Tuhan dan Tahun Baru

Kau bilang Tuhan sangat dekat, kau sendiri memanggil-manggil-Nya dengan pengeras suara setiap saat…” (Gus Mus)

Kalau Tuhan lebih dekat dari urat nadi, lalu siapa yang lebih dekat dengan kita selain Dia? Antara Tuhan dan manusia bertemu dalam kebersatuan yang begitu erat dan lekat. Sayangnya, kita sebagai hamba-Nya seringkali lupa akan kehadiran-Nya, yang bersatu dalam “tubuh” kita. Singkat kata, Tuhan hanya terasa ketika kita mengunjungi rumah ibadah. Sementara ketika kita berada di luar “tempat mulia” itu, aura ketuhanan seolah mulai sirna.

Berbicara tentang Tuhan berarti berbincang tentang realitas mutlak yang paling agung. Tuhan dalam kacamata manusia memang beragam. Bagi umat Islam, Tuhan itu hanyalah satu, Dialah Allāh ta’āla. Allāh ta’āla tempat kita mengabdi dan kepada-Nya pula kita memohon pertolongan, sebagaimana termaktub dalam surat al-Fātihah. Dalam surat al-Ikhlāsh, Allāh ta’āla dimuliakan sebagai satu-satunya tempat bergantung (Allāhu al-shamad).

Benar bahwa tidak mungkin meminta “bantuan” langsung dari Allāh ta’ala. Wasilah (perantara) itu penting dalam kehidupan. Namun, wasilah bukanlah substansi itu sendiri. Mendapatkan pertolongan karena sebab wasilah hakikatnya adalah pertolongan dari Sang Maha. Dalam konteks ini menjadi berbahaya ketika kemudian seorang menganggap ada kekuatan yang setara dengan-Nya. Ini –bahkan– menjadi sebab kemusyrikan seseorang.

Penggalan puisi kiayi yang juga budayawan (Gus Mus) berjudul Kau ini Bagaimana atawa Aku harus Bagaimana di atas boleh ditafsirkan plural. Ada anekdot bahwa Tuhan orang Islam itu sangat jauh karena memanggilnya (dalam adzan) harus dengan pengeras suara. Itu hanyalah pemaknaan literal-denotatif. Makna substansial-konotatifnya, umat Islam justru mempersepsikan yang dekat seolah jauh, dan dalam hal ini –sayangnya– Allāh ta’āla yang menjadi obyeknya.

Sejak awal harus ditegaskan bahwa kita adalah bagian dari kesadaran ketuhanan. Bila ada yang bertanya dimanakah Allāh ta’āla berada maka sebaiknya balik ditanya. “Mengapa masih mencari ruangan sementara kita sudah berada di dalam ruangan?” Sebuah analogi brilian yang saya dapatkan dari seorang dosen senior. Mana bagian di dunia ini yang bukan merupakan kesadarann/keagungan Ilahi? Dan diri kita termasuk dalam universalisme tersebut.

Sudah clear bahwa Allāh amatlah dekat dengan hamba-Nya (Innīy qarībun, firman-Nya). Manusia-lah yang justru menciptakan sekat yang selain membatasi juga menimbulkan ketegangan antara keduanya. Karenanya, kita harus kembali kepada kesadaran bahwa sekat pembatas itu harus dita(i)nggalkan. Kedekatan yang sebenarnya harus dipupuk agar nuansa ketuhanan hadir dalam kehidupan kita.

Sekali lagi, kedekatan yang hakiki antara Allāh ta’āla dengan hamba-Nya harus terus dihadirkan. Dengan begitu, ruh Ilahiyah selalu memancar dalam setiap nafas kehidupan. Kita memang tidak tahu apakah Allāh ta’āla mencintai kita atau sebaliknya. Namun, kita harus tetap optimis atau ber-husnu adh-dhan. Ketika Allāh ta’āla mencintai kita maka kita melihat dengan mata-Nya, mendengar dengan pendengatan-Nya, dan seterusnya. Subhanallāh…

Kesadaran akan eksistensi Allah dalam kehidupan akan berdampak pada kemurnian tujuan hidup. Ketika kita harus berharap maka sebaik-baik tempat adalah Allah ta’ala. Berbuat kebaikan semata karena keridhaan-Nya. Ketika berbuat yang sebaliknya segera kembali kepada ampunan-Nya, disertai doa akan ketidakberdayaan kita sebagai manusia. Dalam bahasa sekarang: Jika ingin bergalau-ria, tunjukan status jejaring sosialmu pada-Nya, bukan pada khalayak manusia.

