Islam dan Pengentasan Kemiskinan

وَفِي أَمْوَالِهِمْ حَقٌّ لِّلسَّائِلِ وَالْمَحْرُومِ

“Dan pada harta benda mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta, dan orang miskin yang tidak meminta.” (QS. Adz-Dzariyat [51]: 19)

Islam sebagai agama yang banyak dianut oleh rakyat Indonesia selayaknya memiliki andil (saham) yang besar terhadap pemberantasan kemiskinan bangsa ini. Sebagaimana kita maklumi bahwa kemiskinan adalah masalah bangsa Indonesia yang tiada pernah menemui titik terangnya. Setiap tahun kemiskinan semakin bertambah yang biasanya didahului oleh surplus Sumber Daya Manusia (SDM) usia remaja yang memasuki usia kerja. Karena terbatasnya lapangan pekerjaan maka berdampak pada pengangguran yang berimplikasi pada kemiskinan rakyat. Sebagai sebuah agama yang nilai-nilai luhurnya bersumber dari tuhan (wahyu) maka Islam seharusnya mampu membaca kondisi yang ada dan berusaha melakukan respon yang benar dan tepat guna. Dengan demikian kemiskinan tidak lagi menjadi momok bangsa yang berlarut-larut tanpa menemui jalan tengah (solusi). Dan hal ini juga karena hakikatnya ajaran Islam itu mengandung nilai-nilai implikatif yang responsif, konstruktif, dan inovatif terhadap kehidupan umat manusia.

Peran Islam dalam Pengentasan Kemiskinan

Islam dengan segala ajaran luhur yang terkandung didalamnya memiliki proyeksi yang jauh ke depan yang bertujuan untuk memelihara kepentingan dan kemaslahatan umat manusia. Dalam Islam kita mengenal zakat (baik fitrah maupuu mâl). Sebagai salah satu dari rukun Islam yang lima zakat fitrah ternyata mampu memberikan solusi nyata (konkrit) dalam mengatasi kemiskinan umat. Betapa tidak, setiap orang yang memiliki harta yang telah mencapai nisab (batas minimal harta) dan haulnya (batas minimal waktu) diwajibkan untuk mengeluarkan zakatnya dengan persentase yang telah diatur dalam syariat. Zakat itu nantinya akan didistribusikan kepada orang-orang fakir lagi miskin dan tujuh golongan lainnya sebagaimana termaktub dalam Alquran (QS. at-Taubah [9]: 61). Dengan demikian tidak akan ada lagi kesenjangan sosial antara si kaya dan si miskin. Tidak ada lagi sikap saling mencurigai dan mengintimidasi. Karena si kaya memilki kepedulian terhadap nasib orang miskin dan si miskin pun merasa diayomi dengan santunan yang diberikan oleh kaum elit (aghniyâ’) itu. Inilah yang kemudian kita sebut sebagai inti ajaran Islam yang begitu memperhatikan perikemanusian.

Ibadah lain yang juga kita kenal dan selalu kita kerjakan secara rutin, lima waktu dalam sehari semalam adalah shalat. Shalat adalah ibadah yang dilakukan untuk melakukan kontak langsung dengan sang khâlik, Allah SWT. Dimana setiap muslim diwajibkan untuk menjalankannya tanpa pengecualian. Dari ibadah shalat tersebut sejatinya memiliki nilai psikologis yang tinggi dan sarat makna. Dalam shalat berjamaah, ritual ini akan dipimpin oleh seorang pemandu yang disebut imâm dan dibelakangnya terdapat jamaah yang disebut makmûm. Formulasi ini menggambarkan kepada kita bahwa hidup yang teratur dan nyaman itu haruslah dibawahi oleh seorang pemimpin yang memiliki kredibilitas tinggi dan berwibawa. Di samping rakyat yang patuh dan taat kepada pemimpinnya selama pemimpin itu berada pada koridor (aturan) yang benar. Manakala pemimpin itu melakukan kesalahan maka rakyat sepatutnya menegur dengan teguran yang sopan dan tidak anarkis. Hal ini karena kesalahan yang dilakukan oleh pemimpin tidak selamanya disebabkan faktor kesengajaan, bisa saja karena kelalaian atau lupa. Lebih jauh dari itu, seorang pemimpin pun harus merasa senang jika kesalahannya diingatkan oleh rakyat dan bersedia untuk mundur dari jabatannya jika ternyata dia terbukti tidak lagi mampu memimpin rakyatnya.

