Diskusi Fatwa Arah Kiblat

Pusat Konsultasi dan Bantuan Hukum Islam (PKBHI) bekerjasama dengan Pusat Penelitian dan Pengembangan Pendidikan Islam (PP PPI) Fakultas Ilmu Agama Islam (FIAI) UII, Kamis pagi, 26 Agustus 2010 menggelar diskusi ilmiah rutin untuk dosen. Diskusi yang berlangsung di Ruang Sidang FIAI ini mengambil tema “Menyikapi Perubahan Fatwa MUI Nomor 3 Tahun 2010 dan Fatwa MUI Nomor 5 Tahun 2010 tentang Arah Kiblat”. Diskusi ini menghadirkan dua pembicara yaitu Drs. Sofwan Jannah, M.Ag., dosen Prodi Syariah dan juga Ketua PKBHI, dan Drs. Nanang Nuryanta, M.Pd., dosen Prodi Pendidikan Agama Islam yang juga Wakil Dekan FIAI UII, dengan Yuli Andriansyah bertindak sebagai moderator. Keluarnya dua Fatwa dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) tentang arah kiblat bagi umat Islam di Indonesia, perlu disikapi dengan pendekatan sosial dan budaya. Hal ini mengingat penunjukkan arah kiblat yaitu pada arah barat dan barat laut dalam kedua fatwa tersebut berkaitan erat dengan makna sosial yang sudah mengakar dalam masyarakat Indonesia. Demikian dikemukakan oleh Sofwan Jannah yang mengawali paparannya dalam diskusi ini.

Suasana Diskusi Ilmiah Fatwa Arah Kiblat

Dalam Fatwa No.3 Tahun 2010, MUI menegaskan bahwa arah kiblat bagi umat Islam Indonesia adalah ke arah barat. Secara sosial, menurut Sofwan, masyarakat sudah memahami barat sebagai arah kiblat yaitu di sisi bumi dimana matahari tenggelam, sehingga ke arah itulah umat Islam biasa sholat. Hal ini tentu saja berbeda dengan arah barat dalam perspektif ilmu geografi, yang secara matematis menempatkan barat pada posisi 270 derajat arah mata angin. “Jika arah barat ini yang digunakan, maka Kiblat yang dituju umat Islam Indonesia, akan mengarah pada wilayah Afrika dan bukan semenanjung Arabia”, Sofwan menjelaskan.

Sedangkan dalam Fatwa No. 5 Tahun 2010, MUI menegaskan bahwa arah kiblat adalah pada barat laut, atau sedikit miring ke utara dari arah pada fatwa sebelumnya. Hal ini juga menimbulkan kontroversi, mengingat secara matematis posisi barat laut adalah pada 315 derajat. “Padahal sesuai pengukuran standar, arah kiblat dari Indonesia berada pada kisaran 294-296. Jika patokan barat laut yang dipakai, arah yang dituju justru adalah wilayah di utara semenanjung Arabia”, Sofwan mengungkapkan. Untuk itu perlu pendekatan sosial untuk memahamkan masyarakat akan makna fatwa sekaligus mengurangi kontroversi seputar fatwa yang terkesan menunjukkan bahwa MUI tidak konsisten karena merubah atau memperbaiki fatwa dengan cepat.

Arah masjid di beberapa tempat di Indonesia, saat ini memang banyak yang belum sesuai mengarah kiblat. Sofwan mencontohkan, sebuah survei yang dilakukan di Yogyakarta pada 2007 lalu, di 86 kecamatan ditemukan fakta adanya sekitar 77% masjid yang arah kiblatnya kurang tepat. Ketidaktepatan arah kiblat ini selanjutnya dapat menimbulkan efek pada akurasi arah kiblat yang jauh mengingat jarak Indonesia ke Ka’bah. Sebagai ilustrasi, jika seseorang sholat di Masjid Besar Kauman Yogyakarta dan serong ke kiri atau ke kanan 1 derajat saja, maka arah sholatnya menjauhi Ka’bah hingga 145,77 km ke Selatan atau Utara.

Untuk mengatasi masalah arah kiblat ini, Sofwan mengajukan sejumlah jalan bagi umat Islam. Diantaranya yang pertama dengan mengajukan permohonan verifikasi arah kiblat pada masjid atau mushola kepada Kantor Wilayah Kementrian Agama di seluruh Indonesia ataupun pada lembaga keagamaan yang juga memberikan layanan tersebut. Langkah kedua adalah dengan melihat arah kiblat melalui bayangan matahari pada saat matahari tepat berada di atas Ka’bah, yaitu saat lintang Ka’bah sama dengan deklinasi matahari.

