Toleransi Pemikir(an) Islam

Iman dapat menjadikan manusia sadar bahwa manusia pada dasarnya setara dan titik pembedanya hanya terletak pada takwa, tetapi iman yang tertutup senantiasa mengotak-kotakkan umat manusia menjadi ‘kita’ dan ‘mereka’ (nahnu wa al-ākhar) dimana yang satu berada di sini dan yang lain berada di sana; kita di surga dan mereka di neraka.

(Gus Irwan Masduqi)

Saya memiliki 2 kalimat. Kalimat pertama: Saya membeli sapi. Kalimat kedua: Saya membeli kambing. Ketika ingin mengungkapkan 2 kalimat tersebut maka saya boleh (bahkan harus) menggabungkannya dalam satu kalimat majemuk. Kalimat kombinasinya menjadi: Saya membeli sapi dan kambing. Sebab, dalam kalimat tersebut subyek dan predikatnya saya; “saya” dan “membeli”. Sehingga, harus disederhanakan supaya tidak terjadi pleonasme (tabdzīr).

 

Kombinasi kalimat di atas memang tidak memungkinkan penafsiran yang berbeda. Namun, barangkali akan bermasalah kalau subyek atau fā’il-nya berbeda. Untuk kasus kedua yang akan saya contohkan pernah diterangkan oleh guru bahasa Indonesia saya. Ia mewanti-wanti bahwa kombinasi itu mungkin dilakukan tetapi kalau bisa memilih kemungkinan lain akan lebih baik. Pasalnya, jika tetap dikombinasikan akan menimbulkan makna yang tidak tepat (salah).

Analoginya masih sama dengan yang pertama. Saya memiliki 2 kalimat.  Pertama: Fulan membeli Sapi. Kedua: Fulanah membeli kambing. Predikatnya saya; “membeli”, tetapi subyeknya berbeda; antara Fulan dan Fulanah. Kalimat tersebut mungkin ditemukan dalam perpaduan yang bernama kalimat majemuk. Kalimat kombinasinya: Fulan membeli sapi sedangkan Fulanah kambing. Bagi yang paham memang tidak ada yang salah dengan kalimat tersebut.

Kalimat sederhana tersebut hanya ingin memberikan pemahaman kepada pembaca bahwa Fulan membeli sapi sementara yang dibeli oleh Fulanah adalah kambing. Tetapi, kalau tidak cermat dalam memahaminya akan timbul pengertian: Fulan membeli sapi dan Fulanah adalah (mohon maaf) kambing. Probabilitas pemaknaan yang salah tersebut yang membuat guru saya mengingatkan saya agar tidak secara banal menggabungkan kalimat yang demikian.

Penafsiran

Prolog di atas sengaja saya hadirkan untuk memberikan pengertian bahwa sebuah teks boleh jadi menimbulkan penafsiran yang berbeda. Penafsiran tersebut bahkan jamak kali menemui 2 titik kulminasi yang sangat kontras. Itulah yang dalam bahasa teman-teman saya di Forum Indonesia Muda (FIM) disebut dengan ekstrim atas dan ekstrim bawah. Hal ini terjadi karena sebuah teks lahir tidak bebas dari keterikatan ruang dan waktu.

Sebuah teks dibaca dengan ragam pembacaan yang berbeda. Cara yang berbeda tidak mustahil akan menghasilkan natījah atau result yang berbeda pula. Seandainya di poin tertentu terdapat kesamaan maka di poin yang lain mungkin ada perbedaannya. Di titik mayor sama namun di titik minor berbeda atau justru sebaliknya. Beberapa kemungkinan, baik persamaan atau perbedaan, bisa terjadi dalam sebuah pembacaan teks.

Penafsiran yang berbeda adalah bukti bahwa sebuah pemahaman itu relatif. Sebuah teks memang boleh jadi absolut tetapi pemahaman manusia terhadapnya relatif. Singkat tutur, relativitas berperan signifikan dalam sebuah penafsiran. Logika ini dapat pula difahami bahwa mereka yang memutlakkan sebuah penafsiran berarti sudah memaksakan pemahaman yang relatif menjadi mutlak sebagaimana teks itu ada.

