Dialog Nasional dan Bedah Buku Fikih Politik Islam

Dalam rangka meningkatkan wacana kekinian mahasiswa, Lembaga Pers Mahasiswa Pilar Demokrasi FIAI UII mengadakan bedah buku berjudul Fiqh Politik Muslim; Doktrin, Sejarah dan pemikiran, karya Drs. Yusdani, M.Ag pada Sabtu, 21 Mei 2011 di Gedung Kuliah Umum Prof. Dr. Sardjito, MD MPH. Dalam kesempatan itu, selain penulis, hadir juga ketua Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), Irfan S Awwas dan M Shiddiq al Jawi, Dewan Pimpinan Pusat Hizbut Tahrir Indonesia. Sementara mantan pentolan Darul Islam Negara Islam Indonesia (NII) al Chaidar yang juga penulis buku ‘Sepak Terjang KW9 Abu Toto Syekh A.S. Panji Gumilang Menyelewengkan NKA-NII Pasca S.M. Kartosoewirjo’ tidak hadir. Ketiganya merupakan pembedah sekaligus pembicara.

 

Sebagai penulis Yusdani berpendapat, fiqh politik merupakan sketsa persoalan perbedaan pandangan di kalangan muslim tentang berbagai persoalan pemerintahan dan kenegaraan disebabkan faktor teologis yaitu tidak adanya keterangan jelas dan tegas tentang negara dan pemerintahan dalam sumber-sumber Islam yaitu al Qur’an dan as Sunnah bahkan faktor sosio-historis dan sosio-kultural. “al Qur’an tidak membawa keterangan yang jelas tentang bentuk Negara, konsepsi kekuasaan, kedaulatan dan ide tentang konstitusi secara baku dan siap pakai” ungkap Yusdani.

Suasana Bedah Buku dan Dialog Nasional LPM Pilar Demokrasi FIAI UII

 

Berbagai kritik terhadap buku tersebut disampaikan oleh M Shiddiq al Jawi. Ia beranggapan tidak sesuai antara judul dan isinya karena seharusnya fiqh merupakan kajian   normatif bukan kajian kritis dan historis. Selain itu, penulis tidak banyak merujuk kitab fiqih siyasah berbahasa Arab, hanya merujuk 19 kitab dari total 228 buku daftar pustaka dan penulis mempunyai asumsi dasar al Qur’an dan al Hadits tidak mempunyai penjelasan tegas (clear-cut explanation) tentang sistem politik islam, tambah al Jawi.

Sementara Irfan S Awwas mengutarakan rasa pesimis terhadap kemajuan Islam dengan terbitnya buku karangan Yusdani. Dalam konteks kenegaraan, ia mengkritik pancasila sebagai ideologi bangsa Indonesia. Menurutnya pancasila adalah Talmud yakni doktrin zionisme Yahudi yang mempengaruhi perkembangan Indonesia pasca kemerdekaan apalagi di zaman Demokrasi Terpimpin, pengamalan Pancasila berwujud Nasakom (nasionalisme, agama, komunisme). Sedang di zaman Orde Baru, praktik Pancasila berbentuk asas tunggal. Kedua model amaliah Pancasila itu, telah melahirkan ideologi politik traumatis. “Mudah-mudahan penulis bukan corong orientalis yang ingin menghancurkan Islam melalui  ghazwul fikri ” harap Irfan.

Kegiatan tersebut diikuti oleh 200 lebih peserta dan berjalan antusias dengan munculnya berbagai pertanyaan dan kritik peserta yang datang dari berbagai kalangan baik mahasiswa maupun umum.