Hidayah Tuhan untuk Semua

Musa berkata: “Tuhan kami ialah (Tuhan) yang telah memberikan kepada tiap-tiap sesuatu bentuk kejadiannya, kemudian memberinya petunjuk (QS. Thaha [20]: 50).

Hidup manusia ibarat sebuah perjalanan ke sebuah tempat yang belum pernah sekalipun dikunjungi. Dalam perjalanan menuju tempat paripurna itu, banyak sekali jalan yang bisa ditempuh oleh manusia. Ada banyak jalan yang bisa mengantarkan manusia ke tempat tujuan dengan selamat. Namun, jauh lebih banyak lagi jalan yang justru menjauhkan dan menyesatkan manusia dari tempat yang dituju. Tidak semua jalan yang benar itu tampak baik dan mulus, ia seringkali penuh dengan lubang dan halangan. Manusia seringkali tergoda untuk melewati jalan yang tampaknya mulus, halus dan menyenangkan, padahal sebenarnya jalan itu sesat. Maka dari itu, semua manusia pada dasarnya membutuhkan hudaa (petunjuk), agar mampu membedakan mana jalan yang benar dan mana jalan yang salah. Yang dimaksud dengan kata “hadaa” pada ayat di atas adalah memberi petunjuk dengan memberikan akal, instinct (naluri) dan kodrat alamiyah untuk kelanjutan hidupnya masing-masing makhluk. Dalam hal ini, Allah memberikan petunjuk pada semua makhluk-Nya, kecuali yang tidak Dia kehendaki.

 

Allah swt menganugerahkan petunjuk-Nya bermacam-macam sesuai dengan peranan yang diharapkanNya dari makhluk. Hidayah Allah swt diberikan kepada setiap ciptaan-Nya (QS. Thaha [20]: 50). Allah menuntun setiap makhluk kepada apa yang perlu dimilikinya dalam rangka memenuhi kebutuhannya, misalnya anak burung yang ada di sarang, ia dapat hidup dari usaha induknya dalam mencari makan, atau lebah ketika membuat sarangnya dalam bentuk segi enam karena bentuk tersebut lebih sesuai dengan bentuk badan dan kondisinya atau manusia yang menyusui anaknya, semua ini terjadi karena petunjuk Allah swt. Itu semua adalah bentuk petunjuk yang paling primitif, untuk bertahan hidup. Setelah itu, tingkat hidayah di atasnya bukan hanya untuk bertahan hidup, akan tetapi petunjuk menuju jalan yang benar.

Memang tidak jarang kita sebagai salah satu makhluk-Nya telah mengetahui petunjuk dan pesan agama, tetapi ada saja hambatan sehingga petunjuk atau pesan itu tidak dapat kita laksanakan. Boleh jadi karena godaan nafsu atau setan atau boleh jadi karena kurangnya kemampuan. Nah disinilah petunjuk Allah swt yang dibutuhkan. Ketika orang buta bisa berjalan dengan sebatang tongkat tanpa kesulitan sebagaimana orang yang tidak buta atau yang tak kalah anehnya orang buta yang dapat dan mampu menghafal Al-Qur’an sebanyak 30 juz tanpa cacat disinilah petunjuk Allah membuktikan. Tidak itu saja, orang yang dulunya penjahat kelas kakap (pembunuh) sekarang sudah berbalik arah menjadi seorang kyai dengan ribuan santri tidak lain ini adalah petunjuk Allah untuk hamba-Nya yang dikehendaki.

Petunjuk tingkat pertama (naluri) terbatas pada penciptaan dorongan untuk mencari hal-hal yang dibutuhkan. Naluri tidak mampu mencapai apapun yang berada di luar tubuh pemilik naluri itu, pada saat tertentu datang kebutuhan untuk mencapai sesuatu yang berada di luar dirinya, sekali lagi manusia membutuhkan petunjuk, dan kali ini Allah menganugerahkan petunjuk-Nya berupa panca indra.

