Edisi XIV Tahun 2005

Sekapur Sirih Edisi XIV Tahun 2005

Dalam kawasan nalar hukum Islam, problem yang selalu mengemuka adalah hubungan antara nas dengan maslahat. Mirip dengan masalah aql dan naql. Hubungan nas dengan maslahat mulai populer dan gencar di dunia Islam sejak dipublikasikannya risalah al-Thufi tentang konsep maslahat pada awal abad ke 20 M oleh Jamaluddin al-Qasimi dan Rasyid Ridha, kemudian dipublikasikan kembali pada pertengahan abad ke 20 M oleh Mustafa Zayd dan Abdul Wahab Khallaf. Pada penghujung abad ke 20 bahkan ketika memasuki abad ke 21 M, masalah tersebut semakin mengkristal. Hal ini terlihat dari dialog yang bertemakan “al-ijtihad (nas, al-waqi’ wa maslahah) / Independent Judgement (Text, Reality, Advantage)” antara Ahmad Raisuny dan Muhammad Jamal Barut yang diusung oleh salah satu penerbit Beirut Libanon. Dialog tersebut sekaligus memposisikan antara dua kubu yang kontroversial dalam memaknai bahasa ijtihad, bahasa fiqh dan bahasa nas. Memaknai bahsa ijtihad dengan ruang lingkup nas memang tampak kurang akomodatif terhadap berbagai perkembangan, namun memaknai bahasa ijtihad dengan maslahat dikuatirkan akan “kebablasan”. Di sini muncul persoalan term al-hudud (batasan-batasan) atau hudud ijtihad (batasan-batasan ijtihad) dalam gerakan pemikiran hukum Islam modern.

Al-Quran sendiri tidak menggunakan konsep al-had (batasan) dalam pengertian tunggal, pemunculannya selalu dengan formulasi jamak yaitu al-hudud. Kata kerja hâdda dan hâdada berarti jâdala dan nâqasya dan ‘âradha dan juga bermakna syâqqa, seakan akan al-had merupakan batas akhir atau ujung dari semua dialog, keputusan dan sikap selama konsep hudud tersebut tidak dibarengi dengan hudud Allah sebagaimana termaktub dalam Surat al-Baqarah 187, 229, 230, dalam Surat al-Nisa’ ayat 13-14, Surat al-Taubah ayat 97, 112, Surat al-Mujâdalah ayat 4, dan Surat al-Thalâq ayat 1.

Istilah hudud Allah, dengan demikian, adalah konsep ketuhanan, inspiratif, islami dan fundamental. Adapun hudud al-Ijtihad konsep gerakan pemikiran hukum Islam berada pada posisi yang berbeda karena mengacu pada interpretasi fiqh dan filsafat (baca: antropologi).

Dalam pengertian qurani al-hudud al-ilâhiyah bertujuan untuk mengilustrasikan batasan al-mamnu’ -al-mahzur atau larangan-, al-muharram atau gair al-mubah (tidak boleh) pada sistem ritual dan interaksi sesama muslim, dalam konteks mengatur hubungan mereka dengan sang Pencipta dari satu sisi, dan hubungan antar sesama mereka dari sisi lain. Apabila pembacaan nas al-Quran dan hadis sahih membenarkan kesimpulan bahwa alibahah (prinsip kebebasan dan memudahkan) adalah hal pokok dalam sistem keberagamaan Islam, maka sesungguhnya al-man’u merupakan batasan (al-had) atau pengikatan yang dituntut berdasarkan syariah. Hanya saja dalam menetapkan wilayah al-ibahah maupun al-mamnu’ peranan kekuasaan terlihat sangat dominan sekaligus memungsikan dan memanfaatkan gerakan-gerakan pembacaan (sejak masa awal tahun hijriyah sampai gerakan-gerakan Islam fundamental pada masa sekarang) dalam agenda politiknya sangat layak untuk diawasi dan dikritik, terlebih pada pembacaan fiqh tidak mengalir dalam satu saluran karena fakta menunjukkan terdapat pembacaan secara salafi, pembacaan secara hermenitik, pembacaan prespektif al-maqasid. Semua metode pembacaan ini mungkinkah terbebas dari kesalahan?

Al-Ijtihad adalah usaha kreatif manusia intelek untuk memahami realitas persoalan dalam perspektif historis dan peradaban. Islam sejak dahulu maupun sekarang dibingkai dan dikemas berdasarkan nas sebagai produk peradaban Arab Muslim yang agung secara berkesinambungan dan selalu berdampingan dengan praktik faktual Nabi (produk sunnah Nabi dan sejarah muslim). Pada era sekarang pun ijtihad tidak akan terpisah dari nas dan sejarah tersebut baik berupa pengkarakterisasian, cara pengkemasan maupun dalam pemungsiannya di tengah masyarakat dan kekuasaan. Nas dapat tampil dinamis atau bahkan juga tampil kaku dan rigid tergantung pada perilaku akademik penafsirnya. Dalam konteks hubungan antara nas dengan ijtihad terdapat pendapat bahwa nas tidak mesti membawa keharusan ijtihad, al-ma’rifah (pengetahuan) adalah proses nukil dari nas ke nas. Artinya al-ma’rifah tidak lain merupakan kesimpulan dari proses kompilasi, pengadaptasian dan penyelarasan nas-nas, mengikuti dan penyerahan diri pada semua produk naql. Sikap ini tentu bukan solusi di tengah problem yang dihadapi umat.