Jangankan masalah teks dan penafsirannya, dalam hal ketuhanan juga masih relatif. “Adanya Tuhan” memang, pasti, dan harus mutlak. Tetapi, “konsepsi manusia tentang Tuhan” bisa jadi berbeda atau relatif tadi. Oleh karena itu, “Tuhan” hanya satu-satunya Dzat yang multak alias absolut. Selain dari Tuhan, adalah wilayah relativitas yang boleh senantiasa dikaji dan dibicarakan ulang.

Toleransi

Pemahaman bahwa penafsiran senantiasa relatif seharusnya menggiring kita kepada toleransi dalam kehidupan. Sebab, jika sikap keterbukaan tidak dikedepankan maka akan timbul pertentangan (yang kontraproduktif) dalam konteks relasi sosial. Toleransi menekankan penghargaan terhadap ide dan pendapat pihak lain walaupun memang berbeda dengan apa yang kita pahami.

Judul tulisan ini bisa dibaca ganda. Pertama, Toleransi Pemikir Islam. Maksudnya adalah bagaimana para ilmuan Muslim dapat bersikap toleran dalam memahami (dan berinteraksi dengan) Islam dan keislaman. Kedua, Toleransi Pemikiran Islam. Maknanya adalah bagaimana pemikiran Islam itu dapat bertatap damai dan mesra dengan pemikiran lain, baik internal maupun eksternal. Jika keduanya dapat ditempuh maka Islam akan menjadi agama yang terbuka.

Sangat menusuk hati ketika dalam banyak kasus terorisme, Islam tertuduh sebagai biang keladinya. Persepsi umat beragama lain terhadap Islam karena kasus tersebut akhirnya menjadi miring. Hal ini di satu sisi menodai citra Islam sebagai agama dan berakibat buruk bagi umat Muslim sebagai pemeluk agama. Padahal, sejak awal sesungguhnya Islam adalah agama yang cinta damai dan menjadi rahmat bagi semesta alam.

Untuk menjembatani persepsi yang tidak baik tersebut harus dipahamkan bahwa Islam dan Muslim itu adalah dua hal yang berbeda. “Al-Islāmu syai-un wal muslimu syai-un ākhar.” Islam adalah sesuatu dan Muslim adalah sesuatu yang lain. Kalau ada Muslim yang melakukan tindakan  yang tidak sesuai dengan keramahan Islam maka yang salah bukan Islam sebagai agamanya. Pribadinya sebagai seorang Muslim yang salah dalam hal ini.

Sejurus dengan itu, harus dipahami bahwa agama (ad-dīn) dan pemikiran [wacana] keagamaan (al-khithāb ad-dīniy) adalah dua hal yang berbeda pula. Benar bahwa keterkaitan antara keduanya begitu erat. Tetapi tidak kemudian keduanya bisa saling menggantikan. Kebenaran Islam sebagai agama memang mutlak, pasti benarnya. Tetapi kebenaran pemikiran Islam –sekali lagi– tidak mutlak, relatif, dan mungkin tidak tepat.

Sebuah pembacaan terhadap teks (dalam hal ini al-Qur’ân) adalah upaya untuk memahami maksud (dari) Dzat yang memfirmankan teks tersebut. Oleh karena klarifikasi langsung tidak bisa dilakukan maka yang mungkin adalah “meraba-raba” untuk merumuskan makna yang paling tepat. Berangkat dari latar belakang, konteks, dan model pembacaan yang berbeda pasti akan menghasilkan sesuatu yang berbeda pula.

Interaksi antar sesama Muslim (termasuk juga antara Muslim dan umat beragam lain) selaiknya disertai dengan keterbukaan sikap (toleransi). Relasi yang disertai dengan toleransi tidak menjadikan kita mudah untuk menuduh yang tidak-tidak pihak yang berbeda dengan kita. Penghakiman terhadap sesama manusia adalah pencideraan terhadap kesepakatan untuk memberikan kenyamanan kepada semesta.