Namun, betapapun tajam dan pekanya kemampuan indra manusia, seringkali hasil yang diperoleh tidak menggambarkan hakikat yang sebenarnya. Betapapun tajamnya mata manusia, ia akan melihat tongkat yang lurus menjadi bengkok di dalam air. Bahkan penciuman anjing yang tajam, yang biasanya digunakan untuk melacak benda-benda di luar jangkauan manusia, suatu saat akan salah dalam peciumannya.

Yang meluruskan setiap kesalahan (panca indra ) adalah petunjuk Allah swt yang ketiga, yakni akal. Akal mengkoordinir semua informasi yang diperoleh indra kemudian membuat kesimpulan-kesimpulan yang sedikit atau banyak dapat berbeda dengan hasil informasi indra. Tetapi walau petunjuk akal sangat penting dan berharga namun ia hanya berfungsi dalam batas-batas tertentu dan tidak mampu menuntun manusia keluar dari jangkauan alam metafisik. Akal dapat diibaratkan sebuah pelampung, ia dapat menyelamatkan sesorang yang tidak bisa berenang di kolam renang atau bahkan di tengah lautan yang tenang. Tetapi jika ombak dan gelombang laut pasang datang bertubi-tubi setinggi gunung, maka ketika itu yang pandai berenang dan yang tidak bisa berenang keadaannya akan sama. Ketika itu manusia tidak hanya membutuhkan pelampung, tetapi sesuatu yang melebihi pelampung. Karena itu manusia memerlukan petunjuk yang melebihi petunjuk akal, sekaligus meluruskan kekeliruan-kekeliruannya dalam bidang tertentu. Petunjuk atau hidayah yang dimaksud adalah hidayah agama.

Macam-macam Hidayah

Ulama membagi hidayah atau petunjuk kepada dua katagori: pertama, petunjuk menuju kebahagiaan duniawi dan ukhrawi. Cukup banyak ayat-ayat Alquran yang menggunakan akar kata hidayah dalam pengertian ini, misalnya: “Dan demikianlah Kami wahyukan kepadamu wahyu (Al Quran) dengan perintah Kami. Sebelumnya kamu tidaklah mengetahui apakah Al Kitab (Al Quran) dan tidak pula mengetahui apakah iman itu, tetapi Kami menjadikan Al Quran itu cahaya, yang Kami tunjuki dengan dia siapa yang kami kehendaki di antara hamba-hamba Kami. Dan sesungguhnya kamu benar-benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus.”(QS. asy-Syura [42]: 52) atau “Dan adapun kaum Tsamud, maka mereka telah Kami beri petunjuk tetapi mereka lebih menyukai buta (kesesatan) daripada petunjuk.” (QS. Fushshilat [41]: 17). Kata hidayah yang pelakunya manusia adalah hidayah dalam bentuk pertama ini.

Kedua, petunjuk serta kemampuan untuk melaksanakan isi petunjuk. Ini dapat dilakukan Allah semata karena itu di tegaskanNya: “Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya, dan Allah lebih mengetahui orang-orang yang mau menerimapetunjuk.”(QS. Al-Qashash [28]: 56).

Ditegaskan lagi dalam tafsir Al Mishbah karya M. Quraish Shihab, Thahir Ibn ‘Asyur membagi hidayah kepada empat tingkatan:

Pertama, apa yang dinamainya al quwa al muharrikah wa al mudrikah yaitu potensi penggerak dan tahu. Potensi ini mengantarkan seseorang untuk dapat memelihara wujudnya. Banyak hal yang dicakupnya, bermula dari naluri bayi yang menyusu atau menangis ketika sakit, sampai pada perasaan yang mengantarnya menyingkirkan bahaya dan ancaman atau mendatangkan kemaslahatan dirinya, berupa meminta makan dan minuman, menggaruk kulit katika gatal, memejamkan mata bila terganggu, bahkan sampai pada puncaknya yaitu mengambil kesimpulan yang bersifat aksioma sebagai hasil pengamatan akal.

Kedua, adalah petunjuk yang berkaitan dengan dalil-dalil yang dapat membedakan antara yang haq dan bathil, yang benar dan salah, sunnah dan bid’ah. Ini adalah hidayah pengatahuan teoritis.

