucian uang, penggelapan uang nasabah bank, tindak kekerasan, dan lain-lain yang menunjukkan betapa memprihatinkannya kondisi karakter bangsa. Bahkan menurut Kemendagri, antara tahun 2004-2017 terdapat 392 Kepala daerah tersangkut hukum, jumlah terbesar adalah korupsi sejumlah 313 kasus (Jawapos.com). Sendi-sendi kehidupan kebangsaan, kemasyarakatan, sosial, ekonomi, politik, hukum dan budaya tengah berada pada situasi yang sangat membahayakan kemanusiaan dan keberlangsungan kehidupan manusia yang adil dan beradab. Ini semua akibat dari perilaku-perilaku manusia yang tidak bermoral yang menunjukkan nihilnya karakter dalam dirinya.

Menurut Erie Sudewo, faktor tidak memiliki karakter merupakan penyebab utama terjadinya berbagai perilaku tidak terpuji manusia, baik yang berpangkat maupun tidak berpangkat (Erie Sudewo, 2011). Manusia yang memiliki karakter kuat tidak akan mudah tergoda. Mereka akan konsisten dengan kebenaran dan nilai-nilai luhur yang dipegangnya. Tapi begitulah kenyataannya, banyak yang dulu meneriakkan anti KKN, tetapi begitu masuk dalam sistem dan menikmati jabatan dan uang, ternyata mereka menjadi bagian dari jaringan KKN itu sendiri.

Kenyataan yang demikian itu, menunjukkan bahwa untuk menjadikan bangsa ini adil makmur dan sejahtera, dibutuhkan SDI yang berkarakter yang pada akhirnya menjadi karakter bangsa, yaitu sekumpulan dari karakter-karakter individu dalam sebuah negara. Untuk membangun karakter bangsa, memang tidaklah semudah membalik telapak tangan, tetapi bukan berarti tidak mungkin dan tidak bisa. Harus ada ikhtiar yang terus menerus dalam berbagai lini dan aspek kehidupan.

Praktik Ekonomi Islam sebagai Media Character Building

Di antara ikhtiar yang mungkin dilakukan adalah membangun karakter bangsa melalui aspek kehidupan berekonomi. Hal ini didasari fakta bahwa faktor ekonomi seringkali menjadi faktor utama perilaku manusia menjadi tidak bermoral dan tidak berkarakter. Misalnya kasus korupsi pejabat yang banyak terjadi akhir-akhir ini juga didasari motif ekonomi (khususnya uang) yaitu untuk memperkaya diri, keluarga dan kelompoknya. Kasus suap menyuap juga dilandasi motif ekonomi yaitu untuk mendapatkan uang yang lebih banyak lagi. Kasus pencucian uang juga didorong oleh motif ekonomi yaitu untuk menghilangkan jejak pencurian uang dan korupsi uang yang dilakukannya. Penggelapan uang nasabah bank juga dilandasi motif ekonomi dengan menyalahgunkaan wewenang dan akses untuk memperkaya diri sendiri dengan cara mencuri uang nasabah, dan lain-lain. Itu semua menunjukkan bahwa penting sekali membangun karakter bangsa dari aspek perilaku berekonomi.

Dalam hal berekonomi, sejak tahun 1990-an telah dimulai praktik ekonomi Islam terutama di sektor keuangan yaitu dengan berdirinya Bank Syariah pertama di Indonesia (Bank Muamalat). Perkembangan selanjutnya hingga kini sangat menggembirakan, bahkan saat ini area praktik ekonomi Islam semakin meluas, baik sektor keuangan maupun sektor riil. Selain bank Syariah, telah hadir asuransi Syariah, pasar modal Syariah, pegadaian Syariah, reksadana Syariah, sukuk, leasing Syariah, venture Syariah, bisnis Syariah (hotel Syariah, kuliner berbasis Syariah, wisata Syariah, desa wisata Syariah, wisata religi), dan lain-lain. Semua kegiatan ekonomi yang berdasarkan Syariah tersebut, merupakan aktivitas ekonomi yang berkarakter dan bermoral, karena landasan aktifitas yang mendasari aktifitas ekonomi tersebut merupakan nilai-nilai yang bersumberkan dari ajaran Islam yang sarat dengan moral. Oleh karena itu, dapat dinyatakan bahwa praktik ekonomi Islam dapat menjadi media yang efektif bagi pembentukan karakter bangsa.

Ekonomi Islam telah memberikan panduan yang jelas dalam bertransaksi agar menghasilkan transaksi yang halal dan tayyib. Ekonomi Islam juga telah menggariskan jenis-jenis transaksi yang dilarang dalam transaksi bisnis di sektor riil yaitu: (1) Membuat dan menjual barang-barang yang najis, seperti bangkai, babi, anjing, arak, tahi, kencing dan lain-lain. (2) Membuat barang-barang yang tidak bermanfaat dalam Islam (membawa kepada mafsadat dan maksiat) atau yang mendatangkan kelalaian hingga menyebabkan seseorang individu itu lupa untuk beribadah kepada Allah. (3,4,5) Transaksi yang mengandung unsur riba, gharar, perjudian (6) Bay‘ ma‘dum (7) Melakukan penipuan dalam transaksi. (8) Membeli di atas belian orang lain. (9) Melakukan penimbunan (ihtikar), dan lain-lain (Humaisy dan al-Husein Syawat, 2001).

Bahkan ekonomi Islam menentukan kualifikasi transaksi ekonomi yang dianggap mengandung cacat yang dapat mengakibatkan batalnya kontrak dan transaksi yang dilakukan. Terdapat kontrak-kontrak tertentu yang mungkin menerima pembatalan. Hal itu disebabkan karena beberapa faktor, yaitu adanya beberapa cacat yang bisa menghilangkan keridaaan atau kehendak sebagian pihak (‘uyub al-taradi aw ‘uyub al-iradah). Maka pada saat itu pihak yang dirugikan berhak membatalkan akad.

Dengan berbagai ketentuan ekonomi Islam yang harus dijadikan guidance dalam transaksi ekonomi, pelaku ekonomi sektor riil akan terjaga untuk melakukan aktivitas bisnis tercela, sehingga ketika pelaku bisnis itu menerapkan secara sungguh semua ketentuan ekonomi Islam tersebut akan terjaga karakternya, sehingga di sini dapat dikatakan bahwa praktik ekonomi Islam berkontribusi besar dalam membangun karakter bangsa melalui membangun karakter pelaku ekonomi.