Sebagai teladan, apa yang dipraktikkan Rasûlullâh dan para shahabatnya menarik untuk didiskusikan. Rasûlullâh dan para shahabatnya ketika bermukin di Madinah bisa hidup rukun-damai berdampingan dengan pihak yang berkeyakinan lain. Jika Rasûlullâh mencontohkan yang demikian maka sebagai umat yang mengaku mencintainya sudah semestinya meneladani sikap Rasûlullâh teresebut.

Banyak ilmuan Muslim yang berupaya keras untuk menggemakan toleransi dalam kehidupan beragam demi kebaikan dan kemaslahatan global. Sekadar menyebut contoh, adalah Muhammad Fethullah Gulen. Ia adalah seorang master sufi dan peacemaker yang sangat populer di Turki. Bagi Gulen, kekerasan (baca, terorisme) adalah akibat hilangnya cinta dan kasih sayang di hati manusia. Karenanya dalam hal ini, cinta adalah obat mujarab bagi problem terorisme.

Berkaca dari Gulen, konsep kasih-sayang terhadap sesama harus dipegang teguh dalam konteks kehidupan sosial. Rasa cinta dan kasih akan menihilkan kebencian akut terhadap sesama manusia. Bukankah manusia diciptakan karena kasih sayang Allah ta’āla dan karenanya juga harus berbagi cinta dan kasih? Menurut Gulen, “Real Muslim cannot be terrorists.” Muslim sejati tidak mungkin menjadi teroris.

Selain Gulen, ada Ragab El-Banna, yang gencar menggaungkan dialog bisa damai antara Sunni dan Syiah. Benar bahwa ada perbedaan yang cukup signifikan antara Sunni dan Syiah. Namun, di balik itu banyak kesamaan yang seringkali tidak menjadi pertimbangan untuk saling memahami. Apalagi, konflik antara Sunni-Syiah lebih banyak diwarnai nuansa politis dibanding keyakinan agama. Intinya, keduanya sama-sama mengikuti sunnah Rasûlullâh.

Abd al-Basīth bin Yūsuf al-Gharīb, intelektual Wahabi berusaha menangkis persepsi kalangan non-Muslim yang mengatakan bahwa Islam  intoleran (tidak toleran). “Abd al-Basīth prihatin atas kesalahpahaman Barat terhadap Islam,” tulis Gus Irwan, “namun dia percaya masih ada kalangan terdidik yang memahami Islam secara simpatik dan obyektif.” Basīth juga mengemukakan pentinya dialog lintas sekte antara Wahabi dan non-Wahabi.

Ikhtitām

Inspirasi tulisan ini bermula dari “perjumpaan” saya dengan Gus Irwan Masduqi –pimpinan Pesantren Assalafiyah, Mlangi, Yogyakarta. Dialah penulis buku “Berislam Secara Toleran”. Buku Gus Irwan yang alumnus al-Azhar, Cairo dan UIN Sunan Kalijaga itu diberi pengantar oleh M. Dawam Rahardjo. Dalam pengantarnya, M. Dawan Rahardjo menyimpulkan bahwa pendiri madzhab fikih sendiri telah mengajarkan sikap toleran yang sangat mengesankan.

“Aku hanyalah manusia biasa yang bisa benar dan bisa salah. Maka, telitilah pendapatku. Jika sesuai dengan al-Qur’ân dan Sunnah maka ambillah. Jika tidak sesuai maka tinggalkanlah,” kata Imam Mālik bin Anas. Dengan sikap toleran kita tidak mudah menghakimi pihak lain yang berseberangan pemikiran. “Dengan beriman secara terbuka, kita bisa berislam secara toleran,” tutur Gus Irwan di baris akhir epilog bukunya. Wallāhu a’lamu bi ash-shawāb. []

Samsul Zakaria, Moderator Bedah Buku “Berislam Secara Toleran” Ponpes UII, Sabtu, 22/12/2012 (Kerjasama PPUII dan DPPAI).

Artikel ini dipublikasikan di Al-Rasikh Lembar Jumat Masjid Ulil Albab terbitan terbitan Direktorat Pendidikan dan Pengembangan Agama Islam (DPPAI) Universitas Islam Indonesia (UII). Artikel ini dapat diakses dari http://alrasikh.uii.ac.id/2012/12/21/toleransi-pemikiran-islam/.

Unduh Artikel