Syawalan Keluarga Besar FIAI

Keluarga besar Fakultas Ilmu Agama Islam (FIAI) menggelar syawalan bersama pada Sabtu, 18 September 2010. Syawalan yang dihadiri sejumlah dosen dan karyawan beserta keluarga kali ini mengambil tempat di kediaman Drs. Nanang Nuryanta, M.Pd. Wakil Dekan FIAI, yang berlokasi di Perum Griya Kencana Indah Permai Jl. Wates Km 12,5 Yogyakarta. Selain itu, Syawalan juga menjadi ajang pelepasan sivitas akademik FIAI yang akan berangkat ke tanah suci bersama rombongan jamaah haji UII.

Acara yang berlangsung sejak pukul 10.00 pagi ini dipandu oleh Muhanam, B.Sc., staf administratif Fakultas dan dibuka dengan kalam Ilahi oleh Hidayatul Mabrur, mahasiswa Prodi PAI Angkatan 2007. Tuan rumah selanjutnya menyampaikan sambutan dilanjutkan amanat dari Dekan FIAI, Dr. Dadan Muttaqien, S.H., M.Hum. Acara Syawalan kian terasa bermakna, dengan siraman ruhani yang disampaikan oleh Drs. H. AF. Djunaidi, M.Ag.

Syawalan Keluarga Besar FIAI

Direktur Kemahasiswaan UII ini antara lain menyampaikan bahwa inti atau hakikat syawalan di antaranya adalah bagaimana kita bisa mengistiqamahkan segala amal ibadah. Manusia, menurutnya, harusnya bukan hanya sregep beribadah pada bulan Ramadhan, melainkan juga pada bulan-bulan setelahnya. Implikasinya, menurut Dosen PAI ini, apabila telah menjalankan puasa sebulan penuh, tapi tidak mampu dan tidak mau mengupayakan peningkatan ibadah, maka derajat takwa pun masih dipertanyakan.

Dalam siraman rohani yang diselingi humor segar ini, Drs. H. AF. Djunaidi, M.Ag. menjelaskan empat ciri orang bertakwa. Pertama, Al-Khouf minal Jalil, orang yang merasa takut kepada Allah. Sehingga di dalam menjalankan ibadah puasa orang seperti ini tidak hanya takut batal puasanya secara fiqih oleh sebab makan, minum dan berhubungan suami-istri pada siang hari saja. Tetapi shoimin-shoimah juga takut batal puasanya secara sufi. Artinya tidak ingin bermaksiat, walau hanya sebatas maksiat hati, apalagi maksiyat mata, hidung dan anggota tubuh lainnya.

 

Taushiyah disampaikan oleh Drs. A.F. Djunaidi, M.Pd.

Kedua, Al-Amalu bit Tanzil. Pelaku puasa dengan ciri ini selalu berusaha agar segala tingkah laku dan sepak terjangnya mengikuti Alqur’an. Ke mana Alqur’an memerintahkan, ke sanalah sikap kita mengikuti. Sebaliknya ketika Alqur’an melarang berbuat sesuatu, maka orang benar-benar menjauhi larangan tadi.

Ketiga, Al-Isti’adad lir Rahil. Sadar sepenuh hati, bahwa kematian akan mendatanginya. Rasulullah Muhammad SAW dalam sebuah hadisnya menyatakan, bahwa mati itu hanya satu, penyebabnyalah yang bermacam-macam. Sehingga orang yang melakukan ibadah, apapun bentuk ibadah itu, jika diri sadar bakal menemui ajal, maka ibadahnya akan ia lakukan dengan penuh keikhlasan. Termasuk saat menjalankan ibadah puasa. Orang seperti ini pasti akan menjalankannya dengan penuh keikhlasan.

Keempat, Ar-Ridlo bil Qalil. Rela dan senantiasa bersyukur, walau dalam bermuamalah mendapat rezeki sedikit. Sehingga sikap qonaah dan kecenderungan selalu bersyukur kepada Allah SWT atas rezeki yang ia terima, menjadikan dirinya tidak banyak berkeluh kesah. Kita ingat dengan firman Allah dalam Surah Ibrahim ayat 7: “…jika kamu bersyukur, pasti Aku tambah (nikmat) untukmu, jika kamu berlaku (ingkar) terhadap nikmat-Ku, sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.