,

Keadilan Konsep Warits Islam

Keadilan Konsep Warits Islam

Dr. Drs. Sidik Tono, M.Hum.
(Dosen Tetap Program Studi Ahwal Al-Syakhshiyah FIAI dan Pakar Kajian Mawarits)

 

Pertanyaan:

Salah satu masalah yang dibahas cukup detail dalam Al-Quran adalah perihal mawarits (warisan). Namun demikian aplikasi mawarits dalam kehidupan tidaklah tunggal melainkan variatif. Bahkan di beberapa wilayah sudah bersandingan dengan budaya lokal. Pertanyaannya, bagaimanakah rumusan keadilan dalam konsep warits Islam dan apakah konsep tersebut dapat berdinamika dengan realitas atau saklek sebagaimana adanya dalam Al-Quran? Terima kasih.

Nahlawa Fairuz Zanzabila, Yogyakarta

Jawaban:

Pertama-tama kami memberi jawaban atas pertanyaan tersebut dengan judul Keadilan Hukum Kewarisan Islam: Kajian Praktis-Implementatif. Tujuan hukum Islam pada hakikatnya adalah untuk mewujudkan kemaslahatan umat (manusia). Dengan demikian tujuan tersebut dapat diderivasi ke bagian-bagian dari hukum Islam, termasuk ke hukum kewarisan Islam yaitu kemaslahatan ahli waris.

Hukum kewarisan Islam di Indonesia secara realitas telah menunjukkan adanya law and rule dalam praktiknya baik di tengah-tengah masyarakat sebagai hukum yang hidup, dan juga telah menjadi hukum positif yang dijalankan oleh lembaga peradilan (cq. pengadilan agama). Karena itu, prinsip keadilan penyelesaian pembagian waris kepada ahli waris menjadi kunci utama untuk mewujudkan tujuan hukum kewarisan Islam yaitu kemaslahatan ahli waris.

Secara sederhana dapat dipelajari dari sudut pandang keadilan, bagaimana cara masyarakat Indonesia membagi waris:

  1. Distribusi pembagian waris sesuai dengan ketentuan Al-Qur’an dan As-Sunnah (al-furuudh al-muqaddarah). Hal ini sebagai acuan norma yang harus dilaksanakan oleh setiap orang Islam. Pembagian ini merupakan wujud dari keadialan proporsional. Artinya membagi besar kecilnya bagian kepada ahli waris berdasarkan jauh dekatnya ahli waris dengan pewaris (si mati).
  2. Distribusi pembagian waris menurut asas musyawarah para ahli waris yang melahirkan asas sukarela bagi setiap ahli waris setelah mengetahui bagian masing-masing secara al-furuudh al-muqaddarah, seperti harta waris dibagi sama untuk semua ahli waris. Pembagian seperti ini banyak dilakukan di kalangan keluarga muslim Indonesia. Prinsip utamanya adalah lahirnya perasaan sukarela pada setiap ahli waris bahwa yang seharusnya salah satu ahli waris memperoleh lebih dari ahli waris lain rela dikurangi bagiannya dan yang memperoleh bagian lebih kecil hendaknya berterima kasih atas keikhlasan saudaranya.
  3. Distribusi pembagian waris sebelum pewaris meninggal dunia dalam masyarakat Indonesia (masyarakat Jawa) disebut hibah waris, seperti ponto-ponto (istilah Jawa) yaitu anak pertama dapat sawah, anak kedua dapat rumah, dsb. Pembagian seperti ini berdasarkan keadilan dalam arti yang bagiannya lebih besar memberikan kepada yang lebih kecil bagiannya atas dasar petunjuk orang tuanya. Hal tersebut tidak bertentangan hukum Islam sepanjang prinsip furuudh al-muqaddarah telah diketahui para ahli waris, kemudian dilakukan secara musyawarah untuk menghasilkan kerelaan setiap ahli waris.
  4. Distribusi pembagian waris berdasarkan keadilan dari sudut pandang tertib atau urutan dalam pembagian harta peninggal. Tertib tersebut adalah bahwa harta peninggalan pewaris itu, pertama, dikeluarkan lebih dulu untuk biaya perawatan jenazah (tajhiiz). Kedua, untuk melunasi hutang-hutang (dain) si mati. Ketiga, wasiat, dan keempat, pembagian waris. Karena itu, ahli waris yang tidak mendapat bagian, seperti anak angkat, orang tua angkat dapat diberi berdasarkan wasiat, sebab wasiat kepada ahli waris yang memperoleh bagian tidak boleh kecuali seluruh ahli waris yang mengizinkan.

Singkatnya, pembagian warisan tidaklah saklek alias dapat berdinamika namun tidak boleh keluar dari acuan dasar norma Qurani. Setiap perubahan bagian warisan, khususnya dari banyak menjadi sedikit, dilakukan atas asas musyawarah, sukarela, dan keikhlasan. Demikian, jawaban singkat yang dapat kami sampaikan. Semoga cukup memberikan pencerahan. Wallaahu a’lamu bi ash-shawaab. []

 

Note: Pernah dimuat di UII News, Edisi 168 Th. XIV, April 2017, Rubrik Konsultasi, Hal. 13.