Achmad Fauzi, SHI.: Hakim Pengadilan Agama Cerdik dan Penulis yang Kreatif

Achmad Fauzi, SHI. Hakim Pengadilan Agama Cerdik dan Penulis yang Kreatif

Achmad Fauzi, SHI. Hakim Pengadilan Agama Cerdik dan Penulis yang Kreatif

“Saya orang miskin. Dulu motif menulis supaya bisa makan. Akhirnya berkembang sebagai perjuangan idealisme,” tutur Achmad Fauzi, SHI., Hakim Pengadilan Agama (PA) Tarakan, Kalimantan Utara. Sosok yang akrab disapa Fauzi tersebut barangkali adalah pribadi yang ‘langka’ di lingkungan Peradilan Agama. Pasalnya, selain fokus menyelesaikan kasus di meja hijau, dia juga aktif berkontribusi lewat tulisan, menyikapi kasus dan dinamika hukum kekinian.

Lahir di Sumenep-Madura, 3 Agustus 1981, Fauzi merantau ke Yogyakarta tahun 1999 untuk memulai kuliah. Program Studi Ahwal Syakhshiyah (PSAS) Fakultas Ilmu Agama Islam (FIAI) Universitas Islam Indonesia (UII) menjadi pilihannya. Mengenang masa-masa kuliah, Fauzi bercerita bahwa kala itu dia harus berjualan pecel lele. Bukan tanpa sebab, kecukupan biaya kuliah adalah alasan utamanya. Kegigihan dan keuletannya tersebut ternyata menjadi alasan kuat untuk sukses di kemudian hari.

Usai merampungkan kuliah, Fauzi sempat bekerja sebagai Editor Lembaga Studi Ketuhanan, Yogyakarta, 2003-2004. Nasib baik berpihak padanya. Setelah melalui rangkaian tes yang panjang, Fauzi dinyatakan lulus sebagai calon hakim (cakim) PA. Antara tahun 2007-2010 dia menjadi cakim di PA Balikpapan, Kalimantan Timur. Dinyatakan lulus menjalani proses cakim, Fauzi diangkat sebagai Hakim Pratama tahun 2010 di PA Kotabaru, Kalimantan Selatan. Mulai tahun 2013 sampai saat ini bertugas sebagai Hakim Pratama Madya di PA Tarakan.

Menariknya, karena keaktifan menulisnya Fauzi ditunjuk sebagai salah satu Redaktur Majalah Peradilan Agama sejak 2013 sampai kini. Posisi tersebut tentu cukup strategis baginya. Pasalnya dari sekitar 3000-an hakim pengadilan agama, Fauzi adalah satu diantara 10 hakim pengadilan agama yang menjadi Redaktur Majalah Peradilan Agama. Karena posisinya tersebut, paling tidak 3 kali dalam setahun Fauzi diundang oleh Mahkamah Agung (MA) untuk rapat redaksi. Peran tersebut tentu menjadi cacatan positif bagi MA untuk karier Fauzi selanjutnya.

Baca juga: Menjadi Hakim: Sebuah Panggilan Dedikasi di Bidang Hukum

Untuk penulisan opini di media, Fauzi tergolong aktif. Sampai berita ini ditulis, lebih dari 110 artikel opini telah terbit. Artikel tersebut tersebar di harian Kompas, Jawa Pos, Media Indonesia, Suara Pembaruan, Koran Jurnal Nasional, Koran Jakarta, Majalah Gatra, Koran Tempo, Pikiran Rakyat, Koran Kontan, Detik.com, dan lain-lain. Tidak hanya itu, Fauzi juga sering menulis artikel ilmiah di jurnal-jurnal ilmiah. Salah satunya di Jurnal al-Mawarid dengan judul Peran Hakim dalam Pembaruan Hukum Keluarga Islam di Indonesia.

Tidak cukup hanya menelurkan harya sederhana, Fauzi juga telah menerbitkan 3 buku. Pertama, Pergulatan Hukum di Negeri Wani Piro yang terbit tahun 2012. Kedua, Anasir Kejahatan Peradilan yang terbit tahun 2014. Paling terkini, Korupsi dan Penguatan Daulat Hukum yang terbit tahun lalu. Dalam tulisan-tulisannya, Fauzi menggunakan pola tutur (ta’bir) yang khas dan kreatif. Kalimat-kalimat yang disusunnya sederhana dan mengalir sehingga nikmat untuk dibaca. Tidak heran, sebab Fauzi telah membangun ‘karakter’ tulisannya sejak mahasiswa.

Berkenaan dengan profesinya sebagai penegak hukum alias hakim, Fauzi punya kisah menarik. Ketika para pihak datang ke PA untuk merebutkan harta waris, Fauzi punya strategi cerdik untuk mengingatkan mereka. “Kapan terakhir Bapak/Ibu mengirim doa (hadiah fatihah) untuk orang tua (yang sudah tiada)?” tanyanya kepada para pihak. Pertanyaan simpel itu tidak jarang membuat para pihak menangis dan tersadarkan. Pasalnya, banyak yang berebut warisan namun lupa mendoakan orang tua yang meninggalkan warisan itu.

Lain lagi ketika menghadapi para pihak yang akan ‘memperebutkan’ hak asuh anak/hadhanah. Fauzi lagi-lagi punya strategi cerdik. Orangtua si anak diminta keluar dari ruang sidang. Bersama hakim lain Fauzi berdialog dengan sang anak. Setelah itu orang tua si anak diminta masuk kembali. “Satu hal yang saya dapat dari ucapan anak Bapak/Ibu. Anak Bapak/Ibu sangat sayang sama Bapak/Ibu. Apakah Bapak/Ibu tetap akan rebutan hak asuh anak?” begitu kira-kira tanya Fauzi. Hal itu seringkali membuat orangtua anak menangis dan tersadarkan.

Untuk mahasiswa PSAS dia berpesan agar menyiapkan diri sejak sekarang supaya kelak menjadi penegak hukum yang berintegritas dan berwawasan luas. “Jangan menyerah sebelum profesi hakim direngkuh. Saya tunggu Anda di Mahkamah Agung,” tuturnya kala menjadi narasumber Studium Generale mahasiswa baru PSAS, akhir Agustus lalu. Terakhir Fauzi berpesan kepada mahasiswa UII umumnya untuk giat membaca dan menulis. “Membacalah sebelum kita dibaca orang. Menulislah sebelum kita ditulis orang,” ujarnya mantap. (Samsul)

Lampiran:
Achmad Fauzi-Hakim Cerdik dan Penulis yang Kreatif.pdf