Meletakkan Syariat Islam Secara Proporsional

Dan Katakanlah: “Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; Maka barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir) Biarlah ia kafir.” Sesungguhnya Kami telah sediakan bagi orang orang zalim itu neraka, yang gejolaknya mengepung mereka. dan jika mereka meminta minum, niscaya mereka akan diberi minum dengan air seperti besi yang mendidih yang menghanguskan muka. Itulah minuman yang paling buruk dan tempat istirahat yang paling jelek.

(Q.S. Al-Kahfi [18]: 29)

Merasa diri paling benar adalah awal dari kesalahan, sebab kebenaran tidak datang dengan wajah tunggal. Adakalanya kebenaran menurut diri sendiri (subyektif), ada juga kebenaran menurut orang banyak (obyektif), dan ada pula kebenaran menurut Allah (universal). Yang paling sulit dalam hidup ini adalah mengubah diri menjadi lebih baik.

Sebagaimana yang saya ketahui dan saya pelajari selama ini bahwa kitman al-Ilm (menyembunyikan ilmu) itu hukumnya haram karena tidak sedikit hadits Nabi SAW yang membicarakan perihal pelarangan penyembunyian ilmu. Misalnya, dalam sebuah riwayat, Nabi SAW pernah bersabda tentang perintah menyampaikan sesuatu yang baik, walaupun satu ayat (ballighû ‘anni walau ayah). Esensi perintah hadits tersebut sebenarnya menunjukkan keharusan bagi orang yang mengetahui suatu hal yang baik untuk disampaikan pada orang lain yang belum mengetahuinya atau memberi penjelasan jika ada orang yang bertanya. Akan tetapi, sebagaimana yang disampaikan dalam paragraf pembuka di atas, menyampaikan sesuatu tidak selayaknya diikuti oleh paksaan untuk menerima seratus persen apa yang disampaikan. Terlebih mengklaim bahwa apa yang disampaikan adalah benar secara mutlak, sedangkan yang lain adalah salah.

Judul tulisan ini sebenarnya bukanlah “Meletakkan Syari’at Islam secara Proporsional” melainkan “Tiga Dalil Syariat” yang merupakan tulisan Nadirsyah Hosen seorang cendekiwan muslim yang saat ini berdomisili di Australia. Merupakan kearifan bagi ulama jika meletakkan syariat secara proporsional karena tidak sedikit ulama yang memaksakan kehendaknya alias mengutamakan keinginan, kepentingan, dan hawa nafsunya dalam menggunakan dalil untuk dijadikan landasan terhadap apa yang ia perbuat.

Belakangan ini ada kecenderungan sebagian umat Islam untuk menjadikan syariat Islam seolah-olah bagaikan obat antibiotik yang dapat menyembuhkan semua penyakit di setiap tempat dan di segala zaman. Mereka berpandangan bahwa syariat Islam itu sempurna dan karenanya mengatur seluruh aspek kehidupan masyarakat dari mulai ibadah, muâmalah sampai sistem pemerintahan. Klaim kesempurnaan syariat Islam ini selalu diulang-ulang dalam berbagai kesempatan. Implikasinya adalah syariat Islam seakan-akan tidak membutuhkan teori atau ilmu non-syariat. Semua problematika ekonomi, politik, sosial, budaya, dan hukum bisa dipecahkan oleh syariat Islam yang telah diturunkan Allah beberapa abad silam. Saat ini, sudah selayaknya dilakukan tinjauan ulang terhadap klaim kesempurnaan syariat Islam.

Tiga Dalil Syariat

Klaim kesempurnaan syariat biasanya didasarkan pada tiga dalil. Pertama, dalam surah al-Maidah [5] ayat 3 Allah telah dinyatakan, “Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu.” Kalimat ini sebenarnya hanyalah penggalan ayat yang sebelumnya berbicara mengenai keharaman makanan tertentu dan larangan mengundi nasib dan larangan untuk takut kepada orang kafir. Itulah sebabnya konteks ayat itu menimbulkan pertanyaan akan kata “sempurna”: apakah kesempurnaan itu berkaitan dengan larangan-larangan di atas atau berkaitan dengan keseluruhan syariat Islam?