Sedangkan dalam ranah ekonomi sektor keuangan dapat dicermati dari berbagai ketentuan ekonomi Islam yang juga mengikat praktik ekonomi Islam. Misalnya larangan perdagangan utang (debt trading) dan perilaku spekulasi (maysir) yang marak dilakukan oleh lembaga-lembaga keuangan Amerika dan Eropa. Dalam teori keuangan Islam, tidak dibolehkan membayar utang dengan utang dan memperjualbelikan utang (bay’ al-dain). Hal ini untuk mencegah terjadinya ketidakmampuan membayar (default) oleh debitur yang bersangkutan yang dapat berujung pada kepailitan (bankcruptcy).

Dalam hukum ekonomi Islam, ada beberapa jenis transaksi yang tidak dibolehkan antara lain yaitu riba, taghrir, maysir, tadlis. Larangan terhadap riba sudah jelas dengan diharamkannya berbagai bentuk bunga pinjaman. Larangan ini bukan hanya didasarkan pada larangan mengeksploitasi pihak yang membutuhkan kredit, tetapi lebih kepada terciptanya iklim ekonomi yang lebih adil dengan bergeraknya sektor riil, bukan hanya sektor keuangan. Kalau sebagian besar orang merasa lebih nyaman mendapatkan uang dengan bunga, maka sektor riil tentu tidak bergerak. Akibatnya perdagangan barang dan jasa jadi terhambat dan ekonomi masyarakat memburuk dan mengundang terjadinya krisis.

Penutup

Dengan demikian, jika berbagai ketentuan ekonomi Islam yang harus dijadikan guidance dalam transaksi ekonomi di sektor riil maupun keuangan itu dipatuhi oleh semua pelaku ekonomi, maka pelaku ekonomi tidak akan terjerumus untuk melakukan aktivitas ekonomi dan keuangan yang tercela, sehingga ketika pelaku ekonomi dan keuangan itu menerapkan secara sungguh semua ketentuan ekonomi Islam tersebut akan terjaga karakternya, sehingga di sini dapat dinyatakan bahwa praktik ekonomi Islam dalam berbagai aspek dan bidangnya dapat menjadi media yang berkontribusi besar dalam character building bangsa Indonesia melalui membangun karakter pelaku ekonomi baik di sektor riil maupun sektor keuangan. Untuk itu, mari terus kita galakkan praktik ekonomi Islam dalam semua aspek kehidupan ekonomi agar terwujud manusia Indonesia berkarakter yang menunjang tercapainya negara Indonesia yang adil dan sejahtera, baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur.

Ibadah Kurban dan Kemandirian Ekonomi Umat

Ibadah Kurban dan Kemandirian Ekonomi Umat

Oleh : Tulasmi, SEI., MEI

Setiap tahun umat Islam diseluruh dunia merayakan hari raya Idul Adha. Hari Raya Idul Adha yang dilaksanakan pada tanggal 10 Dzulhijjah dalam penanggalan hijriyah setiap tahunnya ini pastilah identik dengan pelaksanaan ibadah haji dan penyembelihan hewan kurban. Ibadah haji adalah salah satu rukun Islam yang wajib dilaksanakan oleh umat Islam, tentunya yang memiliki kemampuan baik secara fisik maupun kemampuan finansial. Sedangkan penyembelihan hewan kurban juga merupakan salah satu ibadah bagi umat Islam dalam rangka meningkatkan ketakwaan kepada Allah SWT.

Meskipun terdapat perbedaan pendapat ulama mengenai status hukum ibadah kurban ini, antara wajib-bagi orang yang memiliki kelapangan rizki-atau sunnah muakkad (sunnah yang dikuatkan/ ditekankan). Namun pelaksanaan ibadah kurban di Indonesia setiap tahunnya menjadi salah satu agenda yang ditunggu-tunggu baik dari sisi pekurban maupun dari sisi orang-orang yang berhak menerima daging hasil sembelihan hewan kurban tersebut. Hari raya Idul Adha adalah adalah hari raya yang dapat mencerminkan sisi ketakwaan kepada Allah SWT (hablum minallah) sekaligus akan melatih seorang muslim pada sisi sosial kemanusiaannya (hablum minannas).

Hikmah Ibadah Kurban

Ibadah kurban merupakan salah satu ibadah yang disyariatkan kepada setiap muslim dengan syarat dan rukun yang sudah ditentukan (ibadah mahdah). Pelaksanaan ibadah kurban merupakan salah satu upaya bagi seorang muslim untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT dan mengikuti ajaran Rasulullah SAW. Ibadah kurban memiliki beberapa hikmah yang dapat diambil oleh seorang muslim:

  1. Meneladani dan mengikuti ajaran Nabi Ibrahim alaihissalam secara khusus dan juga mengikuti sunnah yang dicontohkan Nabi Muhammad SAW. Nabi Ibrahim alaihissalam yang menerima perintah dari Allah SWT, untuk menyembelih anaknya. Dan dengan kehendak Allah SWT anak tersebut digantikan dengan hewan sembelihan yang lain. Allah SWT berfirman:

فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ السَّعْيَ قَالَ يَا بُنَيَّ إِنِّي أَرَى فِي الْمَنَامِ أَنِّي أَذْبَحُكَ فَانْظُرْ مَاذَا تَرَى  قَالَ يَا أَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُ  سَتَجِدُنِي إِنْ شَاءَ اللَّهُ مِنَ الصَّابِرِينَ١٠٢ فَلَمَّا أَسْلَمَا وَتَلَّهُ لِلْجَبِينِ١٠٣ وَنَادَيْنَاهُ أَنْ يَا إِبْرَاهِيمُ١٠٤ قَدْ صَدَّقْتَ الرُّؤْيَا  إِنَّا كَذَلِكَ نَجْزِي الْمُحْسِنِينَ١٠٥ إِنَّ هَذَا لَهُوَ الْبَلَاءُ الْمُبِينُ١٠٦ وَفَدَيْنَاهُ بِذِبْحٍ عَظِيمٍ١٠٧ [الصافات: 102-107]