Perihal ibadah shalat di atas juga memberikan pengertian kepada kita bahwa hidup yang teratur itu juga akan menjadikan kehidupan rakyat sejahtera dan bahagia. Betapa tidak, pemimpin dan rakyat berjalan seiring, sejalan dan selangkah menuju misi alias tujuan yang diinginkan. Sehingga dalam melakukan segala hal, seluruh komponen masyarakat dilibatkan tanpa terkecuali. Tidak ada lagi diskriminasi dan demarkasi antara rakyat kecil dengan orang kaya yang berlimpahkan harta. Tidak ada lagi golongan mayoritas dan kelompok minoritas. Semunya berkedudukan sama di mata Allah SWT. Yang membedakan manusia yang satu dengan yang lainnya adalah derajat ketakwaannya kepada-Nya semata. Sehingga sikap saling menghargai, menyayangi, dan mengasihi akan terwujudkan (tercermin) dalam kehidupan sehari-hari. Dengan demikian sikap serakah, mau menang sendiri, monopoli harta tidak akan kita dapatkan lagi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Setiap warga negara memiliki kepedulian sosial yang tinggi terhadap nasib saudaranya. Sikap altruisme pun akan tumbuh dan berkembang pesat dalam kehidupan mereka. Hal ini yang kemudian menciptakan iklim masyarakat yang sejahtera dan bahagia.

Selanjutnya adalah puasa (ash-shiyâm), ibadah tahunan yang dilakukan secara rutin oleh umat Islam setiap bulan Ramadhan. Sebagai sebuah ibadah yang wajib dilaksanakan oleh setiap muslim yang sudah mencapai usia bâligh (dewasa). Puasa didefinisikan sebagai usaha untuk menahan diri dari makan, minun, senggama dan segala yang membatalkan puasa sejak terbitnya fajar sampai tenggelamnya matahari, tentu memiliki nilai dan makna filosofis yang tinggi. Selain berfungsi untuk menjaga kesehatan puasa juga berguna sebagai media bagi kaum muslim untuk merasakan (feeling) kondisi yang dialami oleh kaum lemah lagi tidak mampu. Biasanya, setiap hari mereka menyantap makanan tanpa batasan waktu namun ketika menjalankan ibadah puasa, waktu makan menjadi terbatasi. Hal ini dimaksudkan sebagai bentuk solidaritas umat Islam terhadap kaum lemah (dhu’afâ’) dan orang-orang miskin (masâkîn). Dan jauh dari itu sebetulnya puasa menyimpan hikmah yang luar biasa yaitu menumbuhkan sikap kepedulian setiap muslim terhadap saudaranya sesama muslim yang tidak mampu. Sikap itu ditunjukkan dengan kesediannya untuk memberikan sebagian rizki yang didapatkan kepada mereka. Sehingga akan semakin mendekatkan mereka kepada kaum lemah dari segi emosional dan tentu demi memperoleh keridhaan Allah SWT.

Ibadah puasa di atas lagi-lagi berfungsi sebagai sarana untuk mengentaskan kemiskinan bangsa dalam sekala dan jumlah yang besar. Rasa lapar dan haus yang dirasakan oleh orang-orang yang berpuasa (shâimûn) akan mendorong mereka untuk berempati terhadap saudaranya yang kurang mampu lagi membutuhkan bantuan, pertolongan, dan santunan. Sehingga tidak lagi kita temui orang-orang yang terpaksa meminta-minta di jalanan. Tidak akan kita jumpai orang-orang yang hidup di bawah garis kemiskinan yang mengenaskan dan memprihatinkan. Semua rakyat akan hidup sejahtera, merasakan nikmat tuhan yang tiada pernah putus dan henti. Di samping itu bantuan yang diberikan tidak selamanya berupa hal-hal yang sifatnya sementara (materi) tetapi juga bisa berupa pemberian lapangan pekerjaan. Dengan demikian, para pengangguran akan mendapatkan pekerjaan dan tentu akan mereduksi kemiskinan itu sendiri. Bantuan juga dapat berupa pemberian modal usaha agar mereka juga bisa meyedot saudara mereka untuk bekerja pada unit usaha yang mereka ciptakan dari modal usaha yang didapat. Tentu, hal ini akan lebih efektif dan efisien demi memberantas kemiskinan di bumi pertiwi tercinta ini.

