Mengawal Penegakan Hukum dengan Moral

Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanah kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat. (QS. An-Nisaa’ [4]: 58).

Predikat negara hukum menggambarkan bahwa segala sesuatu harus berjalan menurut aturan yang jelas; masyarakat yang merupakan warga negara hidup dalam ketertiban, ketenangan, keamanan dan keadilan. Hukum dibuat sebagai salah satu sarana untuk menciptakan kondisi demikian. Sebagai sebuah sarana, dia lebih berjalan pada proses. Untuk mencapai hasil yang maksimal, maka proses harus berjalan secara maksimal pula. H.L.A. Hart (1965) mengatakan bahwa untuk menciptakan keadilan, hukum harus meliputi tiga unsur nilai, yakni kewajiban, moral dan aturan. Karenanya hukum tidak dapat dipisahkan dari dimensi moral (Murphy & Coelman, 1984: The Philosophy of Law). Jadi apabila ingin menciptakan keadilan dalam masyarakat maka unsur moral harus dipenuhi. Belum terciptanya rasa keadilan atau dengan kata lain gagalnya penegakan hukum dalam masyarakat kita sampai saat ini karena belum adanya “pengawalan” moral dari aparat penegaknya.

Hukum Sebagai Jaring Terluar

Kehidupan sosial masyarakat tidak akan pernah terlepas dari relasi satu sama lain. Di sinilah sistem hukum bekerja. Sistem hukum, bertanggung jawab menjamin dihormatinya hak dan dipenuhinya kewajiban yang timbul dalam kehidupan sosial. Dalam hal ini masyarakat “minimal” menjalankan apa yang diperintahkan oleh hukum dan meninggalkan larangan-larangan hukum. Inilah yang penulis maksud dari hukum sebagai jaring terluar. Sebenarnya, kalau kita dapat memenuhi standar minimal ini saja, keadilan sudah bisa tercipta. Namun yang terjadi tidak demikian. Jaring terluar ini sering dilanggar dengan melakukan tindakan-tindakan yang melanggar hukum, yang menimbulkan “kekacauan” dalam sistem sosial yang ada. Lebih parah lagi, para pelanggar hukum sering berlindung dibalik teks-teks hukum dengan “mengutak-atik” dan mencari celah dalam aturan hukum.

Dinamika yang terjadi dalam proses pencarian keadilan pada pranata hukum kita telah berkembang menjadi begitu kompleks. Keadilan menjadi sesuatu yang langka dan sulit ditemukan. Kalaulah ada, harus dibeli dengan harga yang cukup mahal. Maka tidak heran yang dapat menikmati keadilan di negara hukum ini hanyalah segelintir orang, yaitu orang-orang yang mempunyai cukup uang untuk membelinya.

Keadilan Formal Hukum

Hukum sebagai perangkat untuk menciptakan keadilan hanya berdasarkan fakta yang tampak dan dapat dibuktikan secara empiris. Adapun hal yang tidak dapat dilihat dan tidak empiris maka tidak menjadi obyek dan perangkat untuk mengukur keadilan dalam hukum.

Masalah-masalah hukum dan keadilan di negara kita hanya sekedar masalah teknis-prosedural untuk menentukan apakah suatu perbuatan bertentangan atau tidak dengan peraturan perundang-undangan. Apabila suatu tindakan yang secara empiris dapat dibuktikan tidak melanggar hukum, maka ia akan dinyatakan tidak melanggar hukum dan terbebas dari hukuman, meskipun tindakan itu tidak benar, apalagi baik. Dan sebaliknya, apabila ada seseorang melakukan tindakan yang secara empiris dapat dibuktikan bahwa tindakan tersebut melanggar hukum maka ia harus dihukum, meskipun tindakan itu baik dan benar.

Hal ini dapat dimengerti, karena hukum memang hanya menjadi sarana atau perangkat untuk mewujudkan keadilan. Sebuah perangkat memang harus jelas dan dapat dinilai serta berlandaskan fakta empiris. Sebagai konsekuensinya, produk-produk yang dihasilkan oleh proses hukum adalah sesuatu yang jelas pula. Ukuran kebenaran yang menjadi landasan hukum sebagai perangkat formal juga hanya berdasarkan hal-hal yang empiris pula. Jadi keadilan yang dapat diwujudkan oleh hukum hanyalah keadilan, atau bahkan hanya kebenaran legal formal yang jauh dari nilai-nilai keadilan.

Keadilan Hakiki Berangkat dari Nurani

Keadilan legal formal tidak jarang bertentangan dengan nilai-nilai keadilan ideal moral yang pada dasarnya “keadilan tertinggi” yang dikehendaki oleh masyarakat; keadilan yang sesuai dengan hati nurani. Berdasarkan pemaparan di atas, tampaknya keadilan ini tidak dapat tercipta hanya mengandalkan sistem kerja perangkat legal formal hukum semata. Oleh kerena itu unsur moral harus benar-benar diterapkan dalam proses hukum kita, agar keadilan yang dikehendaki oleh nurani masyarakat benar-benar terwujud.

Merujuk pada filsuf Yunani, Aristoteles, yang cenderung menggunakan etika untuk menunjukkan filsafat moral, menjelaskan bahwa fakta moral tentang nilai dan norma moral, perintah, tindakan kebajikan dan suara hati (Kanter 2001). Moral mengacu pada baik-buruknya manusia sebagai manusia, menuntun manusia bagaimana seharusnya ia hidup atau apa yang boleh dan apa yang tidak boleh dilakukan. Jadi manusia dituntut untuk bertindak berdasarkan pada suara hati nuraninya.

Berangkat dari pemaparan di atas, para penegak hukum hendaknya menjalankan fungsinya berdasarkan pada dua hal; pertama, berlandaskan pada “aturan main” yang telah berlaku. Pada dasarnya apabila ini sudah terpenuhi setidaknya rasa keadilan dapat terwujud, meskipun mungkin tidak maksimal, karena peraturan dapat dipelintir dan direkayasa. Kedua, berpegang teguh pada suara hati nurani. Aturan-aturan hukum yang ada harus dikawal dengan moral yang bersumber dari hati nurani. Apabila unsur moral ini dapat terpenuhi maka rasa keadilan yang hakiki akan dapat terwujud dalam kehidupan masyarakat. Karena hati nurani tidak akan pernah berdusta, apalagi berhianat.

Imam Mustofa, S.H.I., Alumni FIAI UII

Artikel ini dipublikasikan di Al-Rasikh Lembar Jumat Masjid Ulil Albab terbitan terbitan Direktorat Pendidikan dan Pengembangan Agama Islam (DPPAI) Universitas Islam Indonesia (UII) Edisi 3 Agustus 2007. Artikel ini dapat diakses dari http://alrasikh.uii.ac.id/2007/08/03/mengawal-penegakan-hukum-dengan-moral/.

Unduh Artikel