Yang artinya: “Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata, ‘Hai anakku, sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu, maka fikirkanlah apa pendapatmu!’ Ia menjawab, ‘Hai ayahku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu, insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar’. Tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya di atas pelipis(nya), (nyatalah kesabaran keduanya). Dan Kami panggillah dia, ‘Hai Ibrahim, sesungguhnya kamu telah mebenarkan mimpi itu’, sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata. Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar.” (Q.S.ash-Shaaffaat/37: 102-107)

  1. Mewujudkan rasa syukur kepada Allah SWT yang telah melimpahkan karunia dan nikmat bagi seorang muslim. Wujud rasa syukur seorang muslim dapat diwujudkan setidaknya dalam 3 bentuk. Pertama bersyukur dalam hati. Wujud syukur ini dengan menyadari dan meyakini sepenuhnya bahwa setiap nikmat yang kita terima semata-mata adalah karena kehendak Allah SWT. Kedua yaitu bentuk syukur melalui lisannya, misalnya dengan mengucapkan “alhamdulillahirabbil ‘alamin”. Ketiga adalah wujud syukur dalam bentuk perbuatan. Rasa syukur yang diwujudkan dalam bentuk perbuatan adalah dengan mempergunakan nikmat yang telah diberikan Allah tersebut pada jalan kebaikan dan diridhoi-Nya. Maka, bagi seorang muslim yang menjadi pekurban ia tengah berusaha mewujudkan rasa syukurnya dalam bentuk perbuatan yaitu melaksanakan kebaikan yang diperintahkan oleh Allah SWT.
  2. Melatih seorang muslim untuk ikhlas. Setiap ibadah yang dilakukan oleh seorang muslim tentunya diupayakan mencapai derajat ikhlas tanpa mengharapkan imbalan atau pamrih apapun kecuali hanya mengharap balasan dari Allah SWT. Ibadah kurban yang dilakukan dengan penyembelihan hewan kurban dan merelakan sebagian hartanya untuk membeli hewan sembelihan
  3. Memiliki kepekaan secara sosial kepada sesama. Daging hasil sembelihan hewan kurban dapat dimanfaatkan atau dimakan oleh shohibul qurban maupun disedekahkan kepada orang yang membutuhkan. Tentunya dengan aktivitas ini dapat melatih seorang muslim untuk memiliki kepekaan dan kepedulian secara sosial kepada sesama.

Dampak Ibadah Kurban bagi Perekonomian

Disisi lain, pelaksanaan ibadah kurban dengan penyembelihan hewan kurban ini baik secara langsung maupun tidak langsung memiliki dampak positif terhadap perputaran roda perekonomian umat. Di Indonesia sendiri, jumlah kebutuhan hewan kurban selalu naik setiap tahunnya. Pada tahun 2018 ini, Kementrian Pertanian memperkirakan kebutuhan hewan kurban untuk Hari Raya Idul Adha 1438 Hijiyah mencapai 1,5 juta ekor. Angka tersebut terdiri dari 4 jenis hewan kurban yang biasa disembelih oleh masyarakat muslim di Indonesia. Yaitu, s‎api sebanyak 462.339 ekor, k‎erbau sebanyak 10.344 ekor, k‎ambing sebanyak 793.052 ekor, dan domba sebanyak 238.853 ekor. Dengan jumlah tersebut, jika kita menghitung rata-rata harga satu ekor sapi dan kerbau Rp 15 juta, dan harga satu ekor kambing dan domba Rp 3 juta, maka jumlah rupiah yang berputar dalam sekali pelaksanaan ibadah kurban mencapai kurang lebih Rp 10 triliun. Jumlah angka yang tentunya memiliki nilai ekonomis dalam perputaran roda perekonomian Indonesia.

Kebutuhan hewan kurban yang cukup besar tersebut tentunya harus didukung dengan penyediaan hewan kurban oleh peternak. Peluang inilah yang saat ini telah mulai digarap oleh peternak secara mandiri maupun yang diinisiasi oleh beberapa lembaga zakat di Indonesia. Lembaga-lembaga zakat berupaya melaksanakan program yang bermuara pada satu rantai lingkaran distribusi hewan kurban. Pelaksanaan program tersebut diupayakan dapat mendorong sisi fundraising maupun sisi penyalurannya dana ZIS-nya dalam satu program sekaligus. Di sisi fundraising lembaga zakat menerima donasi dan penyaluran hewan kurban dari para pekurban. Sedangkan di sisi penyaluran dana ZIS, lembaga zakat melaksanakan program penyaluran ZIS produktif.

Melalui program penyaluran ZIS produktif, lembaga zakat berupaya melakukan pemberdayaan mustahik. Salah satunya dengan mendorong dan melakukan pembinaan serta pendampingan bagi mustahik untuk memelihara hewan ternak yang ditujukan untuk memenuhi kebutuhan hewan kurban. Di satu sisi lembaga zakat dapat melaksanakan program penyaluran dana ZIS-nya melalui pemberdayaan mustahik. Dan disisi lainnya, lembaga zakat akan memiliki stok kebutuhan hewan kurban, yang diperlukan pada saat pelaksanaan ibadah kurban yang dipercayakan oleh pekurban kepadanya.

Dengan pola seperti ini, ibadah kurban selain memiliki dimensi peningkatan ketakwaan secara individual bagi seorang muslim, menunjukkan kepedulian sosial terhadap sesama manusia dan juga tentunya akan memiliki dampak positif terhadap peningkatan kesejahteraan umat. Dengan pengelolaan yang baik atas rantai distribusi kebutuhan hewan kurban diharapkan akan mampu menjadi salah satu roda penggerak kegiatan ekonomi masyarakat. Yang pada akhirnya bersama-sama dengan instrumen ekonomi Islam yang lain akan membentuk kemandirian ekonomi umat Islam khususnya dan perekonomian negara pada umumnya.

Wallahu a’lam bish shawwab.

Ekonomi Kebahagiaan dan Ekonomi Islam

Ekonomi Kebahagiaan dan Ekonomi Islam

Rakhmawati, S.Stat, M.A.