Dari sudut peristiwa turunnya ayat, potongan ayat di atas turun di hari Arafah saat Nabi Muhammad SAW menunaikan ibadah haji. Itulah sebabnya sebagian ahli tafsir membacanya dalam konteks selesainya aturan Allah SWT mengenai ibadah mulai dari shalat sampai dengan haji. Sebagian ahli tafsir menganggap potongan ayat ini turun saat fathu makkah. Sehingga dikaitkan dengan larangan sebelumnya untuk takut kepada kaum kafir, penggalan ayat “kesempurnaan” ini dibaca dengan makna, “sungguh pada hari ini telah Aku tundukkan musuh-musuh kalian.”

Di sisi lain, sejumlah ulama berpendapat bahwa kesempurnaan yang dimaksud dalam ayat ini terbatas pada aturan halal dan haram. Mereka tidak menganggap bahwa pada hari diturunkannya ayat itu syariat Islam telah sempurna karena ternyata setelah ayat tersebut masih ada ayat Qur’an lain yang turun seperti ayat yang berbicara tentang riba dan kalalah.

Kedua, klaim kesempurnaan syariat Islam juga didasarkan pada surah an-Nahl [16] ayat 89, “Dan Kami turunkan kepadamu al-Kitab (Alqur’an) untuk menjelaskan segala sesuatu.” Menurut Mahmud Syaltut, ketika Alqur’an memperkenalkan dirinya sebagai tibyanan likulli syay’i, bukan bermaksud menegaskan bahwa ia mengandung segala sesuatu, tetapi bahwa dalam Alqur’an terdapat segala pokok petunjuk yang menyangkut kebahagiaan hidup duniawi dan ukhrawi. Jadi, cukup tidak berdasar kiranya kalau ayat ini diajukan sebagai bukti bahwa syariat Islam mencakup seluruh hal.

Ketiga, dalam surah al-An’am [6] ayat 38 disebutkan, “Tiadalah Kami alpakan sesuatu pun di dalam al-Kitab. Sejumlah ahli tafsir menjelaskan bahwa Alqur’an tidak meninggalkan sedikit pun dan atau lengah dalam memberikan keterangan mengenai segala sesuatu yang berhubungan dengan tujuan-tujuan pokok Alqur’an, yaitu masalah-masalah akidah, syariat dan akhlak, bukan sebagai apa yang dimengerti oleh sebagian ulama bahwa ia mencakup segala macam ilmu pengetahuan. Sebagian ahli tafsir lainnya menganggap kata “al-Kitab” di atas bukan merujuk pada Alqur’an, tetapi pada lauh al-mahfuz. Sehingga segala sesuatu terdapat di dalam lauh al-mahfuz, bukan di dalam Alqur’an.

Dari pembahasan di atas dapat dikatakan bahwa secara umum Alqur’an, sebagai sumber utama, hanya memberikan pokok-pokok masalah syariat, bukan menjelaskan semua hal secara menyeluruh dan sempurna. Alqur’an disamping sebagai huda (petunjuk), syifa’ (obat) dan lainnya, juga hanya sebatas sumber yang memberikan informasi dalam segala hal, namun informasi tersebut bersifat umum dan membutuhkan penjelasan. Di sinilah fungsi ijtihad untuk menjelaskannya, sebagaimana dialog yang terjadi antara Nabi Muhammad SAW dengan Muadz bin Jabal. Sewaktu Rasulullah SAW hendak mengutus Muadz untuk menjadi qodi (hakim) di daerah Yaman, beliau bertanya: “Bagaimana cara kamu menyelesaikan perkara jika kepada kamu diajukan suatu perkara?” Muadz menjawab, “Akan aku putuskan menurut ketentuan hukum yang ada dalam Alqur’an.” “Kalau tidak kamu temukan dalam Kitab Allah?” Tanya Nabi selanjutnya. “Akan aku putuskan menurut hukum yang ada dalam Sunnah Rasul.” Jawab Muadz lebih jauh. “Kalau tidak juga kamu temukan dalam Alqur’an dan tidak pula dalam Sunnah Rasul?” Nabi mengakhiri pertanyaannya. Muadz menjawab, “Aku akan berijtihad dengan seksama,” kemudian Rasul pun mengakhiri dialognya sambil menepuk-nepuk dada Muadz seraya beliau bersabda, ”segala puji hanya teruntuk Allah yang telah memberikan petunjuk kepada utusan-Nya, jalan yang diridhai-Nya.”

