Muhasabah: Media Meningkatkan Kualitas Iman

“Maka adapun orang yang catatannya diberikan dari sebelah kanannya, maka dia akan diperiksa dengan pemeriksaan yang mudah”. (QS. Al-Insyiqaq [84]: 7-8).

Jika kita amati secara mendalam, nampaknya Allah SWT. selalu mengirimkan hikmah dari i’tibar yang diperoleh dari bencana yang melanda dunia ini. Tak ubahnya perkataan yang pasti akan menggoreskan kesan (positif atau negatif) dihati pendengarnya. Begitupun dengan apa (musibah) yang Allah turunkan kepada manusia -sebagai bentuk kalam Tuhan yang bersifat teguran- tentu memiliki maksud dan tujuan yang terkadang kita merasa sulit atau bahkan kesulitan untuk memaknainya. Semestinya manusia menyadari hal itu lalu melakukan tindak lanjut (fedback) dari semua itu. Sekali lagi ini adalah keterbatasan manusia sebagai ciptaan tuhan (makhluk) yang memang sudah menjadi ketetapan sang pencipta (kholiq) untuk memahaminya.

 

Belakangan ini, Minggu, 11/01/2010, telah terjadi gempa bumi di Tasikmalaya dengan kekuatan cukup besar yaitu 5,4 SR walaupun tidak berpotensi tsunami (detikNews.com). Tentu musibah ini memberikan gambaran (isyarah) kepada kita bahwa dunia ini sudah semakin tidak bersahabat dengan manusia karena sebenarnya itu dampak dari ulah manusia sendiri yang tidak mau menyayangi alam. Sehingga Allah SWT. menurunkan azab sebagai balasan dari perbuatan manusia itu (QS. ar-Rum [30]: 41). Disisi lain, terlepas dari ramalan kiamat 2012 yang kontroversial itu sesungguhnya -menurut telaah penulis- hal itu mengisyaratkan bahwa semakin dekat waktu yang telah dijanjikan Allah SWT. yaitu yaum as sâ’ah (lebih dikenal dengan istilah kiamat).

Idealnya menanggapi semua itu, kita harus melakukan muhasabah (introspeksi) terhadap semua sikap dan tindakan kita selama ini. Sudahkah kita penuhi semua kewajiban kita sebagai makhluk Tuhan, dimana tujuan penciptaan manusia adalah untuk mengabdi kepada Allah (li’ibadatillah), atau justru perbuatan kita selama ini jauh dari nilai-nilai Ilahiyyah. Oleh karena itu, mari kita berintrospeksi diri demi menuju hidup yang sesuai dengan ajaran agama mengingat bahwa tidak ada jaminan kita akan bangkit dari tidur esok hari. Karena boleh jadi ajal menjemput sebelum kita bertaubat kepada Allah SWT atau Malaikat Izrail telah mencabut nyawa kita sebelum taubat kita benar-benar diterima oleh-Nya, yang lebih ironis bila nyawa ini melayang dikala kita sedang berbuat kemaksiatan atau berada dalam lembah kenistaan. Na’udzubillahi min dzalik…

Hakikat Muhasabah

Muhasabah atau introspeksi diri adalah kata yang hakikatnya sering disalahpahami oleh mayoritas orang. Mereka beranggapan introspeksi diri adalah mengingat perbuatan dosa yang telah dilakukan, dengan menyesali (nadamah) dan menangisinya (buka’). Padahal, pengertian tersebut bukanlah termasuk ke dalam muhasabah. Namun itu adalah salah satu dari syarat-syarat taubatan nasuhan (taubat yang murni). Merujuk kepada hadits Rasulullah saw. Tentang hakikat muhasabah, akan kita temukan yang dimaksud dengan muhasabah adalah memaksakan diri dan menundukkannya agar taat melaksanakan semua perintah Allah SWT. sebagai bekal di akhirat (Asep Sulhadi, 2007). Sesuai dengan konsep ini maka kita harus mengarahkan diri kita untuk selalu tunduk dengan perintah Allah SWT. dan Rasul-Nya, Muhammad saw. Dengan demikian diharapkan kita mampu melakukan muhasabah diri (introspeksi) yang hakiki. Sehingga kita dapat mengontrol semua tindakan kita agar selalu berada di jalan yang diridhoi Allah SWT.

Merujuk kepada pengertian introspeksi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), yaitu peninjauan atau koreksi terhadap (perbuatan, sikap, kelemahan, kesalahan, dsb) diri sendiri; mawas diri. Kita dapat simpulkan bahwa muhasabah itupun berarti sebuah upaya untuk menilai semua tindakan kita secara menyeluruh yang kemudian mengilhami manusia untuk melakukan perbaikan (ishlah). Dengan demikian kita akan selalu dalam kondisi yang stabil karena perbuatan kita terkontrol melalui muhasabah yang secara kontinyu kita lakukan. Pengertian ini juga sejalan dengan arti introspeksi menurut kamus Oxford (Oxford Dictionary) yaitu penilaian secara hati-hati terhadap pemikiran, perasaan (tindakan) dan lain lain (the careful examination of your own thoughts, feelings, etc).

Terlepas dari perbedaan pengertian di atas dapat kita pahami bahwa muhasabah pada prinsipnya adalah koreksi terhadap tindakan kita selama ini dan berusaha melakukan renovasi menuju akhlak yang lebih baik. Dan mengekang nafsu kita dari hal-hal yang berbau maksiat serta memaksakan diri untuk tunduk dan taat terhadap perintah Allah dan Rasul-Nya (ta’alim diniyyah) karena hal ini adalah harga mati, tidak bisa ditawar-tawar. Ini dilakukan demi memperoleh ridho ilahi (ibtighou mardhotillah) dan memperoleh keselamatan di dunia dan di akhirat kelak (alhasanah fid dunya wal akhiroh).