 

Belum banyak yang mengetahui bahwa tanggal 20 Maret telah ditetapkan sebagai International Happiness Day oleh PBB sejak tahun 2012. Semua orang pasti setuju bahwa kebahagiaan merupakan hal utama yang ingin diraih. Dengan mengukur kebahagiaan, negara dapat terhindar dari “happiness traps”. Happiness traps telah terjadi di US dimana Produk Nasional Bruto terus meningkat namun kebahagiaan stagnan bahkan menurun (Beseiso, 2016). Pertumbuhan ekonomi memang menentukan tingkat kemajuan suatu bangsa, namun pemerintah perlu memperhatikan hal lain dalam usaha menyejahterakan rakyatnya. Sejahtera dalam arti yang sesungguhnya, bahagia, sejahtera lahir dan batin.

 

Dunia dikejutkan di pertengahan tahun 2017 dengan berita bunuh diri seorang vokalis grup band ternama Linkin Park. Ini membuktikan bahwa ketenaran dan uang yang berlimpah tidak dapat membeli kebahagiaan. Tentu saja hal ini tidak membuat uang menjadi unsur yang tidak penting dalam menentukan kebahagiaan. Angka bunuh diri tertinggi di tahun 2017 terdapat di negara Lithuania. Faktor utama dari tingginya angka bunuh diri di negara tersebut adalah adanya krisis ekonomi, pengangguran, dan multiplier effect lainnya.

 

Di tahap awal, manusia memerlukan materi untuk mendapatkan kenyamanan dan memenuhi kebutuhan dasar. Setelah kebutuhan dasar terpenuhi, pentingnya uang dalam memenuhi kebahagiaan semakin menurun perannya. Suatu penelitian menyebutkan terdapat keterkaitan antara pendapatan dengan kebahagiaan di negara-negara berkembang namun tidak untuk negara maju.

 

Ekonomi kebahagiaan menyoroti variabel kebahagiaan sebagai tujuan utama manusia. Ekonomi kebahagiaan mengkombinasikan teknik para ekonom dan psikolog dalam mempelajari kesejahteraan. Studi oleh Easterlin (1974) tercatat sebagai pionir di bidang ini. Berdasarkan analisis data cross section negara-negara di dunia, disimpulkan bahwa peningkatan pendapatan tidak diikuti dengan peningkatan kebahagiaan. Fenomena ini disebut sebagai Easterlin Paradox.  Easterlin Paradox kebanyakan terjadi di negara-negara maju. Setiap negara memiliki tantangan untuk mewujudkan kesejahteraan. Produk Domestik Bruto (PDB) telah menjadi tolak ukur kemajuan perekonomian suatu negara selama puluhan tahun. Namun demikian, para ekonom telah menekankan sejak diperkenalkannya PDB di tahun 1930-an untuk tidak menjadikan PDB indikator kesejahteraan secara umum. Tingginya pertumbuhan PDB dalam jangka panjang tidak memberikan solusi bagi masalah kemiskinan karena PDB memberikan gambaran aktivitas perekonomian namun tidak dapat mengukur economic well-being (Costanza, Hart, Talberth, & Posner, 2009). Sejak tahun 1970-an, ukuran kesejahteraan untuk melengkapi PDB mulai digunakan. antara lain Indeks Pembangungan Manusia, Green GDP, Index of Social Progress, dan Index Well-Being (termasuk di dalamnya kebahagiaan). Ekonom Islam juga telah mengembangkan index well-being dengan didasarkan pada nilai-nilai Islam seperti Islamic Human Development Index (Hendrieanto, 2009) dan Islamic index of Wellbeing (Batchelor, 2006).

 

Sebagai negara yang menempati peringkat atas dalam hal kebahagiaan, Bhutan memiliki GDP yang sangat rendah dibandingkan negara-negara lain. Hal ini menjadi salah satu motivasi negara Bhutan untuk menjadikan kebahagiaan sebagai isu penting di tingkat global. Bhutan merupakan negara yang pertama kali melakukan pengukuran kebahagiaan secara nasional dengan ukuran yang disebut Gross National Happiness (GNH) di tahun 1972. GNH Bhutan dikenal secara internasional setelah munculnya tulisan “Gross National Happiness is more important than the Gross Domestic Product” di Financial Times pada tahun 1986. Bank Dunia merilis World Happiness Report  pertama kali pada tahun 2012. Di Indonesia, Badan Pusat Statistik (BPS) menyusun indeks kebahagiaan mulai tahun 2014 berdasarkan Survey Pengukuran Tingkat Kebahagiaan (SPTK). Berbagai survey di tingkat nasional maupun global telah memasukkan pertanyaan mengenai kebahagiaan dengan konsep self-reported happiness. Sebutlah survey World Values Survey (WVS), General Values Survey (GVS), dan Indonesian Family Life Survey (IFLS).

 

Kebahagiaan sangat berperan dalam menciptakan masyarakat yang baik dan merupakan summum bonum menurut Aristoteles. Kebahagiaan sangat berhubungan dengan konsep utilitas dalam ekonomi dan dapat menjadi proksi bagi utilitas yang seringkali tidak dapat diukur secara eksplisit. Jika dapat diukur secara akurat, atau paling tidak mendekati, kebahagiaan adalah variabel alami bagi ekonom untuk dimodelkan karena maksimisasi utilitas adalah ide sentral dalam ekonomi.

 

Ada beberapa teori dalam ekonomi kebahagiaan mengenai faktor seseorang dapat bahagia. Studi empiris pun telah banyak dilakukan untuk mengetahui signifikansi hal-hal yang dianggap berperan dalam menciptakan kebahagiaan.

 

Sumber kebahagiaan setiap orang pasti berbeda satu dengan lainnya. ada yang bahagia karena uang melimpah, kekuasaan, ketenaran, dan lain sebagainya. Pertanyaannya, apakah kebahagiaan yang bersumber dari hal duniawi tersebut akan stabil, akan terus membuat bahagia?

 

Ekonomi Kebahagiaan dalam Islam

Berbeda dengan Ekonomi Konvensional, perihal kebahagiaan telah mendapat posisi yang penting dalam Ekonomi Islam serta memiliki nilai moral dan filosofis yang dalam (Abde & Salih, 2015). Dalam Ekonomi Islam terdapat konsep Falah yang merupakan tujuan hidup. Falah berasal dari kata aflaha-yuflihu. Falah merupakan kebahagiaan dunia dan akhirat (Misanam, Suseno, & Hendrieanto, 2012). Menurut Akram Khan dalam bukunya An Introduction to Islamic Economics, “Its verbal form aflah,, yuflihu means: to thrive; to become happy; to have good luck or success; to be successful.