Sebetulnya nas membutuhkan ijtihad dalam memahami dan mengimplementasi-kannya dalam rangka usaha mendialogkan dan mempertemukan antara aql dengan realitas. Proses aktifitas ijtihad dapat terjadi bersama nas, pada nas itu sendiri dan juga di luar nas, selama yang menjadi kebutuhan itu adalah fiqh al-waqi’ atau fiqh yang fungsional dan akomodatif di tengah realitas masyarakat, bukan fiqh al-lugah (fiqh produk bahasa) yang cenderung kaku dengan berbagai aturan dan pembatasannya. Tidak ada konsep fiqh dan fuqaha’ di dalam al-Quran kecuali seruan yang bersifat akademisi untuk memahami (al-fahm), merasionalkan (al-ta’aqqul) dan deduksi hukum (al-istimbath) yang terdapat dalam sejumlah nas yang diperuntukkan bagi komunitas ulil albab.

Fenomena itu telah mendorong para penulis dalam edisi kali ini untuk melakukan reposisi terhadap al-hudud al-ijtihadi. Segala keputusan hukum harus akomodatif terhadap kebutuhan material, spiritual dan intilektual masyarakat secara terpadu seperti yang kita lihat dalam tulisan Asmuni. Dengan begitu maka fiqh kata Yusdani harus diperlakukan sebagai teks yang senantiasa terbuka sebagai syarat kalau ingin bertahan dan responsif terhadap persoalan kemanusian dan pada gilirannya fiqh akan menjadi agen pemaknaan sosial namun harus terlebih dahulu menggesernya dari paradigma kebenaraan ortodoksi kepada paradigma pemaknaan sosial. Jika tidak demikian, maka otoritarianisme tafsir agama yang cenderung dimonopoli oleh komunitas tertentu yang pada gilirannya memenopoli kebenaran atas nama suara Tuhan akan tidak berakhir dan bahkan akan sangat berani mengatasanamakan Tuhan dan bahkan menjadi corong Tuhan. Pendakuan absolut ini berkelindan dengan tangan kekuasaan yang pada akhirnya agar dipaksakan melakukan perselingkuhan dengan kekuasaan. Pemegang otoritas dalam hukum Islam sudah layaknya menyuarakan keinginan Tuhan, tapi tidak harus menganggap dirinya sebagai Tuhan, kata Khaled Abou al-Fadhl yang dipaparkan oleh Sanaky.

Akhirnya ijtihad akademik menjadi kebutuhan primer tidak saja difokuskan pada aspek-aspek ritual, tetapi juga pada masalah ekonomi, politik dan juga dalam ruang lingkup pemikiran Islam secara umum. Sajian-sajian dalam tulisan ini merupakan gagasan awal dalam melakukan reposisi batas-batas ijtihad yang selama ini sudah dipersempit oleh kepentingan kekuasaan dan dominasi komunitas tertentu.

Al-Mawarid edisi XV yang akan datang mengangkat tema: Fiqh dan Kontroversi Seputar Legislasi Pornografi dan Pornoaksi. Kami mohon partisipasi para pembaca untuk ikut menyumbangkan tulisannya.

Penyunting


Studi Pemikiran Al-Maqashid (Upaya Menemukan Fondasi Ijtihad Akademik yang Dinamis)

Asmuni Mth

Abstract

The goal of Shari’ah ( ‘ilm al-maqashid ) historically develop dynamically. This science shows free and sporadic earlier. Then, it develops evolutively and it becomes one of basic of established Islamic law thought. The goal of tashri’ can be classified into three categories, al-masalih ad-daruriyah, al-haji, and al-tahsini. This classification does not answer law problerms academically. Because of ilm al-maqasid is not only departing from linguistics understanding toward Quran and Sunnah, but also considers the values deriving from society. especially moral norms. So, al-masalih that relates to and as reference of the academic intellectual exercise is al-masalih al-hayawiyah, al-masalih al-aqliyah, and al-masalih ruhiyah. This classification will comprehend Islamic law integratively all of maslahah, it implies that Islamic law will be applicable and functionable to solve society problem.

Urgensi Ijtihad Akademik dalam Menjawab Problematika Muamalah Kontemporer

Nur Kholis

Abstract

The article below traces to find the urgency of academic ijtihad to solve contemporary problems in muamalah (transaction). The age of globalization supported by information technologies revolusion makes all aspects of human life changes rapidly especially in economic activities. Many kinds and aspects of transaction that human did not think many years ago, occur in this era, for instance insurance, electronic banking, e-commerce, capital market, unit trust, etc. All forms of transaction in this era need to be solved and justified by Islamic law in order to all muslims in the world can participate in economic activities among other people at global era. Islam as the last religion revealed by Allah SWT has many tools to anticipate and solve contemporary problems occurring in the global era. Al-Qur’an and al-Sunnah as the main sources of Islamic law provide tools to make Islamic teachings always suitable for all time, namely by academic ijtihad. By doing academic ijtihad to solve contemporary muamalah problems in this global era will make Islamic law always appropriate whenever and wherever.