Dan yang terakhir yang juga terbukti ampuh untuk mengentaskan kemiskinan adalah ibadah haji (al-hajj). Haji adalah rukun Islam yang kelima yang wajib dijalankan bagi mereka yang sudah mampu. Mampu dalam arti kecukupan biaya untuk melakukan perjalanan ke sana, ada biaya untuk keluarga yang ditinggalkan dan sehat jasmani maupun rohani tentunya serta adanya mahram (pendamping) bagi perempuan. Ibadah haji banyak memberikan inspirasi umat Islam untuk melakukan bisnis dan mengilhami manusia untuk menciptakan alat transportasi modern. Betapa tidak, ketika musim haji tiba para penjahit tentu akan kebanjiran pesanan untuk membuat pakaian ihram yang berdampak pada melonjaknya omzet (pendapatan). Kelompok tertentu mengadakan bimbingan haji plus demi kelancaran pelaksaan ibadah haji di Makkah al-Mukarramah nantinya bagi para calon jamaah haji. Tentu bimbingan haji ini tidak gratis tetapi juga menghasilkan rezeki yang tidak kecil. Bimbingan ini juga tentu akan melibatkan banyak orang dari kalangan akademis (‘ulamâ’) yang juga akan membantu dan memberikan peluang bagi mereka untuk mengais rezeki yang halal lagi baik. Di sisi lain, jarak yang jauh antara Indonesia dan Makkah membuat manusia berfikir untuk menciptakan alat transportasi baru. Dengan demikian mereka juga akan mendapatkan keuntungan jika proyek mereka itu berhasil dan lebih jauh dari itu kenyamanan pelaksaan ibadah haji akan dirasakan dengan adanya pesawat-pesawat baru.

Para jamaah haji yang melaksanakan prosesi ibadah haji di Makkah akan merasakan betapa indahnya ukhuwah dan kebersamaan umat Islam. Di negeri (tempat) itu semua umat Islam dari segala penjuru dunia berkumpul menggunakan pakaian yang sama, pakaian ihram yang berwarna putih. Tujuannya adalah untuk menumbuhkan rasa solidaritas dan merasa senasib dan sepenanggungan baik dalam ibadah maupun muamalah. Sepulang dari tanah suci, jamaah haji akan kembali berbaur dengan masyarakat tempat mereka bermukim sebelumnya. Mereka akan menceritakan kisah-kisah, pengalaman spiritual selama berada di sana. Hal ini tentu akan memberikan kontribusi, motivasi kepada masyarakat untuk menumbuhkan spiritualitas mereka, untuk konsisten (istiqâmah) mengabdi kepada Allah SWT. Selain itu para jamaah haji juga akan mengamalkan pengalaman spiritual mereka di negeri tercinta mereka. Kebersamaan yang mereka rasakan di sana tentu akan mendorong mereka untuk meringankan beban sesama muslim karena sudah merasa senasib dan sepenanggungan. Sehingga kebutuhan mereka juga menjadi tanggung jawab bersama untuk memenuhinya. Dengan demikian predikat haji mabrur itu akan didapatkan, yaitu akan mendapatkan balasan surga di akhirat kelak (al-hajj al-mabrûr laisa lahu al-jazâ’ illa al-jannah).

Ikhtitâm

Berdasarkan pemaparan di atas tentu akan semakin menambah keyakinan kita akan kebenaran agama Islam yang selama ini kita anut dan yakini. Ternyata semua unsur rukun Islam itu memiliki nilai filosofis yang tinggi yang salah satunya adalah dalam rangka mengentaskan kemiskinan bangsa. Hal ini lah yang akan meperkuat dua kalimat syahadat (syahadatain) yang sudah sekian lama kita ikrarkan. Tidak ada lagi keraguan akan persaksian kita bahwa tidak ada ilah (tuhan) yang wajib disembah kecuali Allah SWT dan Muhammad SAW adalah utusan-Nya yang membawa risalah ketuhanan dan keagamaan. Sehingga pondasi keislaman kita akan semakin kuat dan tidak akan pernah goyah wapaupun badai kencang datang mengoncang sekalipun. Hal ini karena keyakinan yang dilandasi oleh alasan yang argumentatif, hujjah matînah, dan bukti yang logis itu akan mudah dan tetap terkristal dalam hati (qalbu) dibandingkan dogma semata. Bagi kaum non-muslim, jika mereka ingin mendalami hakikat dari ajaran Islam tentu mereka akan mendapati bahwa Islam adalah benar-benar agama yang peduli dengan umat, kehidupan dan kemanusian. Hal ini tentu berdasarkan misi Islam yang akan terus menebarkan rahmat bagi seluruh alam (rahmatan li al-‘âlamîn). Wallâhu a’lamu bi ash-shawâb.

Samsul Zakaria , Santri Ponpes Ashhabul Kahfi UII dan Mahasiswa Prodi Syarî’ah FIAI UII 2009. Tulisan ini pernah dimuat pada Buletin Al-Lu’lu’ terbitan OSPP UII pada 3 Desember 2010. Tulisan ini dapat juga diakses langsung dari sumbernya maupun dalam bentuk.doc dan .pdf .