 

Mungkin bisa kita katakan bahwa Ekonomi Islam telah memiliki bahasan mengenai Ekonomi Kebahagiaan dengan konsep Falah-nya. Khan (1994) menyebutkan tiga unsur falah yang masing-masing dapat dipilah menjadi aspek makro dan mikro (Khan, 1994).

 

Tabel 1 Aspek Mikro dan Aspek Makro dalam Falah

Unsur Falah Aspek Mikro Aspek Makro
Kelangsungan Hidup (biologi, ekonomi, sosial, politk) ·          Kesehatan, kebebasan keturunan, dsb

·          Kepemilikan faktor produksi

·          Persaudaraan dan harmoni hubungan sosial

·          Kebebabasn dalam partisipasi politik

·          Keseimbangan ekologi dan lingkungan

·          Pengelolaan sumber daya alam

·          Penyediaan kesempatan berusaha untuk semua penduduk

·          Kebersamaan sosial, ketiadaan konflik antarkelompok

Kebebasan berkeinginan ·          Terbebas dari kemiskinan

·          Kemandirian hidup

·          Penyediaaan sumber daya untuk seluruh penduduk dan untuk generasi yang akan datang
Kekuatan dan harga diri ·          Harga diri

·          Kemerdekaan, perlindungan terhadap hidup dan kehormatan

·          Kekuatan ekonomi dan kebebasan dari utang

·          Kekuatan milier

Sumber: Khan (1994)

 

Studi empiris ekonomi kebahagiaan telah banyak dilakukan baik di negara Barat maupun negara Timur. Faktor yang diteliti-pun bermacam-macam meliputi aspek ekonomi, kesehatan, hubungan interpersonal, dan politik. Helliwell, Layard, & Sachs (2017) menganalisis perbedaan kebahagiaan antar negara dan disimpulkan bahwa GDP per kapita, dukungan sosial, kesehatan, kebebasan menentukan pilihan, kemurahan hati, persepsi terhadap korupsi, serta positive dan negative affect adalah faktor yang mempengaruhi kebahagiaan. Positive affect merupakan perasaan kebahagiaan, tawa, dan kesenangan. Sedangkan negative affect adalah kekhawatiran, kesedihan, dan kemarahan. Lane (2017) menganalisis arah hubungan perilaku interpersonal dan perilaku individu terhadap kebahagiaan. Hasilnya terdapat dampak kausal yang positif antara trust terhadap kebahagiaan jangka pendek maupun jangka panjang. Bixter (2015) menggunakan data General Social Survey 2012 dan World Values Survey 2005 dan mengonfirmasi studi sebelumnya yang mengatakan bahwa kebahagiaan berkorelasi positif dengan political conservatism dan religiusitas. Ott (2011) melakukan analisis terhadap 130 negara mengenai Good Governance dan kebahagiaan. Good governance meningkatkan level kebahagiaan dan kesetaraan kebahagiaan. Salah satu aspek good governance adalah efektivitas pemerintahan yang dapat diukur dengan kualitas pelayanan publik.  Menurut Frey & Stutzer (2000), faktor kebahagiaan dapat dikelompokkan menjadi tiga yaitu (1) faktor kepribadian dan demografi, (2) faktor makro dan mikro, dan (3) kondisi institusi atau konstitusi di perekonomian dan masyarakat.

 

Jika kita lihat, variabel-variabel yang digunakan dalam studi tersebut dapat dikawinkan dengan unsur-unsur falah. Namun demikian, sepertinya belum ada studi empiris mengenai faktor kebahagiaan/falah dalam literatur Ekonomi Islam. Studi yang paling mendekati dengan Ekonomi Kebahagiaan adalah yang berkaitan dengan perhitungan Index wellbeing. Batchelor (2016) misalnya, studi ini menghitung index yang disebut sebagai IIW (Islamic Index of Well-being) negara-negara berpenduduk mayoritas muslim. Faktor apa yang signifikan terhadap wellbeing belum menjadi cakupan studinya. Beseiso (2016) menjelaskan dalam tataran konsep, mengenai peran keuangan dan perbankan syariah memiliki dalam ekonomi kebahagiaan, bagaimana agar Bank Sentral memiliki peran efektif dalam pencapaian human wellbeing (kebahagiaan).

 

Penutup

Penilaian kesejahteraan dalam arti sesungguhnya, yakni sejahtera lahir dan batin/kebahagiaan perlu dijadikan isu penting agar tidak terjebak dalam unsur materi/uang semata. Piramida kebahagiaan yang terdiri atas tujuh belas tujuan Sustainable Development Goal (SDG) dan unsur-unsur  falah dapat dijadikan pijakan dalam menentukan variabel-variabel yang perlu dilibatkan.

BANGKITKAN EKONOMI UMAT, RAIH KEMENANGAN DUNIA AKHIRAT

BANGKITKAN EKONOMI UMAT,

RAIH KEMENANGAN DUNIA AKHIRAT

Oleh: Rizqi Anfanni Fahmi, SEI, M.S.I.

Di setiap penghujung Ramadan, kita diperintahkan untuk bertakbir mengagungkan Allah tanda hari raya telah tiba. Setelah ditempa selama satu bulan oleh Allah, seharusnya kita mampu mengagungkan Allah di semua lini kehidupan, termasuk ekonomi. Kita sering mendengar kalimat Minal Aidin wal Faizin yang kurang lebih bermakna “Semoga Allah menjadikan kita sebagai orang-orang yang kembali dan memperoleh kemenangan”. Kemenangan dalam Alquran terdapat dalam beberapa kata salah satunya adalah Fauzu yang bermakna kemenangan berupa ampunan dan balasan surga bagi orang yang beriman dan beramal saleh serta berjihad memperjuangkan dakwah Islam. Kata “Fauzu” seakar dengan kata “Faizin”. Faizin di sini menunjukkan orang memperoleh kemenangan. Pantaskah kita mendapat predikat tersebut?

