Menjaga Amal Ibadah

Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka. Dan apabila mereka berdiri untuk shalat mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya (dengan shalat) di hadapan manusia. Dan tidaklah mereka menyebut Allah kecuali sedikit sekali.

(Q.S. an-Nisaa’ [4]: 142)

Betapa banyak orang yang beramal shalih namun amalnya membuat ia lupa dari Allah, dan betapa banyak orang yang bermaksiat, namun dengan ma’siat itu membuat ia ingat dan kembali kepada Allah.

Di antara isi kandungan Alqur’an adalah al-wa’du wa al-wa’id. Al-wa’du yaitu janji Allah yang berupa berita gembira, sedangkan al-wa’id adalah janji Allah berupa ancaman. Banyak pesan Alqur’an yang menyeru kita untuk melaksanakan amal shalih atau amal baik, kemudian diikuti dengan janji imbalan atau balasan yang baik pula berupa surga dengan segala isinya. Begitu juga sebaliknya, Allah melarang kita agar tidak berbuat buruk atau melaksanakan laranganNya dan diikuti dengan ancaman bagi yang menerjang larangan ini akan dibalas dengan neraka.

Berita yang dibawa oleh Alqur’an dan didukung oleh hadits-hadits Nabi tentang berita gembira dan ancaman Allah tersebut, kita akan termotivasi untuk selalu berusaha beramal shalih dan meninggalkan amalan yang dilarangNya. Harapan untuk mendapatkan surga dan mengindarkan diri dari ancaman api neraka adalah sebuah bentuk harapan eskatologis yang dimiliki oleh setiap manusia. Dengan demikian – secara syari’at – amal shalih kitalah yang menyebabkan masuk surga dan menyelamatkan diri kita dari api neraka. Oleh karena itu, bagi yang belum melaksanakan amal shalih, maka perbanyaklah. Sedangkan bagi siapa yang sudah melaksanakannya, maka jagalah amal tersebut agar amal shalih itu bisa sampai di sisi Allah. Mengapa? Karena tidak semua perbuatan baik yang kita kerjakan akan diterima oleh Allah. Lalu, apa saja yang menyebabkan amal kita ditolak oleh Allah?

Sebenarnya banyak hal yang menyebabkan amal kita tidak diterima oleh Allah. Namun di sini penulis hanya akan menyampaikan tiga saja, yang mungkin penyakit-penyakit ini adalah yang paling rentan menghinggapi kita, namun kita tidak merasakan dan tidak menyadarinya.

Pertama, riya’ atau pamer. Riya’ atau pamer yaitu melaksanakan perintah Allah dengan tujuan untuk mendapatkan balasan dari makhluk Allah berupa sanjungan atau pujian. Orang yang riya tidak mendasarkan amalnya karena Allah, melainkan ingin mendapatkan sanjungan, pujian dan eksistensi atau penghargaan dari orang lain. Sehingga apapun yang dia kerjakan, orientasinya hanya ingin dilihat orang lain. Bisa jadi ketika berhadapan orang lain, ia akan tampak alim, dan khusyu’ dalam beribadah. Namun, ketika tidak dilihat orang lain, ia beribadah seenaknya saja.

Imam al Ghazali membagi riya’ dalam beberapa kategori, di antaranya adalah riya’ badan, pamer akan kerupawannya; riya’ dalam tingkah-laku, riya’ dalam berpakaian, riya’ dalam ucapan, dan yang paling berbahaya adalah riya dalam amal ibadah. Kalau seseorang sampai beribadah dengan tujuan riya’ maka sia-sialah amal ibadahnya tersebut.

Ibnu Athailah dalam al-Hikam menyebutkan “isytisyrafuka ayya’lamal khalqu bi khusushiyyatika daliilun ‘ala ‘adami shidqika fi ‘ubudiyyatika.” Artinya, keinginanmu agar orang-orang mengetahui keistimewaanmu adalah bukti ketidaktulusanmu dalam penghambaanmu.