Ketiga, yang tidak dapat dijangkau oleh analisis dan bermacam-macam argumentasi yang bersifat aqliyah, atau apabila diusahakan akan sangat memberatkan manusia. Biasanya hidayah ini dianugerahkan Allah dengan mengutus para rasulNya serta menurunkan kitab-kitabNya dan inilah yang diisyaratkan dalam firmanNya: “Kami telah menjadikan mereka itu sebagai pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami dan telah Kami wahyukan kepada, mereka mengerjakan kebajikan, mendirikan sembahyang, menunaikan zakat, dan hanya kepada Kamilah mereka selalu menyembah.”(QS. Al Anbiya’ [21]: 73).

Hal ini jelas bahwa hidayah yang dimaksud ini adalah hidayah yang diperuntukkan untuk orang-orang khusus yang dikehendaki Allah dalam rangka meyampaikan perintah-Nya.

Keempat, yang merupakan puncak hidayah Allah adalah yang mengantarkan tersingkapnya hakikat-hakikat yang tertinggi, serta aneka rahasia yang membingungkan para pakar dan cendekiawan. Hidayah ini di peroleh melalui wahyu atau ilham yang shahih atau limpahan kecerahan yang tercurah dari Allah. Apa yang diperoleh para nabi pun dinamai oleh Alquran hidayah. Firman Allah: “Mereka itulah (para nabi-nabi yang disebut sebelum ini nama-namanya) adalah orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah, maka ikutilah petunjuk mereka”(QS. Al An’am [6]: 90).

Dalam pengertian lain, hidayah memiliki dua kategori, pertama, hidayah ilal Islam, artinya bahwa yang diberi petunjuk belum berada pada jalan yang benar atau hanya mengandung maksud pemberitahuan terhadap suatu hal yang benar. Hidayah seperti ini terjadi pada semua makhluk Allah, baik itu manusia, jin, hewan, tumbuh-tumbuhan dan makhluk lainnya.

Kedua, hidayah fil Islam, artinya bahwa yang diberi petunjuk berada dalam jalan yang benar, akan tetapi belum sampai pada tujuan yang hakiki. Oleh karena itu ia masih diberi petunjuk yang lebih jelas agar sampai pada tujuan yang sebenarnya. Misalnya ketika panggilan adzan dikumandangkan, hanya beberapa orang yang mau menghadiri panggilan tersebut dan yang lainya sibuk dengan aktivitasnya masing-masing, hal ini merupakan hidayah bagi orang-orang yang menghadiri panggilan itu.

Maka, tidak usah heran jika yang terjadi di dunia, khususnya Indonesia, yang mayoritas agamanya Islam, bukannya kebaikan atau kemaslahatan ummat tapi sebaliknya kehancuran dan kemunduran yang terjadi, jika kita tidak mau meningkatkan kualitas diri dalam kehidupan dan tahu maksud tujuan Islam, yakni rahmatan lil’alamin.

Penutup

Sebagai penutup tulisan ini, yang perlu kita ketahui dan sadari adalah bahwa hidayah Allah swt bertebaran di alam semesta ini untuk semua makhluk-Nya. Di manapun kita berada, di situlah hidayah Allah terhampar luas. Kita sebagai salah satu makhluk-Nya yang telah diciptakan dengan sebaik-baiknya (QS. At-Tien : 4) dan sebagai penyempurna, kita diberi akal untuk berfikir agar dapat mencapai hidayah Ilahi. Seyogyanya kita memanfaatkan kesempatan dengan sebaik-baiknya.

Wallahu A’lam

Fathurrahman Al Katitanji, Mahasiswa Syariah FIAI dan santri Ponpes UII, kini aktif di 12 Organisasi.

Artikel ini dipublikasikan di Al-Rasikh Lembar Jumat Masjid Ulil Albab terbitan terbitan Direktorat Pendidikan dan Pengembangan Agama Islam (DPPAI) Universitas Islam Indonesia (UII). Artikel ini dapat diakses dari http://alrasikh.uii.ac.id/2007/02/16/hidayah-tuhan-untuk-semua/.

Unduh Artikel