 

BERISLAM KAFFAH, SYARAT RAIH KEMENANGAN

Allah telah membuat panduan lengkap kepada kita dalam menjalani kehidupan di segala aspek melalui ajaran Islam. Islam adalah agama yang Kamil dan Syamil. Kamil berarti sempurna dan syamil berarti menyeluruh. Allah Ta’ala berfirman dalam surat Al-Ma’idah ayat 3“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridai Islam itu jadi agama bagimu”.

Mengapa agama harus repot-repot mengurus masalah ekonomi? Allah berfirman, jika kita mengaku beriman maka kita harus mau mengerjakan Islam dengan Kaffah sebagaimana firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 208:

 

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً وَلا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ

“Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhannya, dan janganlah kamu turut langkah-langkah setan. Sesungguhnya setan itu musuh yang nyata bagimu”

Tujuan akhir puasa adalah menjadi orang-orang bertakwa. Salah satu makna takwa adalah takut. Seorang yang bertakwa semestinya takut harta yang diperolehnya tidak halal serta takut jika transaksinya haram. Dengan kata lain, ciri orang yang sukses Ramadannya adalah yang mulai berhijrah dari aktivitas-aktivitas ekonomi yang tidak sesuai syariah Islam. Inilah modal awal kebangkitan ekonomi umat.

 

REALITAS EKONOMI UMAT

Indonesia merupakan negara dengan populasi muslim terbesar di dunia. Populasi yang dominan tidak selamanya menjadi yang dominan dalam perekonomian. Apa daya umat Islam masih betah menjadi pasar, bukan sebagai key player. Jumlah penduduk muslim yang sangat besar tak lantas menjadi market leader. Sepuluh orang terkaya Indonesia yang ada dalam daftar, hanya ada satu yang seorang muslim entrepreneur.

Salah satu kendala mengapa pengusaha muslim di Indonesia belum menjadi pengusaha besar adalah masalah permodalan, di luar masalah etos kerja, jaringan, dan skill kewirausahaan. Padahal kita memiliki Bank Syariah. Tidak bisakah Bank Syariah menjadi penyokong utama permodalan para pengusaha muslim?

Di sini pun kita akan menemui satu lagi masalah. Ceruk Bank Syariah masih terlampau kecil dibanding bank konvensional, padahal sudah 26 tahun eksis di dunia perbankan Indonesia. Aset atau kekayaan bank syariah baru sekitar 5,7% dari total aset perbankan nasional (Otoritas Jasa Keuangan, 2018). Beberapa penyebab orang enggan memiliki rekening bank syariah antara lain karena bank syariah belum memiliki produk dan layanan selengkap, semodern, dan sebagus bank konvensional. Anggapan lain adalah bank syariah sama saja dengan bank konvensional bahkan bunganya lebih tinggi. Apakah benar begitu?

Berkaitan dengan pengusaha, maka sangat erat hubungannya dengan produk halal. Menurut data LPPOM MUI, pada kurun waktu tahun 2011-2014, baru 26,11% dari produk pangan, kosmetika, dan obat-obatan, yang mendapat sertifikasi halal dari Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI, 2014). Hal ini patut menjadi perhatian kita semua. Belum lagi jika kita perhatikan bagaimana kejujuran yang diajarkan Rasulullah sebagai seorang pedagang, seakan sirna oleh umatnya. Bahkan ibadah umrah pun dijadikan ladang penipuan, sebagaimana kasus First Travel yang merugikan jamaah hingga  Rp 905 milyar dengan iming-iming umrah murah (Putri, 2018).

Islam hadir memberikan panduan hidup selengkap-lengkapnya. Salah satu rukun Islam adalah zakat. Zakat tidak hanya zakat fitrah saja, tetapi ada zakat maal. Zakat maal inilah yang dapat menjadi instrumen untuk membantu saudara-saudara kita untuk bangkit dari garis kemiskinan. Namun sayangnya, belum semua umat Islam sadar akan kewajiban zakat maal ini. Menurut data Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS), pada tahun 2016 dana zakat yang terkumpul berjumlah Rp 3,8 triliun atau hanya kurang dari 2% dari potensi zakat di Indonesia yang mencapai Rp 286 Milyar (BAZNAS, 2017). Artinya kesadaran masyarakat masih rendah untuk berzakat, meskipun ada sebuah hasil survey yang dilakukan Charities Aid Foundation (CAF) pada tahun 2017, Indonesia menempati posisi kedua sebagai negara dengan World Giving Index atau negara dengan kedermawanan tertinggi di dunia (Charities Aid Foundation, 2017). Nampaknya kedermawanan ini belum muncul dari kesadaran zakat, baru sebatas membantu sesama saja.

 

EKONOMI UMAT, JALAN MENUJU KEMENANGAN DUNIA AKHIRAT

Segelintir permasalahan di atas hanyalah secuplik keadaan umat Islam di Indonesia. Momen iedul fithri yang lalu harus kita jadikan tonggak kebangkitan ekonomi umat. Ada beberapa hal yang bisa kita lakukan sebagai bukti kita telah berhasil melalui Ramadan dengan predikat taqwa di bidang ekonomi keumatan:

  1. Galakkan ZERO BALANCE di bank konvensional

Jika ada yang masih menyamakan bank syariah dan konvensional, maka kita perlu belajar lagi agar kita paham bagaimana sesungguhnya letak perbedaan mendasarnya. Majelis Ulama Indonesia (MUI) sudah tegaskan menfatwakan bunga bank itu adalah riba dan riba adalah dilarang dalam Islam. Lalu pasti akan muncul nyinyiran lagi, tak ada bedanya bunga di bank konvensional dengan margin atau bagi hasil di bank syariah. Allah berfirman dalam surat Al-Baqarah ayat 275, dan Allah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba”. Walaupun masih banyak kekurangan sana-sini dalam perbankan syariah, maka tugas kita adalah meluruskan dan menguatkan, bukan meninggalkannya sama sekali. Ada kaidah dalam ushul fiqh: “Apa-apa yang tidak bisa dilakukan semuanya, jangan ditinggalkan semuanya”. InsyaAllah jika semakin banyak orang yang menggunakan jasa bank syariah maka asetnya pun akan meningkat. Kuncinya apa? Umat Islam kompak berhijrah ke bank syariah, tentunya secara bertahap.

