Tamyiz Mukharrom, Doktor Baru FIAI Dari Tunisia

Fakultas Ilmu Agama Islam Universitas Islam Indonesia (FIAI UII) kembali memiliki Doktor baru yakni Dr. H.M. Tamyiz Mukharrom, MA (dosen tetap FIAI) yang baru menyelesaikan studinya di Universitas al Zaituniyah Tunisia, 10 Desember 2012 lalu. Di hadapan dewan penguji terdiri dari Prof. Dr. Mohamaad Buzribah, Prof. Dr. Hisyam Ghiriza, Dr. Mohamamd Syitiwi, Dr. Nashir Alany, dan kolega dari Kedutaan RI di Tunisia serta rekan-rekannya, ia berhasil mempertahankan disertasinya berjudul Tajiidid al-Ushul al-Fiqh  baina al-Muayyidin wa al-Mu’aridin Khaadiran (Rekontsrtuksi Usul Fiqh antara Pro dan Kontra Kontemporer) yang dipromotori oleh Dr. Burhan Nafatt, dengan predikat Musyarof (terhormat).

Menurut pria kelahiran Sleman, 14 Juni 1959 ini, judul tersebut dipilih karena pengetahuan teori hukum Islam dapat membantu memahami teks-teks agama secara tepat ketika menerapkan pada fakta seperti dikatakan Ibnu Khaldun dalam bukunya, Pengenalan Ibnu Khaldun bahwa teori hukum Islam adalah salah satu dari ilmu-ilmu agama terbesar dan paling menguntungkan. “Teori hukum Islam adalah pengetahuan tentang alasan dan argumen hukum secara umum dan bagaimana menggunakannya dan memperoleh manfaat darinya bagi kemaslahatan umat”, ujar Kyai Pondok Pesantren al Nasyath Mlangi ini.

Ia menambahkan terdapat perbedaan antara ulama kontemporer tentang masalah ini dimana beberapa dari mereka percaya bahwa prinsip-prinsip (al-Qawa’id) yang dikembangkan oleh ulama klasik yang cukup untuk menjelaskan masalah modern dan untuk membuat undang-undang ini. Oleh karena itu, kata Tamyiz, aturan-aturan tidak perlu diaktifkan atau diperbaharui. Sementara yang lain berpendapat bahwa umat Islam tidak memiliki pembaruan prinsip-prinsip teori hukum Islam untuk dapat menghadapi masalah baru dari umat sehingga kajian ini perlu dilontarkan untuk membanding kan antara yang sedang berkembang dengan mengelaborasi alasan mereka dan mengevaluasi mereka berakhir dengan mencoba untuk menemukan satu yang lebih baik.

Lebih lanjut ia mengatakan pembaruan teori hukum Islam merujuk pada pemulihan dan pengembangan ilmu pengetahuan dengan tetap menjaga orisinalitas dan karakteristik khas, juga mengacu pada adanya berbagai pandangan yang dapat digunakan oleh mereka yang mempelajari ilmu ini untuk memperbaharui dan menjaga keterkaitan dengan fakta-fakta di sekitarnya dan hubungan antara sisi teoritis dan praktis dari ilmu ini.

Untuk itu, kata Tamyiz, reformasi teori hukum Islam dicapai dalam berbagai kecenderungan simple yaitu, pertama menghapus beberapa masalah teologis dan linguistik yang tidak perlu dan tidak ada hubungannya dengan teori hukum Islam secara langsung, serta menghindari masalah seperti yang berhubungan dengan ilmu Al-Quran, kedua, mengevaluasi hal-hal yang subyek untuk konsensus evaluasi seperti sarjana hukum Islam (al-ijma’) di mana para sarjana Muslim berbeda satu sama lain tentang metode-metode, kebenarannya, rantai transformasi, dan hal lain yang tunduk pada reformasi, pengawasan, dan koreksi yakni analogi (qiyas) meskipun hal ini harus dipikirkan dan dikaji lagi dan lagi,

Ketiga, menambahkan beberapa disiplin ilmu modern yang diperlukan untuk mereformasi bahwa teori hukum Islam seperti menambahkan hal-hal yang menguntungkan dari sisi sosiologi dan ilmu-ilmu manusia lainnya yang berhadapan langsung dengan realitas kehidupan dan keempat adalah membawa semangat tujuan (maqashid al-Syari’ah) dalam segala hal dari teori hukum Islam, misalnya, dalam hubungan antara hukum hukum dari satu tangan, dan hirarki kesejahteraan (maslahah) kesejahteraan yaitu primer, sekunder kesejahteraan, dan kesejahteraan tersier dari sisi lain.

Foto bersama Dr. H.M. Tamyiz Mukharrom, MA (ke tiga dari kanan) bersama dewan penguji dan promotor pasca ujian doktor

“Sebagian kaidah-kaidah  Ushul Fiqh bagi orang yang pro perlu ditinjau kembali dan sebagian kaidah perlu diperbarui. pembaruan berarti membuang seseuatu yang sebetulnya tidak dalam kategori Usul Fiqh, seperti ilmu kalam yang banyak berserakan dalam kitab Usul Fiqih dan peninjauan kembali dapat terjadi dengan menggunakan ijma’, baik dari dasar hukum maupun dasar istimbatnya dan kemugkinan terjadinya”, terang pria sederhana ini yang menyelesaikan program Magisternya di Universitas al-Urduniah Yordania pada tahun 1997.