Saya suka dengan doa berbahasa Indonesia yang berbunyi: “Ya Allah, ketika hamba melakukan kemaksiatan itu bukan karena hamba sengaja melanggar perintah-Mu. Itu tidak lain karena hamba tidak kuat menahan hawa nafsu.” Sungguh, itu adalah pengakuan ketidakberdayaan hamba di hadapan Tuhannya yang begitu santun dan bermartabat. Tidak ada salahnya kita berdoa padanya agar ditutup pintu-pintu nafsu yang kontraproduktif tersebut.

Muharram, sebuah Penyadaran

Muharram sebagai simbol pergantian tahun Hijr(i)ah selaiknya tidak dimaknai secara seremonial belaka. Tahun baru harus pula membangkitkan semangat untuk memperbaiki kualitas ibadah kepada-Nya. Dengan bereuforia di tahun baru ini, meningkat pula kadar kebaikan yang memancar di tengah kehidupan. Pada akhirnya, ada poin penting yang didapatkan dari perayaan tahun baru Islam ini.

Menarik apa yang disampaikan Gus Mus dalam ceramahnya. Sebenarnya dia ingin “menyudahi” aktivitas dakwahnya. Pasalnya, ceramah agama yang ia sampaikan sudah tidak lagi membawa perubahan. Korupsi dan kemungkaran lainnya masih juga merebak dimana-mana. Kalau demikian ceritanya, bukankah itu adalah kesia-siaan. Padahal sabda Nabi Muhammad SAW, tanda kebaikan keislaman seseorang adalah meninggalkan yang tak bermakna baginya.

Pernyataan Gus Mus tersebut memang tidak bisa dipandang sebagai keputus-asaan seorang kiayi. Itu paling tidak menjadi sindiran betapa kebalnya kita dari nasihat agama yang bertutur tentang kebaikan. Sampai-sampai wejangan yang begitu familiar tidak membekas alias ibarat angin yang berlalu begitu saja. Berangkat dari kesadaran tersebut, tidak yang kata terlambat. Kita harus insaf dan melakukan taubat masif yang sesungguhnya.

Saat ini banyak manusia yang “mencari” Tuhan selain Sang Esa. Mereka menghamba kepada dunia yang sejatinya temporer dan menipu. Dan lebih menghinakan lagi, dunia hanyalah salah satu makhluk ciptaan-Nya. Bukankah sebenarnya kita itu hina ketika menghamba kepada sesama makhluk-Nya? Menjadi penting direnungkan diktum: buat apa berharap surga jika surga juga ciptaan-Nya. Allāh-lah tujuan hidup kita sesungguhnya.

Sejurus dengan itu, tahun baru pastinya tidak patut diartikan sebagai penegasan kebolehan mencari tuhan yang baru. Justru, momen itu adalah saat dimana kemurnian tauhid harus dijernihkan kembali. Tujuan keduniaan yang pada akhirnya melupakan kehidupan yang lebih abadi itu sewajarnya mulai dihilangkan. Sebab, dunia hanyalah kesementaraan yang fungsinya sebagai medium penghantar ke alam keabadian.

“Tuhan” Baru

Era globalisasi ini –mau tidak mau, sadar tidak sadar– telah mereduksi jarak antar kemanusiaan yang awalnya menjadi penghalang. Komunikasi yang awalnya sukar terjalin saat ini begitu mudah dicapai dengan kemudahan akses teknologi masa kini. Tidak mustahil karena alasan ini kemudian muncul “tuhan” versi baru. Teknologi menjadi sesembahan. Kemajuan zaman dikonversi sebagai muara penghambaan. Wal ‘iyādzu billahi…

Memanfaatkan teknologi modern memang bukan sebuah kenistaan. Justru, ketika kita anti-modernitas menjadi masalah tersendiri. Idealnya, persentuhan kita dengan modernitas tidak kemudian menjadikan kita lupa akan Pemilik segalanya. Bagaimanapun campur tangan kreativitas Allāh ta’āla sangat berperan dalam kemajuan yang dicapai manusia. Bahkan, itu semua tanpa izin-Nya tiada pernah bisa ter-indra.