Pecinta yang tulus pikirannya akan selalu tergoda oleh sang kekasih (Allah) dan tidak mempunyai perhatian yang lebih besar selain kepada kehadiranNya. Tanda yang jelas dari penghambaan dan ibadah yang tidak sempurna adalah mengharapkan orang lain mengakui kesalehan, tahapan spiritual, dan cintanya kepada Allah. Perlu dicatat, bahwa ketulusan sejati mengandalkan ketundukan tak bersyarat kepadaNya, perhatian yang tak terbagi, dan kekhusyu’an dalam menyembah. Hasrat akan reputasi dan penghargaan dari orang lain tidak mempunyai tempat bagi salik yang disiplin (Al-Hikam: 232).

Riya’ merupakan penyakit hati yang sangat berbahaya. Ia bisa menggugurkan semua amal shalih yang telah kita laksanakan. Bahkan dalam suatu hadits, riya itu adalah termasuk perbuatan syirik kecil. Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya yang paling kutakuti atas kamu sekalian adalah syirik kecil.”Sahabat bertanya: “Apa syirik kecil itu ya Rasulullah?” Rasulullah bersabda: “Syirik yang kecil itu adalah riya.”

Kedua ujub, yaitu merasa diri paling baik dan paling benar disertai merendahkan orang lain. Ujub ini lebih membahayakan daripada takabbur. Kalau takabbur hanya merasa paling baik, paling benar, dan paling mulia, namun tidak disertai dengan merendahkan orang lain. Maka, ujub selalu disertai dengan merendahkan orang lain. Dalam konteks amal, orang yang ujub akan merasa bahwa amalnyalah yang paling baik dan yang akan diterima oleh Allah.

Ketiga, menggantungkan keselamatan diri pada amal (al-tamassuk bil ‘amal). Dalam menjaga amal kita tidak diperkenankan untuk menggantungkan keselamatan diri kita pada amal-amal kita. Karena belum tentu amal kebaikan kita lebih berat timbangannya dari amal keburukan kita di akhirat kelak. Ada sebuah kisah seorang hamba allah yang rajin beribadah. Siang menjadi malam, malam menjadi siang kesemuanya digunakan untuk amal ibadah. Namun ketika ia wafat dan diadili di hadapan Allah, ia ditanya oleh Allah, ”Wahai fulan apakah kamu mau masuk sorga karena amalmu atau karena ramhat dan ridhaku?” karena ia yakin akan banyaknya amal ibadah yang telah ia lakukan, maka ia menjawab ”Dengan amalku.” maka ditimbanglah amalnya. Setelah ditimbang, ternyata amal keburukannya lebih berat dari amal kebaikannya. Maka ia dimasukkan ke dalam neraka. Dari sini kita mengetahui bahwa sebenarnya kita hanya dituntut untuk beribadah dan menjaga amal semaksimal mungkin dengan hanya mengharap ridhaNya. Urusan masuk surga atau tidak, adalah kehendak Allah yang Maha Tahu dan Maha Adil.

Keempat, al-ihtiqar atau merendahkan orang lain. Inilah salah satu sifat yang paling diabaikan, padahal nyaris setiap orang melakukannya. Kebanyakan menganggap sifat ini sebagai hal yang sepele. Kelebihan dan kekurangan itu adalah bawaan manusia. Tapi dasar sifat manusia yang selalu khilaf, kalau kita melihat ada suatu kelebihan pada diri seorang hamba, kita tidak bisa tinggal diam. Kita akan senentiasa mencari-cari keburukannya. Walaupun pada seseorang itu terdapat 9 kebaikan dan satu keburukan misalnya, niscaya hati kita cenderung membicarakan dan mengungit-ungkit keburukannya dan mengabaikan kebaikan-kebaikannya. Inilah salah satu faktor yang dapat menghapus amal ibadah kita. Padahal Allah menegaskan dalam Surat Al-Hujurat [49] ayat 11:

”Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik” dan di akhir ayat ditegaskan lagi ”..dan barangsiapa yang tidak segera bertobat, Maka mereka Itulah orang-orang yang zalim.”