Di samping itu, hadits merupakan penjelas terhadap Alqur’an sebagai sumber utama jika memang memerlukan penjelasan. Perintah shalat misalnya, yang masih membutuhkan penjelasan yang gamblang, hal ini digambarkan detainya dalam hadits Nabi Muhammad SAW mulai dari takbiratul ihram sampai salam.

Meletakkan Syari’at secara Proporsional

Selain seringkali memahami tiga dalil di atas secara literal dan sepotong-sepotong, kalangan yang mengklaim kesempurnaan syariat Islam juga sering alpa bahwa ayat hukum dan hadits hukum jumlahnya sangat sedikit. Di antara yang jumlah terbatas itu, hanya sedikit saja yang berkekuatan qath’i al-dalalah (pasti dan spesifik). Dan hanya itulah yang masuk kategori syariat.

Kalau kita buka kitab fiqh, maka hanya sekitar dua puluh persen saja yang berisikan syariat, selebihnya merupakan opini, interpretasi, pemahaman, atau penerapan (tathbiq) yang kita sebut dengan fiqh. Fiqh isinya jauh lebih luas ketimbang syariat. Disadari atau tidak, ketika syariat Islam diklaim meliputi segala sesuatu, syariat dan fiqh seringkali dirancukan. Sebagai contoh, tidak ada ayat hukum dan hadits hukum yang secara jelas, langsung dan tegas serta berkekuatan qath’i al-dalalah menyatakan kewajiban mendirikan negara Islam. Klaim kewajiban itu lahir dari pemahaman atau interpretasi yang telah berlangsung sepanjang sejarah Islam. Menolak kewajiban mendirikan negara Islam tidaklah berarti menolak syariat Islam.

Klaim kesempurnaan syariat Islam juga menimbulkan paradoks. Jika benar segala sesuatu telah terdapat dalam syariat Islam, maka bagaimana kita meletakkan ijtihad dalam masalah ini? Ijtihad justru diperlukan karena syariat Islam tidaklah “sempurna.” Masih banyak problematika umat yang tidak diatur secara tegas, pasti dan jelas dalam Alqur’an dan hadits. Di sinilah perlunya kreativitas umat untuk memanfaatkan potensi akalnya. Celakanya banyak kalangan yang tidak bisa membedakan antara penafsiran para ulama (salaf dan khalaf) dalam kitab fiqh, kitab syarh hadits dan kitab tafsir dengan kesucian kitab suci. Mereka menganggap penafsiran dan pemahaman itu juga termasuk kategori syariat yang tidak bisa diutak-atik.

Selama klaim kesempurnaan syariat Islam tidak didudukkan secara proporsional, maka umat Islam akan cenderung menolak semua ijtihad dan teori-teori baru. Setiap terobosan baru akan dianggap mengutak-atik ajaran yang sudah sempurna. Kalau sudah sempurna, untuk apa lagi ada pembaharuan? Untuk itu marilah kita letakkan secara lebih proporsional klaim kesempurnaan syariat Islam tersebut. Karena syariat Islam sesungguhnya hanya mengatur hal-hal yang pokok semata (ushuliyah) dan selebihnya adalah penafsiran, termasuk penafsiran yang lebih kontekstual, humanis, plural, dan liberal.

Wallahu a’lam bi ash-Shawab.

Fathurrahman al-Katitanji, Mahasantri PPUII dan Mahasiswa FIAI ‘04

Artikel ini dipublikasikan di Al-Rasikh Lembar Jumat Masjid Ulil Albab terbitan terbitan Direktorat Pendidikan dan Pengembangan Agama Islam (DPPAI) Universitas Islam Indonesia (UII) Edisi 29 Februari 2008. Artikel ini dapat diakses dari http://alrasikh.uii.ac.id/2008/02/28/meletakkan-syariat-islam-secara-proporsional/.

Unduh Artikel