 

  1. Kampanyekan Sadar Zakat di Kalangan Umat Islam

Zakat adalah wajib bagi setiap muslim yang telah cukup nishab dan haulnya. Ada 5 objek wajib zakat menurut Syekh Wahbah Zuhaily (2011) dalam bukunya Fiqhul Islam wa Adillatuhu 1) zakat logam (emas, perak, dan uang); 2) Zakat Barang tambang; 3) Zakat barang dagangan; 4) Zakat tanaman dan buah-buahan; 5) Zakat hewan ternak.

Saat ini sedang digalakkan zakat yang sifatnya produktif. Mustahik atau penerima zakat mendapat modal dan juga pelatihan dari dana zakat sehingga diharapkan mereka lepas dari belenggu kemiskinan. Jika selama ini banyak zakat yang bersifat konsumtif, maka ke depannya zakat lebih banyak diarahkan kepada program-program produktif. Tentu saja pengelolannya harus di tangan lembaga yang profesional, yaitu Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) maupun Lembaga Amil Zakat (LAZ) sebagaimana amanah Undang-Undang No 23 tahun 2011.

 

  1. Menjadi Pengusahayang Rahmatan lil ‘alamin

Hendaklah para pengusaha muslim bersinergi agar saling menguntungkan. Bantu pengusaha kecil yang sedang merintis. Hadirkan akhlaq dalam berbisnis sebagaimana Rasulullah telah mencontohkan. Modalnya bukan uang, tetapi kejujuran. Seorang pengusaha sukses bukan hanya dilihat dari melimpahnya omset dan aset, tetapi yang berdagang penuh etiket. Kalau sholat ia dan karyawan tidak ngaret. Tidak pelit mengeluarkan isi dompet, masjid-masjid ia belikan karpet sehingga masyarakat rasakan manfaat yang konkret. Sekalipun usahanya meroket, kejujurannya tetap awet.

 

  1. Menggencarkan Kajian-kajian Ekonomi dan Program Ekonomi Masjid

Dalam salah satu hadits dikatakan bahwa “Tempat yang paling dicintai Allah adalah masjid, dan tempat yang paling dibenci Allah adalah pasar”. Kita perlu membuka mata umat bahwa masalah-masalah ekonomi adalah salah prioritas yang harus dibahas di masjid-masjid. Masjid adalah institusi paling dekat dengan grassroot. Salah satu fungsi yang belum banyak kita temui adalah fungsi ekonomi. Di beberapa masjid sudah mulai muncul program-program ekonomi yang berbentuk koperasi maupun yang lain, Bank Rakyat Indonesia (BRI), yang pada tahun 2017 merupakan Bank terbesar di Indonesia dengan aset Rp 1.126 triliun, dari berbagai literatur dikatakan bahwa modal awalnya berasal dari kas masjid (Sukirno, 2014). Pendirian BRI ketika itu untuk menghindari lintah darat berbunga tinggi. Dari masjid harus muncul solusi permasalahan ekonomi umat, bukan malah menambah masalah umat dengan seringnya meminta-minta kepada jamaah. Jika dikelola dengan baik dan dilakukan kerja sama dengan pihak lain, sesungguhnya program ekonomi masjid ini akan memiliki dampak signifikan kepada jamaah sekitarnya.

Umat Islam bukannya tidak kuat, tetapi belum terbangun dari tidurnya yang nyenyak sangat. Kebangkitan ekonomi umat bukanlah sebuah mimpu yang datang sekelebat. Ia akan benar-benar datang mendekat apabila setiap muslim samakan hasrat untuk terapkan ekonomi sesuai syariat. Mari bersatu mendukung kebangkitan ekonomi umat. Jauhi riba, suburkan zakat. Niscaya hidup akan tentram nikmat dan penuh maslahat serta tehindari dari berbagai mudharat. Di hari akhir mendapat syafaat. Itulah kemenangan di dunia dan akhirat.

 

Bersikap Seimbang untuk Dunia dan Akhirat

Bersikap Seimbang untuk Dunia dan Akhirat

Oleh : Sofwan Hadikusuma, Lc, M.E

Jika ada yang bertanya, untuk apa sebenarnya manusia diciptakan di dunia ini? Sebagai seorang muslim, tentu akan mudah menjawabnya: untuk beribadah. Demikian karena tujuan penciptaan memang telah jelas dititahkan oleh Allah swt. yaitu dalam firman-Nya pada surat adz-dzariyat ayat 56 yang artinya berbunyi: “Tiadalah aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah (menyembahku)”. Ayat ini berlaku umum  menjelaskan bahwa tugas pokok kita sebagai manusia pada dasarnya adalah untuk beribadah semata. Namun demikian, apakah yang dimaksud dengan ibadah di sini hanya seperti yang kita bayangkan yaitu melaksanakan rukun Islam semata? Atau hanya berdiam di masjid berdzikir kepada Allah tanpa henti tanpa melakukan kegiatan apapun selainnya? Tentu tidak. Ketentuan bahwa satu-satunya tugas kita sebagai makhluk ciptaan Allah adalah untuk beribadah memang tidak dapat didustakan. Namun kenyataan bahwa kita hidup di dunia juga tidak dapat dikesampingkan.

Setiap manusia di dunia memiliki jalan takdir hidupnya masing-masing. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan Imam Bukhari, Rasulullah saw. menerangkan bahwa nasib manusia pada hakikatnya sudah ditentukan, termasuk rezeki, ajal, amal, kesedihan, dan kebahagiaannya. Hal ini seharusnya meniscayakan adanya iman kepada Allah bahwa Dia lah satu-satunya yang berkuasa dan tiadalah manusia melakukan sesuatu apapun kecuali ditujukan untuk menggapai ridha-Nya.

Manusia memang diciptakan dengan berbagai macam watak dan karakter. Berdasarkan tingkat kesadarannya, aktivitas yang dilakukan tentu juga akan berbeda-beda. Seseorang dengan kesadaran bahwa kehidupan di dunia hanya sementara, akan bisa menyeimbangkan kebutuhan duniawi dengan akhiratnya. Sementara seseorang dengan tingkat kesadaran tidak berimbang, akan lebih condong memprioritaskan salah satu dari keduanya.