 

Sofwan Jannah Melakukan Pengukuran Arah Kiblat Sebuah Masjid

Sofwan Jannah menjelaskan bahwa setiap tanggal 27 (tahun Kabisat) atau 28 (tahun pendek) di bulan Mei pukul 16.18 WIB dan tanggal 15 (tahun Kabisat) atau 16 (tahun pendek) di bulan Juli, semua bayangan matahari akan searah Kiblat sehingga merupakan saat yang tepat dalam mengukur ketepatan arah kiblat. “Insya Allah dengan pedoman bayangan matahari pada kedua tanggal tersebut merupakan cara yang praktis dan dapat dilakukan setiap orang,” ujarnya. Sepanjang tahun waktu dimana matahari berada searah Kiblat juga telah dihitung dan dapat digunakan masyarakat untuk menetapkan Kiblat secara benar.

Arah Kiblat memang menjadi masalah yang cukup serius di kalangan masyarakat terutama dikaitkan dengan pandangan bahwa gempa bumi akan menggeser posisi daratan sehingga arah kiblat senantiasa berubah. Sofwan Jannah mengatakan hal tersebut tidak perlu dikhawatirkan, mengingat secara alamiah bumi memang bergerak namun tidak sampai merubah secara frontal posisi Kiblat. Ia mencontohkan posisi Indonesia terhadap Kiblat berubah hanya dalam hitungan mili setiap tahunnya, sehingga perlu waktu yang panjang sampai merubah arah kiblat. Bagi Sofwan, aspek penting yang harus dilakukan adalah menyadarkan masyarakat akan pentingnya mengetahui arah kiblat secara benar mengingat saat ini sejumlah teknologi memungkinkan hal tersebut.

Nanang Nuryanta dalam paparannya menyampaikan bahwa proses sosialisasi terhadap masyarakat memang mutlak diperlukan dan membutuhkan waktu yang cukup. Dari pengalamannya sendiri misalnya, diperlukan pengajian dan pengkajian secara mendalam dalam masyarakat di sebuah masjid tentang arti pentingnya Kiblat dan konsekuensi hukumnya baik menurut Alquran maupun Hadits, sampai masyarakat siap untuk dilakukan pengukuran arah Kiblat yang benar. “Setelah masyarakat siap, secara sosial dan agama, barulah dilakukan pengukuran Kiblat oleh ahlinya,” Nanang menandaskan.

Jamaah sebuah masjid, menurut Nanang, juga perlu disadarkan bahwa kurang tepatnya arah Kiblat masjid tidak lantas menyebabkan masjid harus dibongkar. Masjid yang sama tetap dapat digunakan, hanya saja shaf-shafnya yang digeser sesuai arah Kiblat. “Hal ini perlu dipahamkan agar masyarakat tidak takut atau anti setiap kali diwacanakan pengukuran Kiblat,” Nanang menjelaskan. Kurang tepatnya arah kiblat, sebagaimana nampak dalam sumbang saran peserta diskusi lainnya, adalah mengingat kebanyakan tanah wakaf untuk sebuah masjid sangat terbatas. Apabila tanah tersebut harus disesuaikan dengan arah Kiblat, maka resikonya kapasitas masjid dalam menampung jamaah akan terbatas. Takmir masjid pun kemudian cenderung memilih membangun masjid sesuai dengan kondisi tanah.

Sementara itu, salah seorang anggota MUI, Prof. Drs. Asjmuni Abdurrahman, yang juga hadir dalam diskusi ini menjelaskan bahwa semangat dua fatwa arah kiblat adalah pada pemenuhan arah kiblat (syathrahu) dan ketepatan arah (ishobah). Ketika MUI memfatwakan barat, maka yang ditekankan adalah pada aspek arah kiblat sedangkan ketika dimaksudkan dengan barat laut, maka akurasi dan ketepatanlah yang diutamakan. Wacana tentang arah Kiblat menurutnya telah muncul dalam beberapa pertemuan MUI, terutama di Jawa Timur, beberapa waktu sebelumnya.

Diskusi dengan topik serupa juga diagendakan akan dilakukan dengan audien yang lebih luas mencakup pengelola masjid maupun aparat pemerintah terkait, mengingat pentingnya masalah Kiblat bagi keabsahan sholat. Upaya FIAI dalam mensosialisasikan arah Kiblat bagi masjid-masjid ini juga telah dilakukan melalui PKBHI yang sudah banyak diminta memverifikasi arah Kiblat. Permintaan verifikasi ini datang dari berbagai wilayah di Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Yogyakarta sendiri. Aktifnya PKBHI dalam proses verifikasi Kiblat juga sebagai komitmen fakultas dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat dan dakwah Islamiyah.