Ayat di atas menegaskan bahwa mengejek dan merendahkan orang lain adalah perbuatan yang sangat dilarang. Bisa jadi yang kita rendahkan itu jauh lebih baik dari kita pada keahlian-keahlian yang kita tidak memilikinya. Oleh karena itu, hendaklah kita saling mengisi dan memperbaiki kekurangan dan kelebihan masing-masing sehingga akan tercipta komunitas harmonis yang Islami, dinamis dan diridhai Allah SWT.

Ada beberapa solusi agama untuk mengatasi penyakit-penyakit hati tersebut. Di antaranya adalah, tawadhu’ dan ikhlas dalam segala tindak-tanduk. Tawadhu’ adalah merendahkan hati dan menjaga segala amal perbuatan agar tidak terjerumus ke dalam sifat sombong, ihtiqor dan sum’ah.

Agama juga mengajarkan semua ibadah yang dikerjakan hendaknya semata-mata ikhlas karena Allah. Ikhlas disini artinya adalah melepaskan diri dari selain Allah, atau membersihkan amal perbuatan dari penglihatan makhlukNya. Sifat ikhlas sangat dibutuhkan dalam segala amal perbuatan, karena akan menjamin kemurnian ibadah yang dilakukan. Tanpa adanya keikhlasan yang tulus, mustahil amal ibadah kita akan diterima di sisi Allah SWT.

Solusi selanjutnya adalah dengan berusaha untuk memperbaiki niat dalam segala perbuatan dan selalu berusaha ikhlas dalam setiap amal yang dikerjakan. Perbuatan ini merupakan langkah awal untuk membangun jiwa yang tulus ikhlas, yang murni dan suci dari sifat-sifat kotor yang sangat membahayakan amal perbuatan kita. Bayangkan, hanya karena sifat tercela tersebut amal dan jerih payah kita tidak ada bernilai secuil pun di hadapan Allah. Apakah bukan suatu kerugian bagi kita?

Ibnu Qayyim Al Jauziyyah dalam kitabnya Madarijus Shaalihiin, mengatakan bahwa dalam salah satu ayat dalam surat al Fatihah yang selalu kita baca dalam shalat, yaitu pada lafaz – iyyaaka na’budu dan iyyaka nasta’in – terdapat suatu maqam yang disebut dengan ikhlas. Yang dimaksud dengan maqamikhlas adalah penghambaan seseorang harus memiliki rasa ikhlas dan tawadhu’ dengan jalan mengerahkan segenap jiwa raga – lahir dan batin – menyembah dan meminta pertolongan kepadaNya. Jadi ikhlas adalah salah satu syarat agar amal ibadah shalat kita bernilai di sisiNya.

Kesimpulannya, dalam beramal kita harus menjaga niat agar terbebas dari ingin dipuji dan dinilai orang lain. Beramal secara ikhlas adalah bukan karena tampak atau tidak tampak oleh orang lain, melainkan karena apa yang menjadi niat di hati. Kunci ikhlas adalah kita harus yakin bahwa Allah adalah yang Maha menyaksikan dan Allah yang Maha menguasai semua yang kita inginkan. Marilah kita menguatkan keyakinan kepada Allah, bahwa Dia melihat dan memiliki diri kita, Dia yang menggenggam masa depan kita dan apapun yang kita inginkan semuanya dikuasai olehNya.

Muhammad Ma’sum, Mahasiswa Syariah FIAI UII Angkatan 2007

Artikel ini dipublikasikan di Al-Rasikh Lembar Jumat Masjid Ulil Albab terbitan terbitan Direktorat Pendidikan dan Pengembangan Agama Islam (DPPAI) Universitas Islam Indonesia (UII) Edisi 2 Mei 2008. Artikel ini dapat diakses dari http://alrasikh.uii.ac.id/2008/05/01/menjaga-amal-ibadah/.

Unduh Artikel