Melihat fakta tersebut, tahun baru Hijriah harus menjadi jembatan kewaspadaan terhadap merebaknya “tuhan-tuhan” baru. Allāh ta’āla adalah Tuhan yang Maha Pencemburu. Kalau Allāh sampai demikian tidak terbayangkan apa yang akan terjadi. So, mari meninggalkan tuhan yang melenakan itu untuk kemudian kembali kepada Allāh ta’āla semata, Tuhan yang sesungguhnya. Semua itu hanyalah wasilah menuju kehadirat-Nya yang sempurna.

Antara “Tuhan” dan “tahun” memang perkara penempatan huruf vokal belaka. Keduanya bisa jadi saling bertukaran makna. Judul tulisan itu menjadi penegas bahwa tahun baru Hijriah ini adalah bagian penyadaran hakikat ketuhanan. Bukan justru sebuah afirmasi bahwa tahun baru adalah momen penemuan tuhan baru. Sekali lagi, ini adalah upaya untuk menghapuskan tuhan baru di tahun yang baru.

Khātimah: Sebuah Refleksi

Tahun baru selaiknya dimanfaatkan sebagai momentum reflektif untuk menghadirkan nilai ketuhanan. Kesibukan dunia jangan sampai memunculkan stetemen: Tuhan, Maaf Kami Sedang Sibuk, seperti judul buku yang ditulis Ahmad Rifa’i Rif’an. Sebaliknya, keramaian dunia adalah saat yang tepat untuk “sunyi” bersama Sang Maha. Jika demikian kondisinya maka tidak ada lagi apologi karena kealpaan terhadap Allāh ta’ala.

Tahun baru ini menyadarkan kita betapa rendahnya kita di hadapan Sang Kuasa. Sungguh sangat sedikit amal kebaikan yang kita lakukan, apalagi dibandingkan dengan ke-Mahaluasan rahmat-Nya. Kita masih sering fokus terhadap kesalahan orang lain dibanding kembali kepada diri sendiri untuk melakukan koreksi. Padahal nasihat Umar RA jelas sekali: hāsibū anfusakum qabla an tuhāsabū. “Ya Allāh, insafkanlah kami dari segenap kesalahan dan kekhilafan ini.”

Peringatan Muharram memang menjadi seremonial tahunan. Idealnya, terjadi peningkatan ke arah yang lebih baik setiap tahunnya pula. Tapi sayangnya, peringatan tinggal-lah peringatan. Tidak juga terbit terang setelah berakhirnya gelap, seperti ungkapan RA Kartini. Namun yang jelas, asa itu masih ada di sini dan bukan di sana. Harapan itu menyatu dalam diri kita. Sebab Allāh ta’āla selalu bersama dengan hamba yang berkeinginan melakukan perubahan.

Kemarin hanyalah kenangan yang tak mungkin berubah. Saat ini adalah kenyataan yang harus dihadapi dengan segenap kekuatan. Esok adalah kepastian yang harus disongsong dengan penuh kesiapan. Sembari menengadahkan tangan, kita berharap selalu kasih sayang Allāh ta’āla. Sebagai penutup: Dengan semangat tahun baru 1434 Hijriah, mari memperbarui nilai-nilai Ilahiyah (ketuhanan) yang ada dalam diri. Wallāhu a’lamu bi al-shawwāb. []

Samsul Zakaria, Santri Pondok Pesantren UII, Mahasiswa S1 Syarī’ah FIAI ‘09

Artikel ini pernah dipublikasikan dalam Buletin Al-Rasikh terbitan Direktorat Pendidikan dan Pengembangan Agama Islam (DPPAI) Universitas Islam Indonesia (UII) Edisi 16 November 2012. Artikel ini dapat diakses dari link ini.

Unduh Artikel