Kata Kunci: Ijtihad akademik, problematika, fiqh muamalah kontemporer

Poligami: Antara Legalitas Formal dan Legalitas Budaya (Studi Kasus Praktek Poligami Kyai Pesantren di Probolinggo Jawa Timur)

Ita Musarrofa

Abstract

Law is not only as a tool of social control but also as that of social engineering. As a tool of social engineering, law can be conducted to direct and change society, so did the restrictive decision regarding poligamy of Act No. 1 year 1974. The goal of this act is to direct and to regulate poligamy to become responsible and regularly. The main problem in this context is is it possible the restrictive can be conducted by society effectively while the phenomemon of poligamy tends to contrary to this act? The result of this researh revealed that the restrictive decision of poligamy of this act in term of the effectivity, the community of kiyai of pesantren at Probolinggo East Java, this act did not run effectively. This means that is not in accordance with the act. This happens because of internal motivation of kiyai factor and external or culture as supported factor

Membongkar Metamorfosis Positivisme Auguste Comte dalam Fiqh

Yusdani

Abstract

The following article examines the methodology and approach of Islamic Jurisprudence studies. According to the author the urgent need of the study and the develop of Islamic Law nowadays is considering not only applying normative/theological approach but also hermeneutics approach. The characteristics of hermeneutics as approach or methodolody in Islamic studies is the text either that of holy scripture or that of anyform is cultural product, polyphonics and open to interpret by many interpreters in accordance with situation, condition, culture and historical challenge of human. Accordingly, Islamic Law thought constitutes as opened texts and closed relation to historical and cultural background where the texts produced, so fiqh should be reinterpreted, reconstructed and given new alternation in order to be able to answer the problem of law nowadays.

Kata kunci: fiqh, ortodoksi, hermeneutika, dan sejarah

Gagasan Khaled Abou El Fadl Tentang Problem Otoritarianisme Tafsir Agama Pendekatan Hermeneutik dalam Studi Fatwa-Fatwa Keagamaan

Hujair Sanaky

Abstract

One of the famous Moslem scholar is Khaled Abou El Fadl. He has studied of religious fatwas that recorded in council religious legal opinion. The main problem that this scholar investigates regarding religious fatwas on gender. Abou El Fadl offers methodology of how to interpret ther meaning of the law texts, it is hermeneutic. The characteristics of this kind of methodology is that there is closed relation text, context, author, and interpreter reader). So, the meaning of Islamic law texts can be classified into two categories, authoritarianism and authoritative meaning. Departing from this, according to Abou El Fadl to understand the meaning of Islamic law texts in this era should consider hermeneutics.

Kata kunci : menjunjung otoritas teks dan membatasi otoritarianisme pembaca

Pengaruh Gerakan Wanita Terhadap Wacana Hukum Islam: Studi Hukum Perkawinan Indonesia

Khoiruddin Nasution

Abstract

The paper discusses role and influence of women movement in formulating the Marriage Law of Indonesian no. 1 of 1974. The issue described by citing the historical fact since the coming out of the issue of the important of marriage law to replace traditional Islamic marriage (fiqh), process of the emergence until promulgation and the result of the law. By so doing hopefully it will be able to understand the role and the influence of Indonesian women movement in formulating and contend of the law. What is found therefore is that women movement played an important role and influenced contend of the law. To prove this conclusion is first of all that women are the first group proposed of the important of promulgation of marriage law both individually and collectively (organization). Secondly, one of the objectives of the promulgation of marriage law is to improve the status of women. The third, majority of the content of marriage law is put women more equal with men.

Key words: Indonesia, influence, Islamic marriage law, women movement

Telaah Terhadap Draf KHI Perspektif Sejarah Sosial Hukum

Dadan Muttaqien

Abstract

Indonesian President decree No. 1 year 1991 regarding spreading The Compilation of Islamic Law that addresses to The Minister of Religious Affairs as representation of Islamic Law that will be applied as foundation of Moslem in Indonesia. Then, its development, the position of this regulation or this decree will be graded to become the act so some articles of this decree need revising in accordance with Indonesian local culture. At the same time emerging controversial thought because of growing and developing by Islamic liberal, pluralist, emancipatorist or gender community. These communities encounter toward revised Islamic Law Compilation, so emerging the controversial ideas in Indonesia.

Book Review: Nalar Kritis Syari’ah

Rahmani Timorita Yulianti

Dalam agama, syariah merupakan ruh. Ia memainkan peran penting dalam setiap aktivitas keberagamaan. Kadang dalam sebuah statemen yang agak ekstrim dinyatakan bahwa beragama tanpa memegang dan menjalankan syari’ah adalah palsu belaka. Namun yang lebih berbahaya, kesalahan seorang pemeluk agama dalam memahami hakikat syari’ah dapat menjerumuskan manusia ke jurang kesesatan dan kegelapan.