Dari Anas ra. ia berkata, Ada tiga orang mendatangi rumah istri-istri Nabi saw. untuk bertanya tentang ibadah beliau. Setelah diberitahukan, mereka menganggap ibadah mereka sedikit sekali. Mereka berkata, “Kita ini tidak ada apa-apanya dibandingkan Nabi saw., padahal beliau sudah diampuni dosa-dosanya yang telah lalu maupun yang akan datang.” Salah seorang dari mereka mengatakan, “Aku akan melakukan shalat malam seterusnya.” Lainnya berkata, “Aku akan berpuasa seterunya tanpa berbuka.”  Kemudian yang lain juga berkata, “Sedangkan aku akan menjauhi wanita dan tidak akan menikah.”

Melihat kepada potongan hadis di atas, tentu ada rasa kagum bagaimana semangat ibadah para sahabat yang sangat tinggi. Namun ternyata, setelah kabar ketiga sahabat tersebut sampai kepada Nabi saw., beliau memiliki tanggapan yang berbeda. Beliau menegaskan bahwa telah berlebih-lebihan dalam melakukan ibadah sehingga melupakan aspek kehidupan dunia, padahal amalan yang demikian tidak dicontohkannya. Pada lanjutan hadis dijelaskan bahwa Rasulullah saw. mendatangi mereka seraya bersabda, “Benarkah kalian yang telah berkata begini dan begitu? Demi Allah, sesungguhnya aku adalah orang yang paling takut kepada Allah dan paling bertaqwa kepada-Nya di antara kalian. Akan tetapi aku berpuasa dan berbuka, aku shalat (malam) dan aku juga tidur, dan aku juga menikahi wanita. Maka siapa yang tidak menyukai sunahku, ia tidak termasuk golonganku.”

Sebaliknya, terlalu memperhatikan dunia hingga melupakan akhirat tentu juga tidak baik. Manusia memang diciptakan dengan akal dan dihiasi dengan keinginan (syahwat) pada keindahan-keindahan duniawi. Allah swt berfirman dalam surat Ali Imran ayat 14 yang artinya adalah, “Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga).”

Dalam ayat tersebut Allah menjelaskan bahwa wanita, anak, harta, kendaraan, termasuk sawah ladang adalah keindahan dunia yang wajar jika manusia condong kepadanya. Kecintaan terhadap beberapa hal tersebut pada dasarnya adalah sah karena fitrah manusia memang diciptakan demikian. Namun kemudian menjadi tidak wajar jika kecintaan yang timbul menjadi berlebihan, apalagi menjadikan kesemuanya itu hanya sebagai tujuan hidup tanpa memperhatikan urusan akhirat.

Sejatinya, dunia memang diciptakan untuk memenuhi kebutuhan manusia. Allah berfirman dalam surat Al-Baqarah ayat 29 yang artinya berbunyi, “Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu dan Dia berkehendak (menciptakan) langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit. dan Dia Maha mengetahui segala sesuatu.” Dipahami dari ayat ini adalah bahwa bumi dijadikan untuk manusia, artinya manusi memiliki hak untuk memanfaatkan segala apa yang ada di dalamnya. Pemanfaatan itu tentu harus dipahami pada hal-hal yang mengandung maslahat saja, termasuk memenuhi kebutuhan primer, sekunder, maupun tersier, dalam ukuran yang diizinkan oleh syariat.

Tentu kita semua pernah mendengar atau membaca kisah viral seseorang yang memiliki kekayaan tiada bandingannya di muka bumi ini, Qarun. Dikisahkan bahwa pada awalnya Qarun adalah seseorang yang miskin. Lalu dia meminta Nabi Musa as. untuk mendoakannya agar diberikan kekayaan kepadanya. Doa itu akhirnya dikabulkan dan Qarun lantas menjadi orang yang kaya. Al-Quran menggambarkan betapa kekayaan tersebut sangat melimpah. Saking kayanya, bahkan kunci-kunci gudang hartanya sangat berat dan harus diangkat oleh beberapa orang kuat. Namun, kecintaannya yang berlebihan terhadap harta kekayaannya memunculkan perasaan sombong yang pada akhirnya mengantarkannya pada kebinasaan.

Imam Bukhari meriwayatkan satu hadis dari Abu Hurairah bahwa Nabi saw. berkata, “Celaka budak dinar, dirham, dan kain (qathifah). Jika diberi dia ridha, jika tak diberi dia tak rela.” Melalui hadis tersebut, Rasulullah saw. menekankan bahwa sungguh tak elok manusia yang hatinya terpaku pada keberadaan harta. Menjadi kaya memang tidak salah, tapi menempatkan kekayaan pada hati tidaklah dianjurkan. Tercatat dalam sejarah, tidak sedikit para alim ulama yang mempunyai kekayaan yang banyak, namun kekayaan tersebut tidak menggoyahkan hati mereka dalam menyikapi kehidupan di akhirat.

Islam menganjurkan keseimbangan dalam menyikapi kehidupan dunia dan akhirat. Tidak berlebihan pada dunia, sebaliknya juga tidak berlebihan pada akhirat. Dalam surat Al-Qashash ayat 77 Allah swt. berfirman, “Carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.” Ayat ini menjelaskan kepada kita bahwa akhirat memang telah disediakan sebagai tempat kembali, namun sebelumnya manusia juga ditakdirkan hidup di dunia. Dengan begitu, sebagaimana akhirat harus dipersiapkan, dunia juga harus dijadikan tempat mempersiapkan hidup di akhirat kelak.

Dalam sebuah ungkapan dikatakan bahwa dunia adalah ladang akhirat (ad-dunya mazra’at al-akhirah). Maksudnya adalah bagaimana kita harus bersikap terhadap dunia untuk menjadikannya sebagai ladang di mana kita menanam berbagai amal baik untuk dipanen nantinya di akhirat. Jika amal yang kita tanam berasal dari bibit yang kurang baik, kita harus bersiap memanen hasil yang kurang baik. Sebaliknya jika yang kita tanam berasal dari bibit yang baik, maka kita akan bergembira dengan hasil yang baik pula di akhirat kelak. Allah berfirman, “Siapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun dia akan melihat (balasan)nya. Siapa yang mengerjakan kejahatan sebesar dzarrahpun dia akan melihat (balasan)nya pula.”