Hikmah di Balik Muhasabah

Ada sebuah kisah menarik yang dapat kita petik hikmahnya. Hiduplah seorang tabi’in shaleh yang bernama ‘Atha as-Salami. Suatu hari Atha bermaksud menjual kain yang telah ditenunnya. Setelah diamati dan diteliti secara seksama oleh si penjual kain, kemudian penjual kain itu berkata, “Wahai Atha, sesungguhnya yang engkau tenun ini cukup bagus, tetapi sayang ada cacatnya sehingga aku tidak dapat membelinya.” Begitu mendengar bahwa kain yang telah ditenunnya ada cacat, Atha termenung lalu menangis. Karena menurut ‘Atha kain itu sudah ia tenun dengan baik dan bagus serta tidak ada cacatnya.

Melihat Atha menangis, penjual kain itu berkata, “Wahai Atha sahabatku, aku mengatakan yang sebenarnya bahwa memang kainmu ada cacatnya sehingga aku tidak jadi membelinya. Kalaulah karena itu (cacatnya kain tenunan) engkau menangis, maka biarlah aku akan tetap membeli kainmu itu dan membayarnya dengan harga yang pas.”

Tetapi tawaran itu dijawab Atha, “Wahai sahabatku, engkau menyangka aku menangis dikarenakan kainku ada cacatnya? Ketahuilah, sesungguhnya aku menangis bukan karena kain itu. Aku menangis karena menyangka bahwa kain yang telah kubuat berbulan-bulan ini tidak ada cacatnya, tetapi dimatamu sebagai ahli tenun terlihat ada cacatnya. Begitulah aku menangis kepada Allah, dikarenakan aku menyangka bahwa ibadah yang kulakukan selama bertahun-tahun ini tidak ada cacatnya. Tetapi, mungkin dalam pandangan Allah sebagai ahlinya ada cacatnya, itulah yang menyebabkan aku menangis.

Ada dua hikmah yang dapat kita ambil dari kisah diatas. Pertama, kita harus sering melakukan muhasabah terhadap segala amal kebaikan yang telah kita kerjakan. Karena boleh jadi amalan yang selama ini kita anggap baik justru tidak artinya di sisi Allah SWT. Dr. Abdullah Nashih Ulwan dalam kitabnya yang berjudul Ruhaniyatud-Da’iah menjelaskan hakikat muhasabah sebagai berikut, “Hendaklah seorang mukmin menghisab dirinya ketika selesai melakukan amal perbuatan, apakah tujuan amal untuk mendapatkan ridha Allah atau apakah amalanya disusupi sifat ria’?. Kedua, jangan bersandar kepada amal yang telah kita lakukan untuk dapat masuk kesurganya Allah SWT. Kita harus bersandar kepada rahmat dan ampunan Allah SWT. (lemabang.wordpress.com)

Kisah singkat ini sungguh sangat menarik dan sarat makna. Seorang tabi’in yang mampu menyadari kesalahannya selama ini dalam beribadah karena kain tenunnya nyaris tidak jadi dibeli karena terdapat cacat dalam kain tersebut. Begitu juga dengan ibadah yang selama ini kita kerjakan, di satu sisi kita merasa sudah baik dan besar kemungkinan diterima oleh Allah. Namun disisi lain perasaan yang seperti ini justru akan merusak keutamaan amal kebajikan kita. Oleh karena itu, selayaknya jika kita harus selalu merasa randah dan menanggap bahwa ibadah kita masih jauh dari kesempurnaan. Sebab bisa jadi amalan yang kita lakukan selama ini tidak berarti apa-apa di sisi Allah karena kesombongan dan kelalaian hati kita. Sehingga kita bisa melakukan ibadah dengan semaksimal mungkin dengan niat yang tulus untuk mencapai cinta Tuhan (mahabbah).

Penutup

Begitu pentingnya muhasabah dalam hidup ini maka sudah sewajarnya kita selalu melakukannya setiap waktu. Terlebih setiap selesai melakukan suatu amal perbuatan supaya perbuatan sehari-hari (amaliyyah yaumiyyah) kita diterima dan bersih rasa sombong dan riya’ yang dapat menggugurkan pahala. Dengan membiasakan diri bermuhasabah berarti kita telah berusaha meningkatkan kualitas iman kita kenuju kesempurnaan. Bahkan kita pun akan menjadi orang yang beruntung di hari perhitungan amal (yaum al hisâb) nanti karena sedikit banyak kita telah memperhitungkan (membuat perhitungan) amal kita di dunia. Insya Alla.

Umar bin Al Khatab pernah berkata, ”Hisablah diri kalian sebelum kalian dihisab (hâsibû qobla an tuhâsabû)”. Oleh karenanya kita harus selalu mengintrospeksi amal kita dari waktu ke waktu secara terus menerus sebelum pada akhirnya nanti kita akan dihisab di akhirat. Dengan demikian kita akan mendapatkan kesempurnaan ibadah dan mampu menggapai kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Dan akhirnya, semoga kita menjadi golongan orang yang selalu berbenah diri, memperoleh catatan amal dari sebelah kanan serta mendapat ampunan dari Allah SWT. atas dosa yang telah kita perbuat. Amin ya Robbal ‘âlamîn. Wallâhu a’lamu bi ash shawâb.

Samsul Zakaria, Mahasiswa Prodi Hukum Islam FIAI UII, Angkatan 2009

Artikel ini dipublikasikan dalam Buletin Jumat Al-Rasikh terbitas Direktorat Pendidikan dan Pengembangan Agama Islam (DPPAI) Universitas Islam Indonesia (UII) Edisi 15 Januari 2010. Artikel dapat diakses melalui link ini.

Unduh Artikel